Upaya Amerika untuk mendapatkan dukungan PBB Â dalam menekan Iran sebenarnya tinggal selangkah lagi. Jika ini berhasil ruang gerak Iran pun semakin sempit.
Draft yang memuat sejumlah tekanan untuk Iran itu sudah masuk tahapan voting. Dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB yang ikut voting Senin (27/2/2018), sebanyak 11 suara memberikan dukungan.
Namun belum sempat draft yang memuat berbagai embargo kepada Iran itu disetujui menjadi resolusi Dewan Keamanan PBB, Rusia langsung membatalkannya lewat hak veto.
Sikap Rusia itu, membuat Amerika Serikat seperti mendapatkan tamparan perih. Rencana menekan Iran yang disusun Amerika bersama Inggeris dan Perancis itu akhirnya dibuyarkan veto Rusia.
Amerika Serikat memang sangat bernafsu untuk menekan Iran. Pasalnya Amerika sudah sejak lama mengidentifikasi rudal Iran digunakan kelompok pemberontak Houthi dari Yaman. Itupun sudah dikemukakan Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley.
Dikutip Kantor Berita Reuters, Nikki Haley di depan anggota Dewan Keamanan PBB mengatakan sebuah rudal yang digunakan kelompok Houthi Yaman untuk menyerang Arab Saudi Selasa (19/12/2017) teridentifikasi sebagai senjata buatan Iran. Ia pun mendorong Dewan Keamanan PBB untuk bertindak.
Arab Saudi juga sudah begitu lantang menuding Iran. Dilaporkan Kantor berita SPA, seperti dilansir Al Jazeera, Arab Saudi menuding Iran sengaja menyuplai kebutuhan militer kepada Houthi dengan tujuan mengincar kerajaan, rakyat, dan kebijakan vitalnya.
Saudi menyatakan, Iran melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB 2216. Resolusi itu melarang adanya keterlibatan suatu negara untuk mempersenjatai kelompok pemberontak. Namun Iran terbukti mensuplay senjata kepada pemberontak Houthi di Yaman.
Kenapa Iran sampai mendukung kelompok Houthi. Dihimpun dari berbagai sumber bacaan, Iran sejak revolusi Ayatollah Khomeini seakan mengklaim negaranya sebagai pusat Syiah dunia. Kelompok Houthi adalah minoritas Syiah di Yaman. Sehingga Iran berperan mendukung syiah Houthi.
Sedangkan Arab Saudi adalah negara dimana terdapat dua tempat suci umat muslim Mekah dan Madinah. Di Arab Saudi kaum Sunnih adalah mayoritas. Bahkan Saudi mengklaim sebagai pusat Sunnih dunia. Â Dari sinilah kedua negara itu bersaing untuk saling mempengaruhi negara tetangganya.
Hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi sudah beku sejak lama. Kondisi puncaknya terjadi ditengah pertikaian hukuman mati ulama syiah terkemuka Sheikh Nimr al Nimr. Â Ulama syiah yang dibesarkan di pesantren Iran ini dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Khusus Arab Saudi 15 Oktober 2014 lalu.
Eksekusi mati yang dilakukan Arab Saudi terhadap ulama syiah terkemuka Syeikh Nimr al Nimr itu membuat warga Iran naik pitam. Kedutaan besar Arab Saudi di Teheran diserang pengunjuk rasa. Akhirnya Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Dari berbagai keterkaitan ini, Amerika semakin berani menuduh rudal Iran telah digunakan kelompok pemberontak Houthi dalam serangan ke Arab Saudi. Bahkan Arab Saudi pernah menembak jatuh rudal Houthi yang menrgetkan Bandara Internasional King Khaled pada awal November 2017 lalu. Dari serpihannya diyakini sebagai senjata buatan Iran.
Apalagi operasi militer Arab Saudi yang sudah berlangsung di Yaman sejak beberapa tahun lalu, namun tak jua berhasil menundukkan kelompok pemberontak Houthi. Sehingga kecurigaan Amerika dan Arab Saudi terhadap Iran yang bermain dibelakang kelompok pemberontak Houthi semakin tajam.
Iran sendiri sebenarnya sudah banyak sekali mendapatkan tekanan lewat resolusi PBB. Bukan saja larangan membuat senjata nuklir tapi juga embargo dalam hal-hal lain di bidang perdagangan. Namun tekanan itu tidak membuat Iran patah arang. Rakyat dari negara Ayatollah Khomeini ini  tetap saja tampil garang.
Sikap Iran ini tak pernah surut karena selalu mendapatkan dukungan Rusia. Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB, Dubim Vladimir Safronkov berulangkali meminta Dewan PBB untuk meninggalkan bahasa ancaman dan sanksi terhadap Iran. Ia meminta Dewan PBB untuk mulai menggunakan instrumen dialog untuk memperluas kerja sama dan sikap saling percaya.
Atas dukungan Rusia pula sanksi terhadap Iran dicabut pada 2016 lalu. Pencabutan sanksi itu berlangsung dibawah kesepakatan nuklir yang ditengahi oleh kekuatan dunia dan diabadikan dalam resolusi Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut masih mengarah ke embargo senjata dan pembatasan lainnya di luar kesepakatan nuklir.
Kendati begitu, Amerika Serikat memang tak pernah berhenti menekan Iran. Itulah, pada Senin (27/12/2018), Amerika sudah memvotingkan draft tekanan untuk Iran. Tinggal selangkah lagi draft yang mempersempit ruang gerak Iran itu akan dikodifikasi menjadi resolusi dewan kemanan PBB. Namun Rusia menunjukkan taringnya. Rusia memveto resolusi tersebut.
Apakah Amerika Serikat diam begitu saja dengan sikap Rusia ini. Ternyata tidak, Duta Besar Amerika untuk PBB, Nikki Haley langsung angkat bicara. Wanita bertubuh langsing ini justeru mengancam akan melakukan tindakan sendiri jika Rusia masih saja membela Iran.
"Jika Rusia akan terus melindungi Iran maka AS dan mitra-mitra kami perlu bertindak sendiri. Jika kita tak akan mendapatkan tindakan di dewan maka kita harus bertindak sendiri," Tegas Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley kepada para wartawan seperti dilansir kantor berita Reuters, Selasa (27/2/2018).
Namun Haley tidak menjelaskan lebih rinci mengenai tindakan apa yang akan diambil terhadap Iran. Haley hanya terkesan mulai emosional. Ia berbicara lantang soal sikap Rusia dalam memveto resolusi Dewan Keamanan PBB soal Iran. Haley menyatakan akan mengambil tindakan sendiri. Ini semua tentu karena kecewa.
Sebenarnya, apa yang tengah dirasakan Amkerika ini telah pula pernah dirasakan oleh 128 negara yang pernah memilih mendukung resolusi PBB yang berisi penolakan keputusan Trump soal ibu kota Yerusalem. Kendati voting jauh unggul tapi kemudian dipatahkan oleh veto Amerika. Duta besar dari 128 negara itupun terdiam. Begitulah politik dunia. (Said Mustafa Husin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H