Mohon tunggu...
Esang Suspranggono
Esang Suspranggono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Si Jhonny yang berusaha menepati Janjinya. Berharap kisahnya bisa menginspirasi bagi lainnya. Masih belajar mencintai kopi, dan berkeyakinan suatu saat akan dapat kontrak untuk menulis tentang museum di berbagai negara.ig@janjijhonny

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Secangkir KafeinISME#10 | The Man from Palbapunk

12 Juni 2016   12:37 Diperbarui: 12 Juni 2016   12:44 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

....Sebuah cerita dari Yuki membuat saya penasaran dengan sosoknya. Kegigihannya untuk menjadi seniman kondyang, membuat saya tertarik untuk menulis kisahnya...

Entah kapan saat pertama kali berjumpa setelah lulus SMA 9 tahun lalu. Hanya teringat kala itu saya, Yuki, Pramono, dan Paksi memang sedang berkumpul di Janji Jhonny. Kemudian tak lama  sebuah kendaraan supercap 700 datang dengan suara khas berasal dari shok breakernya. Sejak itu lah saya bisa  menggali kisah hidup si seniman muda Ungki Prasetyo menjadi Secangkir KafeinISME.

Melukis Jalan Hidup

Hari Jumat, selepas olahraga di bekas kantor semasa bekerja sebagai juru ketik berita saya sempatkan datang ke rumahnya di Dagaran Palbapang Bantul. Kunjungan pertama kali ke rumahnya diwarnai dengan tragedi kesasar. 

Benar apa yang pernah dikatakan Yuki, bahwa ia sudah mempercayakan hidupnya menjadi pelukis. Dinding teras rumah menghadap bentangan hijaunya sawah menjadi saksinya. Sekitar empat karya terpajang bak ruangan pameran. Pigura-pigura lukisan tersebut menjadi pembeda dengan rumah yang ada di sekitarnya. 

Melukis memang bukan impiannya sejak kecil. Perkenalannya dengan seni pun bisa dibilang karena tidak sengaja. Semua bermula ketika ia lulus SMA. Melihat teman-temannya sudah kuliah membuatnya sedikit gundah. Mau ngapain ini? Jika melanjutkan sekolah maka butuh banyak biaya. Sedangkan jika bekerja mau kerja jadi apa dan di mana ? Dua pilihan yang membingungkan baginya. 

Hingga akhirnya sebuah ajakan Yuki teman akrab semasa SMA membuat asanya untuk sekolah ke jenjang universitas kembali membara. Berbekal brosur kuliah ia coba sodorkan ke sang bapak, dan tanpa perlu menunggu lama proposal tidak resmi pun disetujui

“Mbiyen nek ra salah biaya kuliah ning ISI 600 ribu, karo bapakku langsung OK,” ujarnya.

Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi kawah candra dimuka tempat menempa keahliannya. Sejak itulah ia mulai aktif di dunia seni. Selama ia digembleng menjadi seorang profesional, kemampuannya terbilang cemerlang. Seringkali ia mendapat undangan untuk mengikuti pameran. Ketika ditanya tentang capaian terbesarnya saat itu, pameran di Jakarta lah yang ia rasa megah. 

“Yo ming lukisane wae sing tekan kono (cuma lukisannya saja yang sampai sana), wong modale wae pas-pasan huehehe,” tuturnya mengingat kejadian kala itu.

Belajar Sambil Bermain

“Karya Ungki itu terbilang cukup unik, bahkan di angkatannya ia menjadi yang pertama bisa menjual lukisannya,”kata Yuki.

Bagi orang awam seperti saya ungkapan pertama kali ketika melihat hasil karyanya adalah aneh. Begitukah hasil gemblengan institut yang namanya sudah mendunia? Gambarannya tak lebih seperti seorang bocah umur 4 tahun. Garis yang tidak beraturan, objek yang tidak tergambar dengan rapi, bahkan temanya pun entahlah. Ibaratnya nggak perlu susah payah belajar kalau hanya menggambar seperti itu. Namun rupanya apa yang ia gambar memiliki aliran tersendiri, yang itu diakui dalam seni rupa. Karya-karya tersebut memiliki nilai jual yang tinggi. 

Pop art dan ekspresionis telah menjadi kiblatnya dalam melukis. Tema lukisannya pun berbau dengan apa yang sedang hangat terjadi saat itu. Seperti akhir-akhir ini misalnya, lukisannya banyak bercerita tentang bertani, tumbuhan, dan hewan. Semua itu tidak lahir dengan tiba-tiba. Latar belakang keluarganya ikut memberinya inspirasi dalam melukis. Si bapak yang bermata pencaharian petani, sering membawa pulang tumbuhan polowijo untuk dimasak. Rutinitas inilah yang membekas dalam memorinya, sehingga ia tuangkan melalui gambaran.

“Wuuu ra payu wae gambarane (tidak laku gambarannya),” sebuah perkataan dari sang bapak yang tidak pernah ia lupakan. 

Mendengar kalimat tersebut saat itu pula ia merasakan semangatnya hancur. Bukan kalimat pahit yang seharusnya ia harapkan saat itu. Terlebih saat itu ia sedang butuh banyak dukungan untuk eksis di dunia seni. Berat untuk menjadi seorang seniman. Perjuangan untuk diakui  membutuhkan banyak pengorbanan. Sudah ratusan karya semenjak ia mengenyam perguruan tinggi ia ciptakan, namun masih belum sesuai harapannya. Berbagai undangan untuk mengisi pameran lukisan pun hampir tak pernah ia tolak. Sambil berharap ada orang yang bisa membuat karyanya meledak.

Pernah suatu saat saya berkesempatan melihat bagaimana ia berproses. Tak semurah dan semudah yang dibayangkan ternyata. Untuk membuat dan melapisi sebuah kanvas saja sudah harus mengeluarkan rupiah bergambar Dwi Tunggal RI. Belum untuk membeli cat warna yang harga per buahnya menjenggit rambut.

“Terus nek ra payu piye Ung (terus kalau tidak laku gimana) ,” tanya saya saat itu.

“Yowis disimpen wae (ya sudah disimpan saja),” jawabnya sederhana sambil cengengesan.

Tidak ada kompromi baginya ketika berkarya. Sekalipun kepepet dengan urusan ekonomi, setiap kali ikut pameran ia hadir dengan karya terakhirnya. Padahal jika mau bisa saja ia  mengeluarkan lukisan-lukisannya yang tersimpan di almari untuk ditampilkan.

Idealisme untuk hidup dari coretan tangannya pun pernah mengalami pasang surut. Putus asa ketika seringnya mengikuti eksebisi namun tidak berbuah hasil. Kemudian saat melihat beberapa temannya yang sudah menjadi terkenal kadang harapan itu muncul lagi. Namun ujian waktu juga membuatnya sempat melunturkan semangatnya. Pernah suatu kali ia mendapat tawaran untuk mengajar seni di sekolah atas. Kendala waktu yang akhirnya mengembalikan ia ke jalur melukis. 

Ketika lukisan belum bisa menjadi tumpuan hidup, ia melakukan hal lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Beruntung saat kuliah dulu ia sudah merintis usaha sablon kaos dan membuat  tote bag.  Sehingga masih menjadi pegangan hidupnya.  

Saat pagi datang rutinitasnya pun mirip dengan sibuknya orang kantoran. Ia harus bangun pagi untuk mengantar si ibu berjualan di daerah Banguntapan. Kemudian saat garapan sablon kaos sedang ramai, ia kerjakan di kontrakan Yuki yang juga menjadi workshopnya. Namun bila sedang sepi, apapun ia kerjakan. Obyekan untuk mengecat UKS di sekolah pun pernah ia lakoni. Hingga akhirnya kini ia ikut membantu mas Anton seniman yang telah memiliki nama. Semata-mata demi mempertahankan eksistensinya di dunia seni rupa.

Baginya saat ini melukis seperti belajar sambil bermain. Sekalipun belum bisa ia nikmati jerih payahnya,  hanya keyakinanlah yang membuatnya terus bertahan. Tinggal menunggu waktu saja kapan namanya akan terkenal seperti idolanya Keith Haring Penasaran dengan karyanya? Anda bisa kunjungi instagramnya di @ungkiprasetyo_

..... Man Jadda Wa Jadda. Tidak ada hal yang sia-sia dalam hidup selama ia yakin dan bersungguh sungguh dan mau untuk berproses...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun