Bandingkan dengan negara yang telah sukses membentuk imej itu, misalnya Thailand = Tom Yam, Korea = Kimchi, Italia = Pasta. Bukan hanya imej, tetapi juga devisa yang besar.
Bisakah program “Indonesia Spice Up The World” diandalkan?
Program “Indonesia Spice Up The World” berfokus utama pada ekspor rempah-rempah dan bumbu, utamanya lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, vanila, dan kecap manis. Dari sini diharapkan akan tercipta imej kuliner Indonesia yang kaya rempah.
Bersamaan dengan program itu, ditargetkan pembukaan 4000 restoran Indonesia di berbagai penjuru dunia, menjagokan lima masakan: rendang, soto ayam, gado-gado, nasi goreng, dan sate.
Namun, program saja tidak cukup. Pemerintah Indonesia harus melakukan banyak hal. Yang utama adalah agar program ini berkelanjutan dan mutu rempah-rempah, bumbu, serta makanan haruslah berkualitas tinggi.
Pihak Kemenparekraf sendiri telah mencatat kendala yang dihadapi restoran Indonesia di luar negeri, seperti akses terhadap bumbu (yang terbatas dan mahal). Pasar yang kecil di luar negeri menyebabkan harga menjadi mahal. Bagaimana penyelesaiannya? Apakah program “Indonesia Spice Up The World” adalah jawabannya? Namun, jika targetnya hanya diaspora Indonesia, tidak akan terjadi perubahan apapun.
Kita tentu berharap bahwa program “Indonesia Spice Up The World” memang bener-benar dirancang untuk masyarakat dunia. Untuk menyukseskannya, harus disosialisasikan kepada diaspora Indonesia.
Kuliner Indonesia harus dipromosikan dengan baik: enak dan berkualitas. Tidak hanya rendang, soto ayam, gado-gado, nasi goreng, dan sate.
Semur mungkin bisa menjadi alternatif, apalagi untuk memasaknya digunakan lada, pala, cengkeh, dan kecap. Buatlah juga video-video cara memasaknya dengan bahasa setempat.