Pada Pemilu 2014 terlihat partisipasi masyarakat mulai meningkat. Saya juga demikian. Pada Pemilu 2014 saya mendaftar dan terpilih menjadi anggota PPLN Mexico City. Ketertarikan masyarakat terhadap Pemilu 2019 ternyata semakin meningkat. Begitu juga dengan saya. Itu sebabnya, ketika pendaftaran untuk menjadi anggota PPLN Mexico City dibuka, saya pun mendaftarkan diri dan terpilih, dan kali ini saya menjadi ketua.
Dengan pengalaman menjadi panitia pemilu sejak tahun 1999, saya cukup mudah memahami tugas-tugas yang harus saya jalankan. Namun, meskipun sudah memiliki pengalaman yang panjang dan mengerti UU serta peraturan tentang pelaksanaan pemilu, Pemilu 2019 merupakan pengalaman "baru" bagi saya. Bukan hanya karena pilpres dan pileg diserentakkan, melainkan juga karena dalam Pemilu 2019 ada banyak perubahan UU dan peraturan (terutama PKPU), termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah.
Ada beberapa hal yang patut menjadi catatan penting dari pelaksanaan Pemilu 2019.
Pertama, saya melihat bahwa pemerintah Indonesia sudah semakin terbuka dan transparan. Partisipasi masyarakat sebagai elemen yang sangat penting dalam proses demokrasi terlihat mulai dari struktur panitia pemilu.
Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya, ketua "ditunjuk" oleh pimpinan, dan mayoritas anggota diisi oleh staf KBRI, pada Pemilu 2019, formasi PPLN harus benar-benar dari masyarakat (kesekretaritan tetap dipegang oleh staf KBRI mengingat hal-hal yang berhubungan dengan keuangan, komunikasi, dan sebagainya harus melalui pintu KBRI) dan ketua PPLN dipilih oleh anggota PPLN sendiri.
Ketua PPLNlah yang berfungsi seperti nakhoda kapal, sementara kesekretariatan mendukung program dan kegiatan yang dibuat oleh PPLN. Ini adalah bukti bahwa penyelenggaraan pemilu memang dilaksanakan oleh rakyat.
Kedua, struktur organisasi panitia pemilu sudah cukup tertata rapih, baik, dan efektif. Kalau di dalam negeri, KPU bekerja sama dengan Kementrian Dalam Negeri, untuk pelaksanaan pemilu di luar negeri KPU berpartner dengan Kementrian Luar Negeri. Di sini dibentuk POKJA PLN sebagai jembatan antara PPLN dan KPU. KBRI atau KJRI membantu sepenuhnya segala yang diperlukan PPLN dalam menjalankan tugas-tugas.
Dengan adanya kemajuan dalam teknologi, komunikasi antara PPLN, POKJA PLN, dan KPU dapat terjalin dengan baik dan cepat. WAG adalah media yang efektif untuk komunikasi tersebut. Dengan WAG, selain dapat berkomunikasi dengan KPU dan POKJA, sesama PPLN juga saling mengenal (meskipun tidak secara langsung). Dan satu hal yang harus digarisbawahi adalah sesama PPLN saling bantu, sehingga terciptalah satu team-work yang luar biasa; bayangkan kami bisa berkomunikasi dengan semua PPLN di seluruh  dunia.
Ketiga, bimbingan teknis yang diberikan KPU langsung (termasuk dari Komisioner KPU) dan dibantu POKJA PLN. Bagian ini sangat vital, karena melalui bimbingan teknis panitia pemilu dibentuk dan diarahkan sehingga menjadi petugas pemilu yang kompeten, Â yang sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan KPU.
Di samping itu PPLN (dan Sekretariat PPLN) bisa langsung berkontak dengan KPU dan POKJA PLN, saling kenal, dan menjalin hubungan yang harmonis. Sebagai catatan, PPLN dibentuk satu tahun sebelum pemilu di laksanakan, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa PPLN memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kapasitas yang memadai untuk menjalankan pemilu.
Keempat, PKPU sebagai arahan dan rambu-rambu pelaksanaan pemilu di luar negeri (tentu juga di dalam negeri). PKPU adalah acuan pelaksanaan pemilu. Semua PPLN harus tahu, memahami, dan menjalankannya. Dengan demikian, ada keseragaman pelaksanaan pemilu di satu PPLN dengan PPLN yang lain.
Selain ada aturan mainnya, ada pula sanksi. PPLN, meskipun memiliki "wewenang", tidak bisa sesuka hati melakukan kegiatan. Ada laporan, sehingga KPU dan POKJA dapat dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di setiap PPLN.
Kelima, hampir tidak ada celah untuk melakukan kecurangan di dalam pelaksanaan pemilu. Pertama, anggota PPLN berjumlah 3, 5 atau 7 ditambah Sekretariat (berjumlah 3) dan tidak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan KBRI (pemerintah). Setelah itu dibentuk KPPSLN yang berjumlah 3, 5 atau 7.
Dengan jumlah tersebut, sulit terbentuk panitia yang hanya pro satu paslon atau pro satu partai politik. Kontrol terhadap perlengkapan pemilu pun sangat ketat. PKPU menutup (hampir) segala kemungkinan untuk melakukan kecurangan. Kalaupun ada yang melakukan kecurangan, dengan mudah dapat diketahui.
Jadi, dapat saya pastikan bahwa (hampir) tidak mungkin PPLN bisa melakukan manipulasi dalam pelaksanaan pemilu. Lagipula, tidak ada waktu untuk melakukannya. PPLN amat sangat sibuk mengurusi persiapan, mulai dari pembuatan DPT, DPTb, dan DPK ("mengejar" WNI agar dapat dimasukkan ke dalam daftar pemilih yang kadang-kadang, bukannya ucapan terima kasih, malah mendapat omelan dari WNI), pelaksanaan sosialisasi kepada WNI, memberikan bimtek kepada KPPSLN, dan persiapan pelaksanaan pemilu itu sendiri (pemungutan dan penghitungan suara), sampai urusan dokumen pemilu (mulai dari formulir Model A, C, D yang berlembar-lebar).
Mendekati pelaksanaan pemilu, PPLN dan KPPSLN terpaksa harus pulang malam, bahkan sampai tengah malam (sebagian besar anggota bekerja, jadi menjalankan kegiatan pemilu biasanya setelah jam kantor), besoknya harus ke kantor dan sorenya meneruskan persiapan pemilu.
Pada saat pemungutan suara, saya dan tim bekerja mulai dari jam 07:30 sampai 22:00; pada saat penghitungan suara mulai dari jam 08:00 sampai 23:00). Jika kami saja (yang hanya memiliki jumlah pemilih 200), badan rasanya mau remuk, saya tidak dapat membayangkan teman-teman PPLN yang memiliki jumlah pemilih ribuan bahkan ratusan ribu. Tidak bisa dibayangkan. Angkat topi untuk mereka.
Sayangnya, sudah hampir pingsan karena bekerja amat sangat keras, masih saja ada orang yang comel, beginilah, begitulah. Itu masih mending mungkin, sebab ada juga orang yang menuduh ini dan itu hanya untuk memuaskan hati atau karena ada kepentingan pribadi.
Jika PPLN (dan juga KPPSLN) saja bekerja hampir pingsan, dapat dibayangkan bagaimana kerja KPU. Belum lagi harus menghadapi hujatan dan tuduhan ini dan itu. Entah soal kotak suaralah, entah soal surat suaralah, dan sejuta hal lainnya.
Ironisnya adalah bahwa mayoritas orang-orang yang melemparkan hujatan dan tuduhan itu sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti UU Pemilu dan PKPU (pastinya karena tidak membaca). Belum lagi ditambah dengan ketidaktahuan mereka tentang pelaksanaan pemilu di negara-negara lain.
Capekkah menjadi panitia pemilu? Jawabannya: luar biasa capek. Namun, saya dan teman-teman bangga menjadi bagian dari sejarah Pemilu 2019. Saya sendiri mendapat pengetahuan yang sangat banyak. Saya bisa melihat dari dekat tentang pelaksanaan Pemilu 2019 dan saya bisa mengerti dengan baik bagaimana mekanisme pelaksanaan pemilu di Indonesia. Bravo untuk kemajuan yang telah dicapai Indonesia dengan pelaksanaan Pemilu 2019 ini.
Oleh karena itu, saya pun tidak rela PPLN dan KPPSLN, apalagi KPU, dihujat dan dituduh ini dan itu, lebih-lebih kalau yang ada yang mau mengobrak-abrik hasil kerja KPU. Pelaksanaan pemilu itu mahal, bukan saja dari anggarannya, tetapi juga dari tenaga, waktu, hati dan pikiran. Mari kita dukung KPU, karena mereka telah bekerja keras untuk membuat Pemilu 2019 lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Mexico City, 19 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H