Kali ini merupakan tulisan ringan untuk mengenal karakter masyarakat Tegaldowo, Gunem Rembang. Tulisan ini tak lain adalah buah dari pengamatan dan wawancara sejak tahun akhir 2013 hingga awal tahun 2014. Kritik pedas dan koreksi selalu dinantikan, dalam upaya membangun narasi apik tentang sebuah karakter sosial masyarakat Tegaldowo. Selamat membaca.
Tegaldowo secara administrasi terbagi dalam tujuh padukuhan. Tujuh dukuh tersebut diantaranya adalah dukuh Dowan, Nglencong, Timbrangan, Ngelu, Ngablak, Dukoh, dan dukuh Karanganyar. Berdasarkan temuan di lapangan, nama Tegaldowo dan tujuh dukuh yang ada, memiliki asal usul yang saling terkait satu sama yang lain. Antar dukuhnya saling membangun unit-unit naratif yang didalamnya terdapat rangkaian cerita runtut dengan episode yang menarik. Dari asal usul inilah, ditemukan corak kehidupan sosial yang khas dari tiap-tiap dukuh yang ada. Dan dari setiap keunikan kehidupan tia-tiap dukuh yang ada inilah telah menjadi penopang dari corak kehidupan masyarakatnya.
Tegaldowo merupakan nama desa yang dibangun dari konstruksi ekologi dan tindakan seseorang yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan desa. Asal-usul nama Tegaldowo dapat diperoleh melalui cerita lisan yang didalamnya menghadirkan tokoh suci, atau yang sering disebut dengan istilah mite.
Lha deso Tegaldowo kuwi mbiyen asale ono wong mati, wong banget duwure dikubur dowo. Tegalan dienggo ngubur wong, terus dijenengnoTegaldowo.(Desa Tegaldowo itu dulu asalnya ada orang mati, orang yang sangat tinggi dikubur panjang. Tegalan dipakai mengubur orang tersebut, kemudian daerah tersebut dinamakan Tegaldowo). *
Menurut masyarakat setempat, Ronggodito merupakan orang yang bersemayam di “makam panjang”. Tokoh sosial ini diyakini berperan penting dalam memproduksi gagasan awal tentang keyakinan keagamaan yang berkembang di desa ini. Gagasan keyakinan awal tersebut juga telah menjadi pintu awal dalam membangun konstruksi religi masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat setiap malam Jum’at, di ““makam panjang”” inilah selalu dikunjungi para pengunjung.
Sumerep kulonggih niku, riyin wonten tiyang sing manggon mriku, tiyang sing banget duwure, lha niku sedo teng mriku niku, di kubur luwih dowo terus di sebut deso Tegaldowo. Pejahe wong disik niku ngoten. Niki dedongengan, mboten sejarah. Sejarah nikukan masuk buku. Yen namine niku, nggih mboten reti. Sing nyukani nami Ronggodito niku nggih Kyai Purwo pas banggun niku. Lha kyai ne sing ngarani niku, kulo nggih mboten ngertos namine. Sing jelas kyaine saking Purwo.
(Setahu saya ya itu, dulu ada orang yang bertempat tinggal disana, orang yang sangat tinggi badannya, meninggal disana, dikubur lebih panjang lalu dinamai desa Tegaldowo. Matinya orang dulu itu ya begitu. Ini dongeng bukan sejarah. Sejarah itu kan masuk buku. Yang memberi nama mbah Ronggodito itu ya Kyai Purwo ketika membangun itu [renovasi bangunan makam]. Kyai yang memberi nama itu [Ronggodito] saya ya tidak tahu. Yang jelas, Kyai itu berasal dari daerah Purwo [Purwo adalah daerah perbatasan antara kabupaten Rembang dengan kabupaten Blora]).*
Reproduksi kaidah-kaidah sosial keagamaan di Tegaldowo tampaknya dimainkan oleh satu tokoh saja. Tokoh sosial berikutnya berdatangan dengan etika penghormatan yang mapan dengan bertindak mensosialisasikan keberadaan simbol sakral terdahulu. Kyai Purwo merupakan tokoh lanjutan pascatokoh Ronggodito.
Jane ora semono. Kuburan kuwi wis diingkret karo Kyai Purwo(Pada saat itu, seharusnya tidak segitu [panjang kuburannya], [panjang] kuburan itu sudah dikurangi [ukurannya] oleh Kyai Purwo). *
Keterbatasan informasi yang akurat tentang siapa itu Ronggodito, Kyai Purwo membatasi perilakunya dengan cara melakukan perubahan ukuran makam saja, bukan mereproduksi gagasan yang dibangun oleh tokoh pendahulunya. Mengurangi ukuran makam merupakan perilaku simbolik yang memiliki makna bahwa tokoh lanjutan merupakan generasi penerus dari simbol yang disakralkan. Mengurangi ukuran makam juga berfungsi penegas tentang status sosial Kyai Purwo yang seakan sejajar dengan Ronggodito. Sebuah strategi perebutan kelas kesalehanyang terkesanlembut telah dilakukan di atas “makam panjang”.
Semua tokoh yang berinteraksi dengan simbol sakral di desa Tegaldowo sarat dengan legalisasi akan kepemilikan kekuatan supranatural. Beberapa pengunjung mengaku, setiap akan punya hajat, selalu menyempatkan diri ke “makam panjang”. Mereka meyakini, Ronggodito dapat dijadikan media penerus doa kepada Tuhan. Mereka yang terkabul hajatnya, segera membawa makanan untuk disajikan di depan “makam panjang” yang kemudian dinikamti bersama-sama dengan para pengunjung makam lainnya.