Adalah Omran Daqneesh, bocah berusia 5 tahun, ditemukan di bawah reruntuhan rumahnya di pemukiman Al-Qaterji, Alepo. Saat ditemukan kepalanya terluka, darah mengucur ke pipinya. Meski begitu, tak ada isak tangis yang keluar dari mulutnya.
Ia juga tak bersuara, raut wajahnya datar, sorot matanya redup tapi jelas sekali menyimpan banyak cerita tentang peristiwa mengerikan yang baru saja dilewatinya. Ia tertimpa reruntuhan bangunan rumahnya bersama enam anggota keluarganya.
Namun demikian, foto yang langsung viral di dunia maya ini telah mengundang banyak perdebatan. Banyak sekali pihak yang menduga foto ini sengaja dipublikasikan untuk tujuan propaganda. Sehingga berbagai adegan dalam rekaman video dikritisi karena mengandung berbagai kejanggalan.
Apalagi, rekaman dan foto Omran ini diunggah oleh seorang fotografer yang kemudian teridentifikasi oleh Associated Press (AP) sebagai Mohammed Raslan Abu Sheikh. Sosok Raslan ini telah memicu penasaran karena dia bukan fotografer dari media manapun.
Diulas The Canary seperti dilansir Sindonews.com (20/8/2016), ada “jejak-jejak” aneh dari sosok Raslan. Dari penelusuran di akun-akun media sosial yang terkait dengannya, terungkap bahwa fotografer Mohammed Raslan anggota kelompok Zenki di Aleppo.
Namun demikian, terlepas dari semua itu derita bocah-bocah Alepo adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri dunia. Anak yang kehilangan ibu dan ayah, anak yang terluka, anak yang cidera hingga cacat, adalah fenomena Alepo yang sangat mengiris-iris hati.
Kisah duka lainnya terjadi awal September 2015 lalu, seorang bocah Suriah ditemukan mati terdampar di Semenanjung Bodrum, Turki. Bocah berusia 3 tahun yang kemudian diketahui bernama Aylan Kurdi itu dalam pelarian bersama keluarganya untuk mengungsi ke Yunani.
Dikutip BBC Indonesia, Badan PBB untuk Pendidikan dan Anak-anak UNICEF mengatakan bahwa jumlah anak yang menderita di Suriah meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun ketiga konflik di negara itu. Dalam laporan 2014 saja, jumlah anak yang terkena dampak perang Suriah meningkat, dari dua juta menjadi lima setengah juta anak.
Anak-anak yang paling menderita jumlahnya sekitar satu juta orang. Mereka tinggal di kawasan-kawasan yang terkepung dan menghadapi serangan pasukan pemerintah, seperti di Aleppo. Serangan udara yang terjadi hampir setiap hari membuat anak-anak Alepo mengalami trauma berat.
Selain tidak mendapat bantuan pangan dan obat-obatan, anak-anak di kawasan yang terkepung, juga harus menghadapi duka yang yang mendalam karena meninggalnya ayah, ibu, maupun anggota keluarga lain akibat perang. Mereka bertahan hidup dalam kesendirian di tengah kecamuknya perang dan kekerasan fisik.
Namun demikian, gelegak perang tak jua henti. Dentuman peluru yang merobohkan bangunan kota tua Alepo dan Damaskus terus berlangsung. Bahkan pertengahan November lalu, rumah sakit anak-anak di Alepo juga mendapat serangan pesawat tempur. Sedikitnya 32 jiwa termasuk anak-anak tewas dalam serangan itu.
Oh dunia, berhentilah bicara politik dan militer. Bicaralah tentang kemanusiaan. Sudah jutaan anak-anak tak berdosa yang menjadi korban keganasan perang. Masihkah kalian ingin menambah jumlahnya. Kini di Alepo, di Damaskus, di kota-kota yang terkepung di Suriah, anak-anak bertarung hidup tanpa ayah dan ibu. Kasihanilah, teteskanlah air mata untuk mereka. (esemha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H