Mohon tunggu...
Said Mustafa Husin
Said Mustafa Husin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sikap Guatemala dalam Kasus Pembunuhan Wartawan

3 Februari 2018   17:58 Diperbarui: 5 Februari 2018   21:54 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah pagi yang cerah, Sabtu 13 Januari 2018, anggota kongres yang cukup disegani di Guatemala, Julio Juarez Ramirez tengah duduk santai di kediamannya di Distrik Selatan Suchitepequez. Saat itulah, Kejaksaan Agung Guatemala menyergap dan menangkapnya.

Politisi yang juga mantan Wali Kota Selatan, San Antonio La Union ini ditangkap dengan tuduhan merencanakan pembunuhan dua wartawan pada Maret 2015 lalu. Ramirez dituduh telah mengatur serangan mematikan terhadap wartawan surat kabar Prensa Libre, Danilo Efrain Zapn Lpez dan Federico Benjamin Salazar Gernimo.

Reuters melaporkan, setelah ditangkap, Ramirez ditahan di Guatemala City. Kendati ditahan, politisi partai FCN Nacion ini terus membantah tuduhan terhadap dirinya. Bahkan Ramirez mengaku tidak punya masalah dengan wartawan. Dirinya kata Ramirez punya hubungan baik dengan wartawan.

Namun Jaksa dan Penyelidik Komisi Internasional Penentang Impunitas mendapatkan bukti bahwa kedua wartawan yang dibunuh itu sedang menyelesaikan laporan tentang kasus korupsi di pemerintahan Ramirez. Kasus korupsi itu terjadi  saat Ramirez menjabat wali kota San Antonio La Unuion pada priode 2012 -2015 lalu.

Sebenarnya, Desember 2017 lalu, Departemen Keuangan AS juga memberi sanksi kepada Julio Juarez Ramirez berdasarkan Undang-Undang Akuntabilitas Intelijen Global Magnitsky. Sanksi itu diberikan atas dugaan perannya dalam serangan yang mematikan terhadap dua wartawan Prensa Libre. Itulah makanya Ramirez sampai kini masih ditahan.  

Dua hari lalu, Kamis (1/2/2018), Guatemala digegerkan lagi oleh kasus pembunuhan wartawan.  Dua wartawan yang kemudian teridentifikasi sebagai Laurent Castilo dan Alfredo de Leon ditemukan tewas di sebuah ladang tebu di Guatemala. Wartawan malang ini ditemukan tewas dengan luka tembak, sementara kepala, tangan serta kaki dalam kondisi terikat.   

Jasad kedua wartawan ini ditemukan seorang petani tebu di dekat wilayah Santa Domingo, di Distrik Selatan Suchitepequez. Sebelumnya kedua wartawan ini dilaporkan hilang saat akan meliput sebuah perayaan karnaval di Mazatenanho. Selang beberapa hari setelah itu, jasad kedua wartawan malang itu ditemukan tergeletak tak bernyawa di sebuah ladang tebu.

Kasus kematian dua wartawan di ladang tebu ini sangat mengusik Jaksa Ombudsman Guatemala, Jordan Rodas. Seperti dikutip AFP, Jordan Rodas mengatakan kasus pembunuhan terhadap wartawan ini tidak bisa dibiarkan. Otoritas berwenang diminta untuk segera menyelidiki pembunuhan dua jurnalis ini.

"Saya meminta pihak berwenang segera melakukan penyelidikan untuk menemukan orang-orang dibalik tindakan kriminal ini," kata Rodas seperti dikutip AFP, Jumat (2/2). Rodas menambahkan Pemerintah Guatemala juga diminta untuk menerapkan aturan yang melindungi dan menjamin hak-hak wartawan serta media di negara itu.

Rasanya sulit sekali menelusuri kenapa di Guatemala aksi pembantaian yang dilakukan terhadap wartawan terkesan sangat semena-mena. Wartawan dibunuh dengan sangat kejam. Kaki dan tangan diikat lalu ditembak. Jasadnya dibiarkan tergeletak begitu saja.

Apakah benar seperti yang tengah dikhawatirkan Jaksa Ombudsman Jordan Rodas. Ia mengatakan pemerintah Guatemala belum menerapkan aturan yang melindungi dan menjamin hak-hak wartawan serta media di negara itu, sehingga Guatemala diminta menerapkan aturan yang melindungi wartawan.

Kasus pembunuhan wartawan sebenarnya bukan saja terjadi di Guatemala tapi terjadi di banyak negara di dunia ini. Bahkan di negara yang sudah menerapkan aturan yang melindungi wartawan, juga sering terjadi pembunuhan terhadap wartawan. Lantas apa penyebab munculnya tindakan kekerasan terhadap wartawan.

Merujuk kepada kondisi itu, tampaknya kita perlu sepakat dengan pendapat bahwa aksi kekerasan terhadap wartawan bukan karena negara belum menerapakan aturan yang melindungi wartawan. Aksi kekerasan itu terjadi karena sistem demokrasi negara itu  masih amburadul.

Lantas bagaimana sistem demokrasi di Guatemala

Dari berbagai catatan yang dihimpun, Guatemala ini dulunya memang dipimpin diktator militer Jurge Ubico sejak 1931. Namun masa emas kediktatoran Ubico berakhir pada bulan Juni 1944. Ini disebabkan di negeri itu muncul aksi pemogokan besar-besaran oleh rakyat yang sudah muak dengan pemerintahan diktator.

Posisi Ubico digantikan Federico Ponce Vaides. Namun Vaides tidak bertahan lama di kursi pemerintahan. Kediktatorannya digulingkan oleh gerakan rakyat yang disebut Revolusi Oktober. Dibelakang Revolusi Oktober ada mahasiswa, tentara dan simpatisan liberal yang menginginkan perubahan sosial politik yang lebih radikal.

Revolusi Oktober menggagas pemilu nasional pada 1945 dan pemenangnya Juan Jose Arevalo yang kemudian menjadi presiden Guatemala hingga 1951. Dalam pemilu berikutnya, Guatemala dipimpin presiden yang juga terpilih secara demokratis, Kolonel Jacobo Arbenz. Presiden Arbenz ini didukung kekuatan massa sayap kiri.

Inilah yang membuat kekhawatiran Amerika. Guatemala diamati mulai menuju komunisme. Pemerintah AS melihat pemerintahan Arbenz mulai mengembangkan pengaruh komunisme. Pada 1952, Árbenz memulai sebuah program reformasi pertanian yang mengalihkan lahan tak tertanam dari para tuan tanah besar ke para buruh miskin.

Atas kekhawatiran itu, lalu pada 1954, Amerika Serikat menyusun aksi kudeta yang dikendalikan CIA untuk menggulingkan presiden Jacobo Arbenz. Aksi kudeta yang diberi kode PBSUCCESS itu berhasil. Amerika pun mendudukkan diktator Carlos Castillo Armas. Kediktatoran pun berlarut-larut dalam pemerintahan Guatemala.

Masa kediktatoran berakhir ketika pengadilan Guatemala menjatuhkan vonis 50 tahun penjara untuk mantan diktator Guetemala, Efraín Ríos Montt pada Mei 2013 lalu. Efrain dianggap bertanggung jawab atas pembantaian 1771 orang masyarakat adat keturunan Indian Maya di tahun 1980-an.

Keputusan pengadilan terhadap mantan dikatator yang kejam itu bagi rakyat Guatemala merupakan kemenangan besar bagi demokrasi dan penegakan HAM. Apalagi, ini pertama kalinya mantan kepala negara dinyatakan bersalah atas kejahatan genosida di negerinya sendiri. Namun demikian, demokrasi belum tertata baik di Guatemala sampai saat ini.

Akibatnya kekerasan terhadap wartawan pun masih saja terjadi sampai saat ini. Kendati begitu, pengusutan terhadap kasus pembantaian wartawan di Guatemala tetap diselidiki dengan serius. Buktinya Julio Juarez Armirez, anggota kongres dan mantan wali kota itu, kini sudah ditahan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya merencanakan pembunuhan wartawan.

Ini tentu saja sangat berbeda dengan pengusutan kasus pembunuhan wartawan di negeri kita. Di negeri yang sudah menerapkan aturan yang melindungi hak-hak wartawan ini, masih saja terjadi pembunuhan terhadap wartawan. Bahkan sedihnya, kasus pembunuhan wartawan di negeri ini tidak pernah diusut secara serius.

Sebut saja, kasus Fuad Muhammad Syafruddin. Lelaki yang akrab dipanggil Udin ini adalah jurnalis Harian Bernas, Yogyakarta. Sebelum meninggal Udin sering menulis kasus korupsi Bantul. Ia meninggal setelah dianiaya pada 16 Agustus 1996. Sampai kini pelaku pembunuh Udin yang sebenarnya belum juga terungkap.

Ada juga kasus pembunuhan Agus Mulyawan, jurnalis Asia Press.yang meliput di Timor Timur. Agus meliput referendum tahun 1999 yang menandai lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Agus meninggal 25 Sepetember 1999. dalam penembakan di pelabuhan Qom, Los Palos, yang juga menewaskan 7 orang lainnya.

Muhammad Jamaluddin, seorang juru kamera TVRI juga mati dibunuh. Ia bekerja di Aceh dan hilang sejak 20 Mei 2003. Jamaluddin ditemukan satu bulan kemudian di sebuah sungai dalam kondisi terikat dengan tubuh penuh luka dan sudah tak bernyawa. Pembunuhan Jamaluddin diduga terkait dengan liputannya mengenai konflik Aceh setelah diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Sampai kini kasus ini belum juga terungkap.

Naimullah, jurnalis Harian Sinar Pagi yang berbasis di Kalimantan Barat dibunuh di mobilnya yang terparkir di Pantai Penimbungan. Sebelumnya, Naimullah diketahui banyak menulis berita tentang hubungan antara polisi dengan jaringan pembalakan liar di Kalimantan. Herannya, tidak ada pengusutan yang serius oleh polisi mengenai kasus pembunuhan Naimullah ini.

Inilah yang membuat kita tak habis pikir kenapa kasus pembunuhan wartawan di negeri ini tidak dianggap sebagai kasus yang serius. Kasus yang tanpa alasan perlu dan harus diungkapkan secepatnya. Karena itu, salahkah kalau kita berpendapat bahwa di negeri ini demokrasi juga masih amburadul sehingga orang bisa semena-mena membunuh wartawan. Dan salahkah kalau kita mengatakan penegakan hukum di negeri ini pun masih buruk. Salahkah ?? ( Said Mustafa Husin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun