Pendahuluan
Media sosial merupakan media dengan jumlah pengguna terbanyak untuk saat ini. Keunggulan media sosial yang dapat memungkinkan penggunanya mengakses segala hal, menjadi salah satu faktor mengapa media sosial memiliki banyak peminat. Selain kebebasan dalam mengakses, pengguna juga bebas mengupload atau membagi konten ke publik baik berupa gambar, video maupun artikel cerita tertentu. Hal ini lah yang menjadi cikal bakal penyebaran radikalisme di media sosial.
Dalam penelitiaannya, Puspita (2020), menjelaskan bahwa Nurdin (2016) Â mengatakan dalam penelitiaannya mengenai Strategi Propaganda dan Radikalisme di Internet mendeskripsikan kelompok radikal sebenarnya sudah menggunakan internet sejak 1999.Â
Dalam penelitiannya juga, Nurdin menggambarkan propaganda yang dilakukan oleh kelompok radikal memaksimalkan media sosial sebagai medium komunikasi pemasaran. Dengan cara menggunggah gambar dan video setiap hari di internet. Kelompok jihad tersebut  juga membuat banyak akun di internet dan menggunakan tagar sebagai branding. Selain itu mereka juga memprmosikan jihad terbuka dan difusi ideologi online.(Puspita, 2020)
Dalam penelitiaanya, Puspita (2020) juga mencantumkan dua penelitian sebelumnya yang menjelaskan penggunaan internet, khususnya di media sosial, oleh kelompok radikal atau teroris yang dilakukan oleh Jennifer Yang Hui (2017) dan Muthohirin (2015). Hui, melakukan penelitian mengenai fenomena crowdsourcing terorisme dan strategi media sosial ISIS di Indonesia.Â
Hui mengatakan bahwa untuk menarik target sasaran mereka, ISIS meggunakan situs web berbahasa Indonesia yang mengususung tema -- tema seperti antinegara, kiamat dan panggilan untuk hijrah, dan utopianisme dan kemartian (martydom). Muthohirin (2015) juga mengatakan dalam penelitiannya bahwa pergerakan radikalisme di media sosial tidak hanya dilakukan oleh kelompok terafiliasi organisasi teroris, melainkan dilakukan juga oleh organisasi fundamentalisme Islam. Kontennya pun mempropagandakan ideology kekerasan, ujaran kebencian, pendirian negara Islam, dan hujatan terhadap produk -- produk yang berasal dari Barat.
Radikalisasi
Istilah radikalisme berasal dari kata radix yang berarti akar atau sesuatu yang berasal dari asal (basic). Radikalisme berhubungan dengan keinginan yang harus diperjuangkan berdasarkan anggapan bahwa orang harus kembali ke asas dasar ajaran. Menurut Jamaluddin (2015), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi radikalisme, yaitu nasionalisme, agama, dan globalisasi.Â
1) Nasionalisme, faktor ini muncul dalam penjajahan dan rakyatnya menilai sistem yang berlaku sangat kejam dan tidak adil sehingga tidak ada jalan lain, kecuali radikalisme yang bisa mengubah kehidupan mereka. 2) Faktor agama, yakni aksinya berdasarkan ketentuan dalam agama itu sendiri yang oleh masyarakat luas diinterpretasikan berbeda-beda. 3) faktor globalisasi, muncul karena ada kelompok yang belum siap menerima dampak kemajuan teknologi negara maju yang hasilnya menyalur ke pelosok dunia.
Paham radikal sering diartikan sebagai terorisme, padahal keduanya memiliki perbedaan. Seorang teroris sudah pasti menganut paham radikal, tetapi penganut radikal belum tentu seorang teroris, meskipun paham radikal ini menjadi tangga utama untuk seseorang yang akan terjerumus menjadi seorang teroris.Â
Menurut Kelly Manthovani dalam tulisannya yang berjudul Radikalisme dan Terorisme dalam Pespektif Psikologi Sosial, mengatakan bahwa terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan yang diperhitungkan atau ancaman kekerasan untuk menghasilkan kekuatan. Terorisme ini merupakan hasil dari proses radikalisasi individu maupun kelompok yang memaksa untuk melakukan intimidasi terhadap pemerintah atau masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan yang umumnya merupakan tujuan politik, agama, maupun ideology. (Manthovani, 2016)
Menurut Prof. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT, radikalisme di Indonesia terdapat tiga bagian, yaitu : Pertama, Radikalisme Keyakinan, para penganut paham ini berkeyakinan bahwa setiap orang yang 'berbeda' dengannya dalam segi apapun terutama keyakinan merupakan kafir. Kedua, Radikalisme Politik, kelompok ini memiliki keinginan untuk mengubah bentuk negara NKRI menjadi negara degan syariat islam berdasarkan ayat -- ayat al quran ynag memiliki tafsir holistik, tetapi mereka tidak memahami ilmu tafsir.Â
Kelompok ini tidak memiliki keinginan untuk megkafirkan orang lain. Ketiga, Radikalisme Tindakan, pada kelompok ini, penganutnya memiliki keinginan untuk melihat atau memperlihatkan hal -- hal yang anarkis. Perpaduan dari kelompok sebelumnya yaitu suka mengkafirkan orang, ingin merubah bentuk negara, dan suka terhadap kerusakan. Pada kelompok inilah seseorang berada di tahap menjadi teroris.
Pada dasarnya paham radikal ini, bertujuan untuk menciptakan ketakutan atau yang biasa mereka sebut sebagai menggetarkan. Hal ini terjadi lantaran mereka menafsirkan salah satu ayat dalam surah Al -- Anfal ayat 60 yang artinya "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang -- orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)".Â
Berangkat dari ayat inilah mereka berani melakukan hal -- hal yang tidak manusiawi dengan anggapan mereka melakukannya untuk berjuang di jalan Allah. Padahal jika ditafsirkan secara benar, makna dari kata menggetarkan disini adalah menggetarkan jiwa seseorang dengan cara yang baik agar seseorang itu dapat menerima islam sebagai keyakinannya. Â
Hal -- hal seperti diatas ini lah yang membuat orang -- orang menjadi simpati terhadap kelompok mereka (radikal). Terutama di masa new media seperti saat ini, masyarakat akan sangat mudah menemui hal -- hal agama yang sebenarnya berbau radikal. Masyarakat banyak yang terkecoh karena narasi -- narasi yang kelompok radikal ini sebarkan di media sosial merupakan narasi dengan bahasa tafsiran keagamaan bukan bahasa agama. Seperti yang baru -- baru ini terjadi, kasus penyerangan oleh pelaku Z-A di Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021 berujung dengan penembakan pelaku oleh pihak kepolisian.Â
Pelaku Z-A ini datang ke Mabes Polri sekitar pukul 16.30, melalui pintu belakang. Dirinya ditembak polisi karena menembakkan pistol yang ia pegang sebelumnya kepada polisi, meskipun akhirnya polisi tersebut tidak mengalami luka serius dan dirinya ditembak ditempat sebagai tindakan tegas terukur dari petugas polisi.Â
Dikonfirmasi oleh Ustadz Sofyan, bahwa senjata yang dibawa oleh pelak Z-A merupakan senjata dengan jenis M-84 bereta, yang dibeli pada 17 Februari 2021. Senjata M-84 kaliber 4,5 ini diupgrade hingga 900 fps, dimana pada 600 - 900 fps jika ditembakkan dengan jarak 1 -2 meter akan tembus kepala. Setelah diselidiki melalui barang -- barang yang pelaku bawa dan menelusuri akun media sosialnya, dikonfirmasi bahwa pelaku Z-A merupakan anggota Ione wolf yang beridelogi ISIS. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan foto bendera ISIS dan kisah perjuangannya dari akun media sosialnya.(Nma, 2021)
Di dalam sebuah tatanan kelompok radikalis, menurut Prof Irfan Idris terdapat empat lapisan, yaitu: 1) Sympetizer / simpatisan, pada lapisan ini mereka hanya sekedar bersimpatis saja terhadap kelompok radikal ini. Mereka memiliki kekecewaan/ketidakpuasan terhadap pemerintah sehingga ia bersimpati pada kelompok tertentu yang bertindak 'anarkis'. 2) Supporter / mendukung, lapisan ini yang akan mendukung / menyumbang secara materi seperti menyiapkan tempat, memfasilitasi pelatihan, tetapi mereka ini belum yakin terhadap ideology tersebut. 3) Militant, lapisan ini lah yang akan turun mengeksekusi, menurut paham mereka, lapisan ini yang ingin dan akan masuk surge karena berani mati dan dibunug oleh seorang kafir. 4) Hardcore/inti/kharismatik, lapisan ini rata -- rata berusia 50 tahun ke atas, bertugas sebagai pembuat narasi dan menjadi seorang 'ustadz' (yang mencuci otak orang -- orang agar mau ikut bergabung dalam kelompok mereka).
Pada kelompok radikal terdapat istilah istis mataa / istiyadiah yang berarti meminta mati / meminta syahid. Hal ini mereka lakukan karena beranggapan ketika dirinya dibunuh oleh anshar thagut (orang -- orang yang melampaui batas hukum Allah) merupakan hal yang mulia dan beranggapan bahwa matinya adalah mati yang syahid. Anshar Thagut ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu, Â pertama near enemy yaitu semua orang yang mengahalangi ideology mereka atau biasa disebut kafir. Kedua far enemy yaitu musuh yang jauh seperti polisi, tentara dan jajaran -- jajaran negara lainnya.
Radikalisme dalam Perspektif Psikologi
Umumnya, para penganut kelompok radikal merupakan orang -- orang  yang sedang depresi, banyak masalah dan sedang mencari 'seseorang untuk menolongnya'. Hal ini sejalan dengan penyataan Ustadz Sofyan Tsauri, yang merupakan mantan anggota teroris yang sebelumnya berprofesi sebagai Polisi. Dirinya mengaku bahwa untuk mempengaruhi seseorang atau dikenal dengan istilah brain wash/cuci otak, dirinya hanya membutuhkan waktu satu hingga dua jam saja. Ia akan memutar balikan logika si korban agar memiliki pemahaman yang sama dengan kelompoknya, contoh narasinya "tidak berjuang sakit, berjuang sakit.Â
Jika kita berani mengorbankan semuanya untuk urusan dunia, mengapa kita tidak mau berkorban di jalan Allah". Narasi -- narasi dengan bahasa keagaman ini lah yang akan membuat korban terpengaruh, terutama jika korban sedang mengalami kesulitan dalam urusan dunia dan sedang mencari 'Tuhan', korban pasti akan mudah dipengaruhi karena merasa dirinya belum berbuat banyak untuk menegakan agamanya. Pada proses ini korban mulai mengalami intenalisasi nilai -- nilai keagamaan yang berdasarkan ajaran -- ajaran islam khususnya namun tidak diterjemahkan sesuai dengan ajaran --ajaran islam yang seharusya.Â
Setelah diberikan 'pembekalan rohani' korban akan merasa berdosa dan ingin sekali berubah untuk berjuang di jalan Allah. Dan si korban tentu akan melakukan apa saja yang dianggapnya sebagai bentuk jihad untuk fii sabilillah, termasuk aksi terorisme. Baginya membunuh seorang kafir (org yang berbeda dengan keyakinanya) adalah hal yang benar dan mulia. Dan mati karena dibunuh oleh orang kafir/anshar thagut adalah hal yang mulia dan akan masuk surga.
Setelah melakukan aksi terornya, teroris juga akan merasa senang jika perbuataanya itu di publish media secara massal, termasuk pengungkapan identitas dirinya, karena hal tersebut merupakan ajang untuk eksistensi mereka. Para penganut paham ini setiap individunya memiliki akun media sosial lebih dari satu. Hal ini bertujuan untuk mengangkat tagar di media sosial sehingga banyak simpati yang mereka dapatkan dari khalayak.
Dan inilah yang berbahya, karena siasat -- siasat mereka yang menyasar pada kaum milenial / muda berhasil karena generasi saat ini lah yang aktif menggunakan media sosial sedangkan untuk regulasi dan penggunaan yang baik dan benarnya belum mereka pahami. Radikalisme bukan hal yang mudah untuk ditumpas karena sejatinya kita manusia memiliki paham radikal itu sendiri, hanya saja bagaimana kita mengelolanya sehingga tetap sesuai pada ajaran agama yang ada dan sesuai aturan negara yang berlaku.
Referensi
Hadziq, A. (n.d.). NASIONALISME ORGANISASI MAHASISWA ISLAM DALAM MENANGKAL RADIKALISME DI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SURAKARTA. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al -Thariqah, 4, No.1. https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://journal.uir.ac.id/inex.php/althariqah/article/download/2791/1797/&ve=2ahUKwjT_JmvsNfvAhVWWX0KHXv4AOwQFjAEegQICRAC&usg=AOvVaw17KMKnkKtVTHhRUMDc2Wd
Hasani, I.; B. T. (2012). dari Radikalisme menuju Terorisme (I. dan Nb. T. Hasani (ed.)). Pustaka Masyarakat Setara.
Manthovani, K. (2016). Radikalisme dan Terorisme dalam Perspektif Psikologi Sosial. Universitas Indonesia. https://www.ui.ac.id/radikalisme-dan-terorisme-dalam-perspektif-psikologi-sosial/
Nma, T.; (2021). Kronologi Penyerangan Mabes Polri oleh ZA. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210331205834-20-624646/kronologi-penyerangan-mabes-polri-oleh-za/amp
Puspita, R. (2020). KONTRA-RADIKALISASI MEDIA SOSIA DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI. Jurnal Komunikasi Universitas Garut: Hasil Pemikiran Dan Penelitian, 6, No.2.
Corbuzier, Deddy. (2021) ILMU CUCI OTAK TERORISME !! KITA BONGKAR !! Deddy Corbuzier Podcast
https://youtu.be/QTK747tp-AA
Oleh : Nurul SH
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI