Mohon tunggu...
Evi Siregar
Evi Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen-peneliti

Bekerja di sebuah universitas negeri di Mexico City.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bagaimana Evo Morales Akhirnya Terpaksa Mengundurkan Diri?

12 November 2019   13:17 Diperbarui: 13 November 2019   07:52 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Evo Morales saat menghadiri hari ulang tahun kemerdekaan ke-193 Bolivia pada Senin (6/8/2018). Dalam acara itu Morales mengenakan medali dan selempang kepresidenan. Foto: AFP/JOSE LIRAUZE via KOMPAS.com

Bolivia, yang pernah dikuasai oleh Imperium Inka dan kemudian menjadi bagian dari jajahan Kerajaan Spanyol, merdeka pada tahun 1825. Seperti yang tertulis dalam konstitusinya, Bolivia merupakan negara plurinasional dan mengakui adanya suku-suku bangsa jauh sebelum kedatangan bangsa Spanyol. Itu sebabnya nama resmi negara ini adalah Estado Plurinacional de Bolivia (Plurinational State of Bolivia).  

Pemerintahan Bolivia menganut sistem presidensial, yaitu sistem pemerintahan negara republik yang mana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dari kekuasaan legislatif.

Meskipun, setelah Konstitusi 2009 berlaku dan Bolivia menolak menyebut dirinya sebagai "negara republik", secara de facto pemisahan kekuasaan tetap menyiratkan bentuk pemerintahan republik.

Menurut catatan, memasuki tahun 2000 Bolivia mengalami krisis ekonomi yang cukup parah, sehingga menimbulkan ketidakstabilan politik.

Keadaan ini menyebabkan munculnya unjuk rasa yang semakin lama semakin besar, bahkan gerakan-gerakan sosial dari berbagai kelompok, seperti kaum petani, petani koka, penduduk asli, penambang, pedagang informal, dan banyak lagi, yang membuat stabilitas ekonomi, politik, dan sosial semakin goyah.

Keadaan tersebut membuat Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada, yang kembali terpilih untuk periode kedua, hanya bertahan satu tahun (2002-2003), dan turun setelah terjadi friksi sosial yang dikenal dengan nama "perang gas".

Wakilnya, Carlos Mesa Gisbert, kemudian dilantik menjadi presiden. Namun, karena tidak mendapat dukungan di kongres dan karena ada tekanan politik dari serikat pekerja dan gerakan otonom yang muncul pada saat itu, dua tahun setelah dilantik ia mengundurkan diri dari jabatannya.

Setelah Carlos Mesa Gisbert mundur, Eduardo Rodrguez Veltze dipilih menjadi pejabat presiden sementara (2005-2006). Ia pun mengusulkan untuk segera dilaksanakan pemilihan presiden.

Pada tanggal 18 Desember 2005 diselenggarakan pemilihan presiden. Ada delapan calon pasangan presiden dan wakil presiden, dan Evo Morales Ayma yang berpasangan dengan Alvaro Garcia Linera dari Partai Gerakan Sosialisme menang dengan perolehan 53,74 persen suara.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Bolivia presiden terpilih berasal dari penduduk asli (atau dengan kata lain: tidak berkulit putih). Perlu dicatat bahwa jumlah penduduk asli mencapai 60% dari total penduduk di Bolivia.

Berdasarkan catatan yang dibuat Leonardo Mindez, disebutkan bahwa selama masa pemerintahan Evo Morales, pencapaian indeks ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa peningkatan. Dengan kata lain Morales berhasil membuat sebuah pemerintahan dan kebijakan yang baik.

Selama 13 tahun GDP per kapita di Bolivia mencapai 4,9 persen, angka kemiskinan berhasil ditekan dari 60 ke 35 persen, pendapatan penduduk meningkat, dan persentasi penduduk yang buta huruf menurun jauh.

Bolivia, yang dulunya selalu menjadi negara termiskin di Amerika Selatan, perlahan-lahan menjadi sebuah negara yang percaya diri, karena kemajuan ekonominya.

Namun, sebenarnya, tonggak sejarah yang berhasil dibuat Evo Morales adalah reforma konstitusi yang berisi tentang hak petani dan penduduk asli. Selain itu, Evo Morales berhasil mengubah UU Pemilu, melalui sebuah referendum dan mendapat dukungan 64 persen suara, mengenai masa periode presiden: hanya dua kali berturut-turut dapat mengikuti pemilu.

Namun, apa yang terjadi kemudian? Leonardo Mindez berpendapat bahwa setelah Evo Morales berhasil mengubah UU Pemilu, ia merasa seperti "memiliki kekuatan yang besar", sehingga kemudian ia "mabuk kepayang" dan "mulailah mengotak-atik" undang-undang.

Pada tahun 2013, dia mengajukan permintaan pengubahan konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Bolivia sekaligus mengubah masa periode keduanya menjadi masa periode pertama, sehingga dia bisa mengajukan diri sekalilagi sebagai calon presiden pada tahun 2014.  

Evo Morales mengajukan plebiscitary untuk mengubah Pasal 168 Konstitusi dan memperbolehkan satu kali lagi mengikuti pemilihan presiden. Plebiscitary itu dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2016, dan ternyata 51,3% penduduk memberikan jawaban TIDAK.

Namun, persoalan tidak selesai sampai di situ. Friksi politik pecah. Semua saling gugat melalui Mahkamah Konstitusi, sementara Mahkamah Konstitusi sendiri memberikan jawaban yang plin-plan.

Gesekan politik terus terjadi, polarisasi tak dapat lagi dihindari. Konflik politik menyebar menjadi perseteruan sosial yang tak kunjung padam. Hal ini membuat perekonomian negara jatuh, misalnya tahun lalu Bolivia mengalami defisit fiskal 8,1% (tertinggi di Amerika Selatan).

Berdasarkan survei, popularitas Evo Morales telah jatuh, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah menang pada putaran pertama pemilihan presiden. Keadaan ini dimanfaatkan oleh partai-partai oposisi, terutama yang beraliran kanan.

Evo Morales yakin bahwa ia menang pada putaran pertama pemilihan presiden. Namun, hasil pemilu tidak jelas, bahkan proses penghitungan suara tiba-tiba berhenti, tak ada data resmi yang dikeluarkan komisi pemilu.

Lima hari kemudian diumumkan bahwa Evo Morales memiliki lebih 10,57% suara dibanding Carlos Mesa. Ini membuat partai oposisi turun ke jalan untuk melakukan aksi protes bahwa telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Sementara itu, Evo Morales tetap menganggap dirinya sebagai presiden terpilih.

Berbagai tuduhan berlalu lalang ke sana ke mari. Ada yang mengatakan bahwa pada putaran pertama Evo Morales tidak mendapatkan suara yang cukup.

Akan tetapi, kemudian Evo Morales dinyatakan menang. OEA akhirnya meminta untuk dilakukan pemilu ulang. Evo Moralespun menerima permintaan tersebut dan dilakukan pemilu ulang.

Sementara itu, tiba-tiba Mahkamah Agung Bolivia mengumumkan bahwa telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh komisi pemilu. Berita ini membuat rakyat menjadi marah dan mulai tidak mempercayai Evo Morales, sehingga tak lama kemudian muncullah permintaan agar Evo Morales mengundurkan diri.

Pascaberita itu polarisasi semakin besar, dan benturan tak dapat dibendung sehingga untuk meredakan konflik tersebut militer (yang didukung oleh partai-partai beraliran kanan) meminta Evo Morales untuk mengundurkan diri.

Apakah telah terjadi kudeta di Bolivia? Luis Fleischman menganggap bahwa apa yang terjadi di Bolivia bukanlah sebuah kudeta. Evo Morales mengundurkan diri itu benar, tetapi bukan karena sebuah kudeta.

Sebenarnya sampai hari ini belum jelas apa yang sebenarnya telah terjadi di Bolivia. Apakah ini sebuah kudeta atau bukan, sebab militer hanya mengatakan bahwa Evo Morales sebaiknya mengundurkan diri, dengan demikian situasi dapat diatasi.

Mungkin kita baru bisa melihat dengan jelas beberapa hari lagi. Namun, jelas sekali bahwa partai kanan memanfaatkan kesempatan untuk menyingkirkan Evo Moreles dari kancah politik di Bolivia. Mereka memanfaatkan konflik yang pecah sejak sidang MK.

Mungkin ada benarnya pendapat Leonardo Mindez, seandainya Evo Morales lebih bijak dan tak terbuai dengan kekuasaan yang dimilikinya, dia akan selalu dikenang dan dihormati oleh rakyat Bolivia. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.

Oleh karena keadaan yang tidak aman, Evo Morales mungkin terpaksa harus keluar dari Bolivia. Ke mana? Paling tidak sudah ada satu alternatif: ke Meksiko.

Menteri Luar Negeri Meksiko sudah menyampaikan solidaritasnya kepada Evo Morales untuk memberikan suaka politik. Mengapa? Meksiko ingin memperlihatkan kepada dunia sebagai sebuah negara yang terbuka. Dan itu sangat penting bagi politik luar negeri Meksiko.

Lalu apa yang akan terjadi di Bolivia setelah Evo Morales mengundurkan diri? Harus ada pemilihan presiden yang baru.

Sementara itu, DPR atau Mahkamah Agung atau yang lainnya harus memutuskan siapa yang akan menjadi pejabat presiden sementara. Bolivia sedang berada dalam ketidakpastian, mungkin masih akan terus terjadi perseteruan dan tindak kekerasan.

Semoga saja permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat.

Mexico City, 12 November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun