Mohon tunggu...
Said Mustafa Husin
Said Mustafa Husin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Liyangan, Lorong Waktu di Kaki Gunung Sindoro

23 Desember 2022   18:49 Diperbarui: 21 Januari 2023   06:26 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangunan setelah penggalian (Foto Dokpri)

"Liyangan, dusun kecil di kaki Gunung Sindoro, kini menjadi perbincangan dunia. Berbagai temuan arkeologi di situs Liyangan akan menjadikan kawasan ini sebagai lorong waktu untuk menelusuri tingginya peradaban Nusantara"

Matahari baru saja naik sepenggalah ketika para penulis yang dikoordinir Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) tiba di situs Liyangan di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu pekan lampau

Kawasan yang kini dihuni sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) ini pada masa lalu pernah mengalami kejayaan. Priodesasinya sama dengan Romawi Kuno di awal abad Masehi. Peradaban Liyangan dalam skala local genius tak kalah dengan peradaban kerajaan besar lainnya di dunia.

Namun sedihnya peradaban Liyangan terputus akibat bencana geologi, Meletusnya Gunung Sindoro pada abad ke 11, membuat kawasan ini tertimbun abu vulkanik. Seluruh bangunan di Liyangan tertimbun dalam tanah lebih dari seribu tahun lamanya

"Lebih seribu tahun tertimbun. Ekskavasi penyelamatan situs Liyangan baru dimulai pada 2010 lalu," kata arkeolog Sugeng Riyanto dalam sesi diskusi di ruang meeting sebuh hotel di Temanggung, Sabtu malam pekan lampau

Dalam paparan Sugeng disebutkan setelah melalui kajian teknis pada 2017, situs Liyangan memasuki tahapan pemugaran, rehabilitasi, konsolidasi dan delineasi pada 2021. Tahun 2022 ini situs Liyangan sudah memasuki tahapan kajian pengelolaan

Dari hasil ekskavasi empat teras di hamparan situs Liyangan ditemukan artefak peninggalan purbakala. Kendati teras satu belum diekskavasi seutuhnya, namun di sini ditemukan arang kayu dan bambu dalam gumpalan abu vulkanik.

Diduga, pada teras satu dulunya ada bangunan dari bahan kayu berdinding anyaman bambu. Kuat dugaan bangunan ini milik pemimpin Liyangan karena letaknya di atas kawasan peribadatan

Sedangkan di teras dua, ada bangunan candi utama yang kini sudah dipugar. Hanya saja arca Nandi yang seharusnya berada di atas bangunan candi utama tidak ditemukan. Di puncak candi hanya ada yoni dengan liang kosong tanpa arca

Di teras dua ini juga ada tiga batur tempat berkumpul sebelum melakukan peribadatan. Di setiap puing batur ini ditemukan empat lobang yang juga diduga sebagai lobang tiang kayu. Sehinga diyakini bangunan batur ini dulu menggunakan atap disanggah tiang kayu

Bangunan setelah penggalian (Foto Dokpri)
Bangunan setelah penggalian (Foto Dokpri)

Sementara itu di teras tiga, ada lagi candi. Arkeolog mendokumentasikan sebagai candi dua. Uniknya candi dua ini tidak memiliki tangga seperti lazimnya candi di Nusantara. Kuat dugaan tangga candi ini terbuat dari bahan kayu lalu hangus menjadi abu akibat letusan gunung Sindoro

Keunikan lain dari candi di teras tiga ini, di sekeliling candi ada bangunan turap penahan tanah, tapi bangunan turap ini tidak dibangun dengan batu andesit lazimnya bangunan candi.Turap ini dibangun dengan bahan dari batu kali.

"Ini bukti bahwa kawasan teras tiga ini dibangun lebih awal sebelum ada akulturasi budaya," kata Sugeng Riyanto

Menyisir ke bawah lagi ada teras empat sebagai kawasan patirthaan. Kawasan ini wajib dalam peribadatan Hindu yaitu air untuk mensucikan diri dan air sebagai lambang kehidupan. Patirthaan ini dibangun dengan meru yang arsitekturnya sudah berbaur dengan budaya luar

Di teras empat atau dekat meru patirthaan ada lumbung padi. Ini dibuktikan dengan temuan padi yang sudah menjadi arang dalam jumlah yang relatif besar. Arang padi ini terbungkus abu vulkanik. Para arkeolog berpendapat arang padi ini tidak rusak lantaran terbungkus abu vulkanik

Begitu tingginya peradaban anak bangsa di Liyangan pada masa lalu. Ini juga bisa dilihat dari bangunan jalan selebar enam meter yang merentang panjang. Jalan ini menurut Sugeng awalnya dibangun abad 2 masehi atau dalam tahapan local genius

Diperkirakan ruas jalan ini menuju candi Pringapus, candi Perot yang tak jauh dari situs Liyangan. Bahkan ruas jalan ini diperkirakan menuju candi Gondosuli terus ke candi-candi di Dieng

Dari lebar jalan enam meter bisa diperkirakan betapa pada masa itu tingginya populasi penduduk di Liyangan. Bahkan di atas tebing bangunan jalan, ada lokasi persawahan. Di sini juga ditemukan yoni tempat pemujaan sebelum musim tanam dimulai 

Jalan selebar enam meter (Foto Dokpri)
Jalan selebar enam meter (Foto Dokpri)

Ekskavasi situs Liyangan masih terus berlanjut. Bahkan Sugeng menyebutkan akan ada ekskavasi teras lima, teras enam, teras tujuh, delapan dan sembilan. Situs Liyangan terdiri dari zona inti seluas 10 hektar, zona penyangga 17 hektar dan zona pengembangan seluas 132 hektar

"Total keseluruhan luas situs Liyangan sekitar 159 hektar," kata arkeolog Sugeng Riyanto

Ada catatan menarik dari situs Liyangan yang tidak ditemukan pada situs lainnya. Selain bangunan candi dan patirthaan, situs Liyangan juga meninggalkan jejak hunian. Ini tidak saja terlihat dari temuan artefak, tapi jejak hunian juga terlihat dari sumber data ekofak, seperti persawahaan, jalan selebar enam meter dan bangunan hunian

Perjalanan sejarah Liyangan memang cukup panjang mulai dari abad 2 masehi hingga meletusnya Gunung Sindioro di abad ke 11. Karena itu dari artefak yang ditemukan banyak sekali ditemukan guci dari dinasti Tang yang memerintah Topongkok pada abad 8 -9 masehi.

Guci dan artefak lainnya ditemukan di kediaman warga. Sayangnya dari reruntuhaan bangunan candi hanya menyiskaan yoni, karena itu candi yang dipugar tidak dilengkapi lingga. Arca Nandi yang seharusnya berada di puncak candi utama tidak terlihat

"Semua arca di kawasan ini tidak ditemukan," kata arkeolog Sugeng Riyanto

Ini sebenarnya terjadi hampir di semua situs. Puing batu andesit yang berserakan hanya berupa yoni tidak ada lingga. Arca-arca sering diperjualbelikan warga kepada kolektor. Apalagi situs Liyangan ini ditemukan warga penambang pasir pada 2008 lalu.

Kala itu warga menemukan talut dari batu andesit, di dekat talut ada yoni tapi lingganya tidak ditemukan. Di atas yoni ini diperkirakan dulunya arca Nandi atau juga Ganesha.

Sejak laporan warga 2008 lalu, Balai Arkeologi Yogyakarta dan Jawa Tengah mulai melakukan ekskavasi penyelamatan

"Penggalian dimulai 2010 lalu," kata arkeolog Sugeng Riyanto

Proses peggalian (Foto Dokpri)
Proses peggalian (Foto Dokpri)

Sebenarnya dalam catatan kolonial Belanda ada temuan artefak logam di Liyangan pada 1911. Dugaan kian menguat ketika ditemukan batu dan komponen bangunan candi saat penggalian PDAM pada 1991. Namun ekskavasi penyelamatan baru dimulai 2010 lalu

Entah kenapa situs Liyangan nyaris lenyap dalam catatan sejarah, baik dalam sejarah Singosari maupun sejarah Majapahit tidak ditemukan catatan tentang Liyangan. Namun dalam analisa arkeolog Liyangan merupakan bekas Kerajaan Mataram Kuno.

Pendapat para arkeolog ini berpijak pada keterangan dalam prasasti Tulodong. Dalam prasasti itu disebutkan Raja Tulodong berasal dari Rakai Ilayang yang kemudian diterjemahkan sebagai Liyangan

"Ada kata Ilayang dalam prasasti Tulodong," kata arkeolog Sugeng Riyanto

Situs Liyangan berada di sisi timur kaki Gunung Sindoro. Lokasinya yang jauh di pedalaman telah mengundang berbagai pertanyaan. Bagaimana proses akulturasi budaya terjadi di Liyangan. Pasalnya Liyangan tidak berada di kawasan pesisir utara Pulau Jawa yang mudah didatangi pendatang luar.

Apakah pendatang dari India ataupun Tiongkok sengaja berkunjung ke Liyangan sehingga Liyangan bisa mengenal budaya yang lebih maju kala itu?

Lalu bagaimana dengan guci pada masa dinasti Tang sampai ke Liyangan? Apakah Liyangan mengirimkan putera terbaiknya untuk belajar ke luar lalu membawa pulang berbagai pengetahuan termasuk membangun candi atau para seniman candi yang diundang ke pedalaman Liyangan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kini bermunculan. Apalagi peradaban Liyangan dikenal sangat maju pada masanya. Baik peradaban yang berasal dari local genius maupun peradaban yang sudah mengalami akulturasi.

Berbagai pertanyaan ini pula yang akan membuat Liyangan menjadi lorong waktu untuk menelusuri dan membentangkan lembar sejarah peradaban anak bangsa yang setara dengan kebesaran Romawi Kuno. Semoga semua pertanyaan ini bisa terjawab secepatnya (esemha)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun