Tak asal membeli, entah mengapa otak ini suka berpikir "untung ruginya" sang pedagang (padahal apa untungnya saya berpikir seperti itu?). Contohnya lagi sekilo ikan kembung mentah dengan isian lima sampai enam ekor di pasar dipatok dengan harga Rp. 30.000 sampai Rp. 35.000 (kalau yang ini tidak bisa eceran ya apalagi dengan nominal, "Saya boleh membeli sepuluh ribu?").Â
Dalam pengolahannya diperlukan bumbu-bumbu lengkap tak hanya perbawangan, gula dan garam namun cabai, rempah dan dedaunan yang membuatnya semakin lezat untuk disantap. Jika saya menjadi penjual makanan matang, seekor saya patok dengan harga umum Rp. 8000 rasanya mepet sekali untungnya. "Kok malah jadi capek ya membayanginya?". Capeknya itu mengolahnya, memasaknya belum membungkusnya. Jika habis bahagia, jika tersisa ya harus dimakan.
Saya sempat bertanya kepada ibu penjual langganan saya tersebut yang intinya adalah memasak dan berdagang adalah passionnya dari dulu kala. Mau untung kecil atau besar semuanya bisa di atur. Misal untuk lauk pauk matang ia hargai dengan harga yang memang umum di jual seperti ikan kembung pesmol dihargai dengan Rp. 8000. Nah lainnya bisa tertutupi keuntungan lainnya dengan menjual berbagai macam es.
"Kalau dipikir, jual lauk pauk matang memang untung sedikit mbak tapi inilah kegiatan saya untuk menyambung hidup. Alhamdulillah berbagai macam es jualan saya juga laris yang disitu untung besar bisa saya dapatkan".
Baiklah, jadi intinya sih sebagai pembeli yang berpikir kritis seperti saya memang harus kritis pula memilah. Untuk es kan mudah dibuat, jadi buat apa beli? Lagipula jelas kita memakai es dengan air yang terjamin kebersihannya. Kalau tak banyak kerjaan, membeli lauk matang pun tak salah karena dapat menghemat waktu meminimalisir perabotan yang kotor tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H