Masyarakat Tegaldowo selalu berziarah di makam Ronggodito. Ziarah dilakukan setiap malam Jumat. Masyarakat yang datang dimakam bertujuan mendo’akan tokoh desa yang sudah meninggal. Ronggodito seringkali digunakan tempat bertemunya masyarakat pada malam hari karena pada siang hari mereka sibuk diladang masing-masing. Memanjatkan do’a-doa di depan kuburan tokoh desa, agar mendapatkan kekuatan dan keselamatan seperti yang telah didapatkan oleh sang tokoh yang telah bersemanyam di “makam panjang”. Perihal fungsi ziarah, memang tradisi ziarah kubur telah berfungsi meningkatkan solidaritas dan menguatkan nilai-nilai pada masyarakat pengikut tradisi berdoa di makan yang di ziarahi.
Perihal konstruksi kesakralan tentang tokoh lokal, setiap tokoh sosial biasanya cenderung mendapatkan muatan legalitas akan kekuatan supranatural. Konstruksi sosial tentang simbol sakral inilah yang telah menajamkan bahwa “makam panjang” menjadi barometer kesalehan sosial dalam tingkat lokal. Namun tidak semua simbol sakral di desa Tegaldowo mendominasi asal-usul penamaan daerah-daerah kecil sebagai turunan dari daerah besarnya.
Miturut critane wong sing disik golek deso iku ora entuk, mulai ko kono ngantos ko kene. Kene niki jarene wong golek deso terus kele-kele wis kebongcong, terus dijenakno Nglencong. Terus wong kuwi mlaku maneh. Terus klitah-kliteh nganti awan, terus dijenakno Dowan. Ciritane wong disik. Iki dongeng lho. Ora sejarah. (Menurut cerita orang yang dulu mencari desa itu tidak boleh, mulai dari sana sampai sini. Sini itu katanya orang nyari desa terus, kebingunan tingkat tinggi hingga tidak menemukan jalan keluar, lalu daerah ini dinamakan Nglencong. Lalu orang itu mencari lagi. Lalu mencari lokasi yang pantas hingga siang hari, lalu dinamai Dowan. Ceritanya orang dulu. Ini adalah dongeng, bukan sejarah). *
Beberapa deskripsi tentang nama dukuh yang ada di Tegaldowo memiliki hubungan erat dengan sejarah hidup tokoh desa. Hal ini dapat dilihat pada deskripsi tentang asal-usul dukuh Dowan, Nglencong, Timbrangan, Ngelu, Ngablak, Dukoh, dan dukuh Karanganyar berikut ini.
Asal-usul dukuh Nglencong dan dukuh Dowan cenderung mendeskripsikan tentang etos hero seseorang di pegunungan kapur yang saat itu tidak diketahui memiliki daya tarik ekonomi yang menjanjikan. Pemukiman Jawa yang berlatar pegunungan kapur ini, bukit-bukit kapur yang pada umumnya rata, dengan ketinggian yang sedang-sedang saja.
Setiap komunitas tertentu yang memiliki potensi economic capitalberkecenderungan perkembangan sosialnya linier. Kepastian infrastruktur sosial, juga mendorong orang tidak betah bertempat tinggal. Namun ketika ditemukannya pemukiman dengan fungsi pemukiman dan lahan pangan yang tidak begitu menjanjikan, di dukuh Tegaldowo semakin rapat dengan pemukiman
Terus ngalor maneh, kuwi jarene ono wong mati sing dik picis, terus dijenakno deso picis. Lha terus deso timbrangan kuwi bareng karo deso kene. Jan-jane ora timbrangan, tapi timbangan. Wong asale kuwi dadi timbangane deso kene.(lalu ke utara lagi, katanya ada orang mati yang mirip dengan cara di salib, lalu dinamai desa Picis. Lalu, desa timbrangan itu bareng sama desa sini [Nglencong]. Sebenarnya bukan timbrangan, tapi timbangan. Asalnya itu jadi pembanding desa [dukuh] sini [dukuh Ndowan]). *
Desa Picis merupakan desa tetangga dari desa Tegaldowo. Desa Picis terletak di sebelah barat desa Tegaldowo. Desa Picis yang asal mula nama desa yang berdasar ritus kematian ini tampaknya tidak memiliki inter-relasi dengan situs “makam panjang”. Informasi hukum Picis di nusantara, hukum Picis membuat terhukum mengalami rasa pedih tak terkira sebelum mati. Cara eksekusi hukumannya pun dilakukan di tengah-tegah lapangan untuk dipertontonkan pada masyarakat sebagai bahan pelajaran agar anggota masyarakat tidak meniru kejahatan yang dilakukannya. Dalam informasi klasik, hukum Picis sendiri terilhami dari zaman Majapahit. Jenis hukumannya bervariasi, misalnya terhukum diikat di tonggak kayu atau pohon. Mereka yang di hukum picis, perlahan-lahan sekujur tubuhnya disayat-sayat dengan pisau atau belati, dan lukanya dioleskan cuka serta ditaburi garam.
Norma sosial sebagai pengendali perilaku buruk, tampak terlihat dari cerita asal usul desa Picis. Muatan makna dari cerita orang mati yang di picis berfungsi dalam membangun tatanan sosial pada masyarakat setempat. Terlepas dari benar dan salah informasi lisan di atas, latar ekologis masyarakat berbasis pertanian yang sarat dengan ketetanggaan ini, cenderung tidak memiliki keterkaitan dengan konteks ekologi kebudayaan setempat. Terlebih meninjau gagasan para ahli sosial, menegaskan bahwa masyarakat Jawa cenderung bersifat sinkretis, yaitu kaidah-kaidah sosial cenderung toleran, hidup berdampingan dengan mendapatkan tempat yang layak. Biasanya pada masyarakat yang beginian, tradisi selametan menjadi kental sebagai simbol ritus ekonomi dengan asas ketetanggaan yang semakin meneguhkan bahwa pengerjaan pertanian yang membutuhkan tenaga kolektif, telah memperkuat rasa kebersamaan. Jika memang benar terjadi peristiwa hukum picis, mungkin saja terdapat kasus luar biasa dan pelakunya dari outgroup setempat.
Dukuh yang ada di desa Tegaldowo selanjutnya adalah Trimbangan. Trimbangan dalam bahasa Jawa yang berarti pembanding dalam upaya meniadakan pertentangan.
“Sing mesti timbangan, ora timbrangan, tapi gampange wong ngomong, yo dadi timbrangan. Iku perubahan wis”(yang pasti timbangan, bukan timbrangan, tapi gampangnya orang ngomong, ya jadi timbrangan. Itu perubahan). *