Mohon tunggu...
Said Mustafa Husin
Said Mustafa Husin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berita Perceraian Ahok dan Pelanggaran Hak Privasi

9 Januari 2018   17:47 Diperbarui: 16 Januari 2018   07:39 3702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Kompas.com/Sabrina Asril)

Berita mengenai kasus perceraian mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok menjadi tajuk utama di banyak media nasional. Masing-masing media memainkan berbagai angle dalam penulisan kisah pilu yang melanda rumah tangga Ahok ini.

Berita tentang kasus perceraian Ahok itu bukan berita hoaks atau berita bohong. Berita ini sangat akurat dan dipaparkan wartawan secara objektif. Ini dibuktikan oleh pernyataan pengacara Ahok untuk kasus perceraiannya, Josefina

"Benar bahwa Pak Ahok telah melayangkan gugatan cerai terhadap Ibu Veronica. Itu benar adanya. Nomor perkaranya 10/Pdt.G/2018 tanggal 5 Januari 2018," kata Josefina seperti diwartakan KOMPAS.com.

Hiruk pikuk pemberitaan tentang kasus perceraian Ahok di sejumlah media massa ini secara tidak langsung telah mencerminkan wajah pers negeri kita. Pers negeri ini sepertinya tidak memahami atau tidak peduli lagi dengan batasan wilayah publik dan wilayah privasi.

Rasanya sulit untuk membantah bahwa kasus perceraian yang melanda rumah tangga Ahok ini benar-benar berada di wilayah privasi. Kasus perceraian Ahok ini bukan berada di wilayah publik. Tapi mengapa pers begitu menggebu mempublikasikan hal-hal yang berada di wilayah privasi.

Kendati pers di negeri ini belum mampu memberikan batasan antara wilayah privasi dan wilayah publik, tapi pers seharusnya memahami bahwa hak pers untuk melaporkan sesuatu hal dalam wilayah privasi akan menemukan batasannya pada hak pihak lain untuk tidak dipublikasikan.

Dalam hubungan ini pers harus memahami kehidupan pribadi seseorang yang berada dalam wilayah privasi tidak boleh dilaporkan atau dipublikasikan untuk konsumsi publik. Kecuali atas izin yang bersangkutan ataupun kalau hal itu terkait dengan kepentingan umum. Kepentingan umum di sini harus pula berupa hal-hal yang mengancam keselamatan masyarakat umum.

Lantas bagaimana jika hak tahu masyarakat atau pembaca menginginkan adanya laporan mengenai kehidupan pribadi seseorang yang mereka anggap memiliki nilai berita? Apalagi persoalan pribadi seorang tokoh selalu dipandang menarik oleh pers mana pun di dunia

Alex Sobur, dalam jurnalnya Pers, Hak Privasi dan Hak Publik menulis, bahwa rasa ingin tahu para pembaca tidak secara otomatis merupakan suatu kepentingan umum yang dapat membenarkan pelanggaran atas hak privasi itu. Rasa ingin tahu masyarakat tidak memberikan hak kepada pers untuk mencampuri atau mempublikasikan kehidupan pribadi yang berada dalam wilayah privasi.

Pelanggaran terhadap hak privasi di negeri kita ini sudah sering terjadi sejak beberapa dekade lalu. Ini disebabkan adanya asumsi di kalangan wartawan kita bahwa peristiwa biasa tidak akan menghasilkan sebuah berita, dan karena itu mereka akan mencari peristiwa yang luar biasa. Sesuatu yang luar biasa selalu menarik perhatian orang. Bad news is good news.

Bayangkan, betapa keterlaluannya pers kita dalam melanggar hak privasi. Seperti ditulis Alex Sobur, nestapa yang melanda seseorang tega untuk disoraki. Ini pernah terjadi pada Tabloid AKSI dalam edisi 24-27 Maret 2000. Artis Indonesia Desy Ratnasari disoraki ketika menjadi janda.

Sebuah Jurnal MWCC (Media Watch & Consumer Center), edisi April 2000 seperti dikutip Alex Sobur dalam Pers, Hak Privasi dan Hak Publik, menulis "Kalaulah ada media massa yang mensyukuri kenestapaan orang, TabloidAKSI adalah salah satu contohnya,"

Konon, tabloid populer tersebut, dalam edisi 24-27 Maret, di halaman mukanya, menulis judul dengan huruf ukuran besar: "HOREE ... DESY JADI JANDA". Selain dengan judul besar, Tabloid AKSI memuat pula foto pernikahan Desy, sebesar setengah halaman muka.

Menyikapi tabloid AKSI, MWCC, menulis, "Gaya jurnalisme semacam ini tentu saja tidak etis. Desy memang seorang public figure. karena itu, peristiwa sesederhana apapun, sepanjang menyangkut dirinya, lazim ingin diketahui pembaca. Namun, di sisi lain, orang seterkenal Desy pun punya hak atas kehidupan pribadinya".

Dalam kasus AKSI, media bukan saja sudah melanggar wilayah kehidupan pribadi Desy, bahkan lebih dari itu, tega-teganya melecehkan kesusahan hidup yang mungkin dialami sang artis tersebut. Padahal dalam pasal 8 kode etik jurnalistik disebutkan wartawan Indonesia tidak merendahkan martabat orang lemah.

Kenapa ini bisa terjadi. Bisa jadi semua ini karena seperti dipaparkan Walter Lippman dalam bukunya yang terkenal Public Opinion. Lippman menulis sejarah tentang perlindungan hak-hak privasi adalah kisah yang menarik untuk dikaji karena kadang-kadang pengertian dan batas-batasnya jadi tidak jelas. Dalam pandangan Lippmann, pengertian tentang masalah privasi sangat elastis.

Kendati belum jelas batasannya, kehidupan pribadi dalam lingkup hak privasi seringkali sangat menarik bagi pemberitaan media massa, namun belum begitu disadari tentang konsekwensinya, sehingga pemberitaan sering melakukan invasion of privacy seperti pelanggaran atau penyerangan hak privasi. Untung saja, pelanggaran ini sering terabaikan karena masyarakat kita pada umumnya tidak begitu suka memperkarakan orang terkait delik pers.

Padahal, Alex Sobur menulis, di Amerika, seperti dikatakan Marbangun Hardjowirogo (1984) publik umumnya peka sekali akan pelanggaran hak atas kehidupan pribadi dalam wilayah privasi. Kepekaan publik itu dengan sendirinya menyebabkan media massa di Amerika sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka.

Bagaimana tidak, terlibatnya sebuah penerbitan pers bermodal kecil dalam suatu kasus pelanggaran atas hak pribadi dalam wilayah privasi bisa mengakibatkan matinya penerbitan pers itu karena keputusan pembayaran ganti-rugi yang dijatuhkan pengadilan atas mereka sangat tinggi.  

Maka, bagi media massa di Amerika Serikat, berlaku semboyan lebih baik bersikap hati-hati daripada secara sengaja atau tak sengaja melibatkan diri ke dalam kasus pelanggaran terhadap hak pribadi dalam wilayah privasi yang bisa mengakibatkan ganti-rugi yang tinggi.

Banyaknya pelanggaran terhadap hak pribadi oleh media juga dikemukakan Uskup Agung Canterbury, Dr. George Carey. Sebagaimana dikutip Marcel Beding (Kompas, 1 September 1992), Uskup Agung menyatakan, dia memandang dengan keprihatinan yang semakin meningkat akan makin bertumbuhnya kecenderungan beberapa bagian media untuk "memaksakan ketidakpekaan" atas kehidupan pribadi orang-orang di mata publik.

Untuk pers negeri kita, ke depan tentu sangat diharapkan peran Dewan Pers untuk bisa mempertegas batasan wilayah privasi dan wilayah publik dalam bentuk regulasi. Sehingga pemberitaan yang seyogyanya untuk konsumsi publik tidak lagi menyajikan menu berupa hak-hak pribadi yang berada dalam wilayah privasi.

Regulasi yang disusun nanti hendaknya bisa memberikan sanksi kepada media dan pekerja pers yang begitu lantang dan lancang merambah wilayah privasi seseorang untuk disajikan sebagai konsumsi publik.

Untuk itu, Dewan Pers harus sudah memulai langkah-langkah untuk memfasilitasi penyusunan kode prilaku wartawan yang berisi sanksi-sanksi. Jika tidak kondisi pers negeri ini akan semakin buruk terhadap pelanggaran hak privasi.

Kasus perceraian Ahok adalah bentuk nyata dari kurang pekanya pers negeri ini dalam menghormati hak-hak pribadi yang berada dalam wilayah privasi. Sekalipun itu dilakukan untuk memenuhi keingintahuan publik.

Seperti sudah diulas tadi keingintahuan publik itu tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran yang dilakukan terhadap hak privasi. Semoga ke depan pers kita lebih bisa menghormati hak-hak pribadi yang berada dalam wilayah privasi. (Said Mustafa Husin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun