Proses belajar-mengajar di kelas mencakup tiga komponen, yaitu pengajar-materi-siswa. Seorang pengajar memiliki beberapa tugas, karena dia harus menjadi tutor, pendidik, dan guru; akan tetapi, pada saat yang sama dia juga harus bertindak sebagai peneliti.Â
Oleh karena itu, seorang pengajar, mau atau tidak, harus memiliki pengetahuan yang mencakup disiplin-disiplin tersebut, ketika ia terlibat dalam proses belajar-mengajar. Tentu saja, seorang pengajar harus menguasai materi yang diberikannya.Â
Dalam banyak diskusi, ketika kita berbicara tentang proses belajar-mengajar, kritik-kritik biasanya berfokus pada pengajar dan bahan ajar. Banyak yang melupakan perhatian terhadap siswa.
Untungnya paradigma telah berubah dan sekarang dianggap bahwa siswa memiliki bobot yang penting dalam proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, dalam diskusi tentang kualitas pendidikan, yang sebenarnya bukan merupakan tema baru, disebutkan bahwa salah satu kriteria untuk mencapai kualitas pendidikan adalah untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa di dalam kelas.Â
Hal ini terlihat dalam perubahan definisi kurikulum dari waktu ke waktu. Pada tahun 60an konsep kurikulum mengacu pada serangkaian perencanaan sekolah untuk mencapai hasil tertentu dalam proses pembelajaran (Inlow 1966; Neagley dan Evans, 1967; Johnson, 1967).Â
Pada tahun 80an muncul gagasan bahwa kurikulum merupakan hasil kerja guru terhadap kegiatan anak-anak di sekolah (Stenhouse, 1987) dan istilah belajar-mengajar sebagai satu komponen semakin digunakan.Â
Sebagai contoh, Joyce dan Weil (1985) mengatakan bahwa proses belajar dan mengajar di kelas adalah proses yang terjadi secara bersama-sama; jika kita berbicara tentang proses mengajar, pada waktu yang sama kita berbicara tentang proses belajar; artinya, kedua proses tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Â
Oleh karena itu, pemisahan antara konteks mengajar dan belajar telah berhenti digunakan, dan telah diputuskan untuk menggunakan istilah belajar-mengajar sebagai satu kesatuan. Tidak hanya itu, sekarang bahkan proses belajar-mengajar di kelas mengacu pada komunikasi segitiga antara pengajar-materi-siswa dalam satu hubungan timbal balik.
Mengenai masalah belajar-mengajar dan akuisisi L2 (bahasa kedua, yang dapat diartikan sebagai bahasa asing), Macaro dan Cohen (2010) membuat diskusi yang cukup luas dan kritis tentang apa yang disebut sebagai strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa. Perdebatan berfokus pada strategi siswa yang digunakan dalam proses akuisisi L2 dan produksi L2 di kelas.Â
Sebenarnya, penelitian strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa telah muncul sejak awal tahun tujuh puluhan, yang disosialisasikan peneliti-peneliti Joan Rubin, David Stern dan Neil Nailman, dan merupakan bagian dari perubahan paradigma mendasar dalam pembelajaran bahasa dari paruh kedua abad kedua puluh.Â