Akhir-akhir ini nama Giethoorn begitu mencuat dan menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi, jika kita pergi ke Belanda. Sebagian orang menyebutnya sebagai Venesia-nya Belanda. Apa yang dimiliki Giethoorn sehingga begitu diminati orang?
Sebenarnya tak banyak. Giethoorn sendiri adalah sebuah kota kecil yang sangat sederhana.
Begitu kecilnya kota ini mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah desa.
Namun, yang membuatnya unik adalah bahwa di tempat ini tak ada kendaraan yang berlalu lalang, karena wilayah ini dikelilingi kanal.Â
Di mana-mana ada kanal, bahkan dari satu rumah ke rumah lainpun dipisahkan oleh kanal. Jadi, praktis kota kecil ini dapat dikatakan sebagai sebuah kota kanal.Â
Dan, satu lagi yang membuat tempat ini cukup unik adalah karena di setiap halaman rumah di sana ditanami bunga-bunga, yang jika sedang bermekaran membuat pemandangan begitu indah bak taman firdaus.
Bagaimana sejarah Giethoorn sehingga menjadi sebuah tempat yang begitu indah dan bunga-bunga di sana tumbuh dengan sempurna?
Jika kita membaca catatan World Atlas, diceritakan bahwa kota kecil Giethoorn didirikan pada abad ke-13. Pada masa itu daerah ini merupakan lahan pertanian.Â
Para petani pada waktu itu, ketika menggali tanah untuk membuat lahan pertanian, menemukan tanduk kambing dalam jumlah yang besar yang terkubur di bawah tanah.Â
Tanduk-tanduk kambing tersebut diperkirakan berasal dari jenis kambing liar yang tenggelam ketika terjadi banjir besar pada tahun 1170. Sejak itu wilayah tersebut dijuluki Geytenhoren, yang merujuk pada tanduk kambing yang ditemukan di sana.
Nama itu akhirnya disingkat menjadi Giethoorn, seperti yang sekarang kita kenal.
Pada sumber lain diceritakan bahwa biarawan dari ordo Fransiskanlah yang pertama kali menetap di daerah tersebut pada abad ke-13. Pada masa itu digali kanal untuk mengangkut tanah gambut.Â
Namun, sumber lain lagi mengatakan bahwa Giethoorn pertama kali dibangun pada tahun 1230 oleh sekelompok orang yang lari dari wilayah Mediterania. Mereka membangun kanal untuk menghubungkan dua danau buatan di dua ujung desa itu untuk mengangkut tanah gambut.
Pada masa itu ekstraksi gambut merupakan sumber energi yang penting, terutama untuk digunakan dalam proses industri (salah satunya adalah untuk industri gula).Â
Oleh karena begitu berharganya ekstraksi gambut, penduduk Giethoorn juga ikut-ikutan menggali tanah gambut di mana saja mereka suka.
Seiring dengan semakin banyaknya penggalian dilakukan, terbentuklah kanal-kanal di dalam dan di luar desa.
Pada satu catatan berbeda disebutkan bahwa Giethoorn dibangun pada abad ke-13, tetapi wilayah ini baru dikenal luas, terutama karena produksi ekstraksi gambut, pada abad ke-16 dan ke-17.
Seperti yang kita ketahui, salah satu hal yang membuat ekonomi kerajaan Belanda maju adalah produksi ekstraksi gambut, terutama abad ke-17, dan terus bertahan sampai abad ke-18 dan ke-19.Â
Khususnya selama abad ke-18 dan ke-19 Belanda memang diakui sebagai kerajaan yang memiliki perdagangan dan ekonomi yang sangat kuat di antara kerajaan-kerajaan lain di Eropa.
Namun, sebenarnya sebelum itu Belanda sudah menjadi sebuah kerajaan yang makmur, dan mengonsumsi paling banyak energi berkat eksploitasi ekstraksi gambut.Â
Eksploitasi gambut ini membuat kerajaan Belanda kaya dan merupakan faktor utama kapitalisme mereka. Bahkan, bank meminjamkan uang untuk membeli tanah untuk mengekstraksi gambut, yang kemudian dijual dan digunakan dalam industri.
Pada awalnya produksi ekstraksi gambut dipusatkan di selatan. Ketika eksploitasi ekstraksi gambut di selatan habis, eksploitasi dilakukan di utara.
Ini terjadi sekitar abad ke-16 dan ke-17. Oleh karena permukaan tanah di wilayah kerajaan Belanda begitu datar, tanah gambut mudah dikeruk dan diangkut dengan tongkang melalui sungai, danau, dan kanal.Â
Tanah gambut sebenarnya bukan hanya terdapat di wilayah kerajaan Belanda, tetapi juga di wilayah kerajaan Spanyol.
Namun, lanskap wilayah kerajaan Belanda yang datar membuat pengangkutan tanah gambut menjadikan sebuah pekerjaan yang murah dan cepat.
Ini sebabnya dikatakan bahwa di Eropa penggunaan gambut yang intensif ini hampir-hampir hanya dimiliki Belanda.
Informasi ini nampaknya klop dengan informasi bahwa Giethoorn mulai dikenal pada abad ke-16 dan ke 17, dan daerah itu menjadi salah tempat ekspliotasi ekstrasi gambut.
Sayangnya, lubang besar yang tercipta karena galian, yang kemudian diisi dengan air, sempat menyebabkan banyak masalah dan juga kerugian bagi pertanian.Â
Namun demikian, seperti yang pernah ditulis oleh Gilsanz, pada masa itu populasi perkotaan sudah sangat tinggi, sehingga permintaan produk pertanian pun besar.Â
Keadaan ini membuat pertanian tradisional, yang awalnya berorientasi pada pertanian subsisten dan konsumsi sendiri, beranjak ke model pertanian kapitalis, dan berfokus pada pasar.
Selain itu, untuk memasok pasar yang semakin besar, produksi pertanian harus ditingkatkan dan untuk mencapai permintaan pasar, investasi pertanian difokuskan untuk memodernisasikan metode penanaman, seperti rotasi penanaman, pemilihan benih dan bibit, pupuk, budidaya, dan sebagainya.Â
Sementara itu, untuk meningkatkan lahan pertanian rawa-rawa dikeringkan, dari situ didapatlah lahan tanah dari laut.
Apa yang dilakukan oleh Belanda ini merupakan sebuah inovasi. Tak heran jika pada abad ke-18 belas pertanian Belanda menjadi yang paling modern di Eropa, dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi, jauh di atas rata-rata.
Mengapa Belanda bisa melakukan inovasi-inovasi penting dalam bidang pertanian? Tak heran mereka dapat melakukannya karena universitas di sana menghasilkan ahli-ahli botanik kaliber dunia.
Kalau kita periksa kembali catatan sejarah tentang ahli-ahli botanik dunia, sebagian besar dari mereka berkebangsaan Belanda.
Di antara ahli-ahli botanik terpenting, ada Emanuel Sweert (yang juga seorang pelukis) yang hidup ketika tanaman baru dari seluruh dunia diperkenalkan ke Eropa melalui kapal Belanda, Inggris, dan Prancis, dan berhasil membuat panduan stok tanaman untuk Pameran Frankfurt pada tahun 1612.Â
Ada Frans Kiggelaer, yang juga apoteker dan kurator taman Simon van Beaumont di Leiden, yang pada tahun 1690 menerbitkan katalog tanaman dari taman tersebut.Â
Ada Frederik Ruysch, yang juga ahli anatomi. Ada Friedrich August Ferdinand Christian Went dan anaknya, Frits Warmolt Went, yang mempelajari hormon tanaman, khususnya mengenai peran auksin dalam fototropisme.
Ada Charles Ludwig de Blume atau Karl Ludwig von Blume, yang dilahirkan di Braunschweig (Jerman), tetapi belajar di Universitas Leiden, dan menghabiskan banyak waktunya dengan bekerja di Hindia Belanda. Dia mendalami studi tumbuh-tumbuhan Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama Jawa.
Selain Charles Ludwig de Blume yang mempelajari flora di Hindia Belanda, ada juga Friedrich Anton Wilhelm Miquel dan Caspar Georg Carl Reinwardt yang bahkan diangkat menjadi pengusung berdirinya Kebun Raya Bogor.
Ada Frederik Hendrik Endert yang pernah bekerja di Hindia Belanda. Ia ke Indonesia pada tahun 1915 dan pada tahun 1918 ia bekerja di Pusat Penelitian Pertanaman di Bogor; dari tahun 1925 sampai tahun 1948 ia sempat melakukan ekspedisi ke Kalimantan dan Sulawesi.
Ada Benedictus Hubertus Danser, yang dikenal sebagai ahli taksonomi. Danser menerbitkan revisi lengkap dari genus Nepenthes dan mengenali 65 spesies yang ditulis dalam The Nepenthaceae of the Netherlands Indies.
Di antara para ahli botanik Belanda, mungkin yang perlu digarisbawahi adalah Andre Joseph Guillaume Henri Kostermans, karena ia juga keturunan Indonesia.
Ia dilahirkan di Purworejo, dan menempuh pendidikan di Universitas Utrecht, lalu ia menghabiskan waktu dengan melakukan penelitian dan mempelajari tanaman di Asia Tenggara dan menetap Bogor.
Dengan memiliki ahli-ahli botanik sekaliber itu, tak heran jika taman tulip di Keukenhof dan di Lisse merupakan taman tulip terindah di dunia.
Selain itu, tentunya jenis tanah dan udara juga turut membantu terbentuknya tanaman-tanaman yang indah menawan, begitu sempurna. Di Belanda, di mana-mana, memang bunga-bunga tumbuh dengan sempurna.
Demikian juga di Giethoorn, yang dalam perjalanan sejarahnya tak ada banyak catatan penting yang dapat kita temukan mengenai kota kecil ini.
Pasalnya, belakangan ini tiba-tiba saja nama Giethoorn naik daun dan diminati banyak orang, termasuk wisatawan dari Indonesia.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa tempat itu dijuluki sebagai Venesia-nya Belanda. Tak ayal, berbondong-bondonglah orang berkunjung ke sana untuk melihatnya.
Bagaimana kota kecil ini tiba-tiba begitu populer?
Sebenarnya potensi wisata Giethoorn mulai diketahui setelah 1958, ketika seorang produser film Belanda bernama Bert Haanstra melakukan shooting film komedi Fanfare di sana.Â
Kombinasi bangunan rumah model abad ke 18 dan ke-19 dengan kanal dan bunga ternyata telah menciptakan imej yang begitu sempurna.
Ditambah dengan restoran-restoran yang menyajikan makanan yang berkualitas tinggi, telah membuat Giethoorn menjadi salah satu tempat yang diminati pelancong dalam dan luar negeri.
Mexico City, 3 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H