Sudah sebulan lebih saya dirumahkan namun tetap bekerja, kerennya disebut Work From Home. Bekerja dari jam enam pagi sampai jam dua belas siang dengan pengumpulan Rencana Pembelajaran sebagai tugas akhir tiap harinya. Ya! Karena saya adalah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri.Â
Setelah itu, saya akan melakukan tugas selanjutnya yaitu ibadah dan rebahan. Saat ini rebahan di siang hari adalah kegiatan yang paling menyenangkan untuk saya atau sebagian orang setelah melakukan tugas rutinnya. Tidur siang selama dua jam dirasa cukup untuk dilakukan agar tak terlalu "kebablasan menjelang maghrib".
Menjelang ashar biasanya saya dan ibu merencanakan makanan berbuka apa yang ingin dihidangkan setiap harinya. Ada kalanya kami merencanakan membeli makanan matang di warung makan langganan atau iseng ke pasar tradisional untuk mengolah asa memasak (khususnya untuk saya loh).
Prestasi untuk saya mengolah bahan mentah menjadi makanan lezat (semoga) adalah hal yang menakjubkan tentunya untuk saya sendiri, pastinya dengan niat semuanya pasti jadi. Teringat pesan Ibunda bahwa bahan dasar memasak tak lepas dari bawang merah dan bawang putih serta garam dan gula tentunya.
Ngomong-ngomong soal bahan dasar tersebut, harga perbawangan nampaknya naik turun. Sebagai contoh harga bawang merah sekilo kadang lima puluh ribu bisa juga esoknya enam puluh ribu.Â
Begitu juga dengan bawang putih. Namun apapun harga yang terjadi, saya selalu berkata kepada penjual, "Bu, bawang merah dan putihnya masing-masing sepuluh ribu ya" atau "Cabai rawit merahnya lima ribu ya" tentunya lebih praktis dibanding drama tawar menawar. Entah mengapa saya senang memakai kalimat jual beli dengan nominal walau tak tahu berapa ukuran berat yang dikemas tiap nominal yang saya ucapkan karena sang pedagang pun menakar sesuka hatinya. "Intinya sih bisa untuk dua hari yaitu hari ini dan esok".
Tentunya beda dengan Ibunda, beliau pasti akan membeli dengan kadar ukuran berat. Sekilo, setengah kilo atau seperempat yang tentunya bertransaksi di lapak pedagang langganannya di pasar. Tapi dengan pelajaran beli membeli di pasar tradisional maupun modern, saya jadi mengetahui harga-harga bahan mentah yang sedang terjadi. Bedanya jika tradisional membuat saya lebih berkeringat, pasar modern membuat saya betah karena ruanganya memakai pendingin, "Halah komentar apa ini?"
Sebuah Pilihan dengan yang Matang atau Mentah?
Seperti halnya memilih pendamping saat ini, saya pikir lebih seru jika hidupnya telah matang karena dengan usia yang tidak AbeGeh memilih yang mentah akan dirasa ..... ah kok gak nyambung. Jadi begini, membeli makanan matang bagi saya ada plus minusnya. Plusnya adalah tinggal beli dan dimakan tanpa banyak cucian perabot. Minusnya??? Hmm, hanya memupuk kemalasan dalam memasak saja. "Memang kamu sudah jago masak?"
Pokoknya selalu ingat ucapan Ibunda yang saya pegang sampai sekarang adalah dimana ada bawang merah, bawang putih, garam dan gula suatu masakan pasti jadi. Tentunya jangan lupa ditambahkan bahan-bahan lainnya yang akan merubah masakan tersebut jadi apa prok... prok... prok...
Kembali lagi dalam dalam topik makanan matang. Dari sejak sekolah, ada warung makanan di komplek saya tinggal yang telah menjadi langganan. Disamping bersih, enak dan harganya terjangkau. Misalnya untuk saat ini, seporsi pecel sayur dengan bumbunya diharga dengan lima ribu rupiah lengkap dengan kangkung, tauge, labu dan kacang panjang plus tambah seribu dengan bakwan. Beberapa hari lalu saya membuat pecel sendiri dengan ukuran tiga orang yang habis untuk belanja sampai dua puluh ribu rupiah, jadi dirasa hematan yang matang bukan?
Tak asal membeli, entah mengapa otak ini suka berpikir "untung ruginya" sang pedagang (padahal apa untungnya saya berpikir seperti itu?). Contohnya lagi sekilo ikan kembung mentah dengan isian lima sampai enam ekor di pasar dipatok dengan harga Rp. 30.000 sampai Rp. 35.000 (kalau yang ini tidak bisa eceran ya apalagi dengan nominal, "Saya boleh membeli sepuluh ribu?").Â
Dalam pengolahannya diperlukan bumbu-bumbu lengkap tak hanya perbawangan, gula dan garam namun cabai, rempah dan dedaunan yang membuatnya semakin lezat untuk disantap. Jika saya menjadi penjual makanan matang, seekor saya patok dengan harga umum Rp. 8000 rasanya mepet sekali untungnya. "Kok malah jadi capek ya membayanginya?". Capeknya itu mengolahnya, memasaknya belum membungkusnya. Jika habis bahagia, jika tersisa ya harus dimakan.
Saya sempat bertanya kepada ibu penjual langganan saya tersebut yang intinya adalah memasak dan berdagang adalah passionnya dari dulu kala. Mau untung kecil atau besar semuanya bisa di atur. Misal untuk lauk pauk matang ia hargai dengan harga yang memang umum di jual seperti ikan kembung pesmol dihargai dengan Rp. 8000. Nah lainnya bisa tertutupi keuntungan lainnya dengan menjual berbagai macam es.
"Kalau dipikir, jual lauk pauk matang memang untung sedikit mbak tapi inilah kegiatan saya untuk menyambung hidup. Alhamdulillah berbagai macam es jualan saya juga laris yang disitu untung besar bisa saya dapatkan".
Baiklah, jadi intinya sih sebagai pembeli yang berpikir kritis seperti saya memang harus kritis pula memilah. Untuk es kan mudah dibuat, jadi buat apa beli? Lagipula jelas kita memakai es dengan air yang terjamin kebersihannya. Kalau tak banyak kerjaan, membeli lauk matang pun tak salah karena dapat menghemat waktu meminimalisir perabotan yang kotor tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H