Teringat kenangan saat sekolah di desa, ya tepatnya kelas satu SMP. Aku tinggal bersama pakde dan bude di sebuah dusun kecil yang jauh dari keramaian. Dimana pada tahun 2002, desa Temon adalah desa mencekam bagiku apalagi disaat azan maghrib tiba. Semua warga akan menutup pintu seakan tak lagi menerima tamu.Â
Jalanan sekitar desa teram temaram hanya disinari lampu jalan yang mungkin berukuran 20 watt dengan bohlam kecil. Apalagi teruntuk aku yang baru saja pindah dari hiruk pikuk kemeriahaan kota ke dalam kesunyian desa yang kelam. Aku sempat berpikir, mengapa orang tuaku tega menyuruh aku sekolah di desa yang sunyi ini. Teringat memang pesan ayah, "Supaya kamu lebih memahami hidup", itu saja tanpa basa-basi.
Singkat cerita pada cawu kedua masa sekolah, aku dihadiahi sebuah sepeda mini berwarna biru dari orang tua yang dititipkan ke bude dan pakde dengan membeli dari sebuah toko sepeda terbesar di kecamatan desa. Alhamdulillah rasa syukur ku panjatkan karena tak perlu mengowes keras sekuat tenaga sepeda onthel butut yang dipinjamkan oleh sepupu.Â
Dengan riang, aku bermain sepeda menyusuri sungai bersama teman-teman sekolah tiap sorenya. Mungkin karena terlalu keren, teman-teman suka bergantian meminjam sepeda miniku untuk mereka coba. Mereka selalu bilang, "Ki apik tenan Er, regane pasti larang yo?" yang berarti sepedaku sangat bagus dan harganya pasti mahal. Aku hanya senyum bangga dengan sepeda mini biru pemberian orang tuaku itu. Dalam hati berkata, "Ayah ibu ternyata masih sayang kepadaku". Hiks....
Entah mengapa, sebenarnya malam itu menjadi malam keenggananku untuk keluar rumah. Apalagi ku liat dikalender saat itu adalah malam Jumat kliwon. Entah momok menakutkan apa yang tiba-tiba menggerayangiku. Aku sempat meminta izin kepada pakde dan bude untuk tidak berjamaah di langgar ditambah dengan Ria teman sekolah sekaligus tetanggaku yang juga tak kesana.Â
Mungkin ia berhasil meyakinkan orang tuanya untuk tidak menyuruhnya tarawih di langgar. Namun aku tidak seberuntung Ria, bude tetap menyuruhku ke langgar karena malam itu ada ustad Agus yang bertugas. Ustad Agus adalah adik dari bude dan kebetulan aku disuruh untuk menyampaikan gula dan teh untuk jamuan jamaah yang akan mengaji pada malam itu.
Alhasil di sepanjang perjalanan, aku menggowes sepeda dengan was-was memperhatikan sekeliling dengan awas walau sesekali angin malam melambai kerudung yang membuat bulu kuduk merinding, astagfirullah. Selalu istigfar berucap dengan ayat kursi saling bersautan dimulut dan hati. Alhamdulillah sampai di langgar semua takut hilang.Â
Segera aku memberikan titipan bude ke ustad Agus. Malam itu seperti biasa malam dimana khusuknya kami menjalankan ibadah sholat isya dan tarawih. Setelah tanda tangan ustad Agus ku dapat, aku segera pamit untuk pulang mengingat tak ingin terlalu malam menyusuri jalan. Disamping itu pun teman seperjalanan pun tak datang. Segera aku pamit ke teman-teman, ustad Agus menghalauku sejenak sambil memberikan bungkusan agar diberikan kepada bude. Setelah itu, ku sambar sepeda miniku dan terus melaju tanpa babibu menuju rumah.
 "Ya Allah ini wangi kembang melati yang khas", ingin rasanya aku menangis ketakutan mengingat jalanan begitu dingin dan remang akan lampu yang tak terang.
Tiba-tiba entah darimana sosok putih itu sudah menghadangku dari depan. "Ya Allah... Ya Allah itu apa?". Seketika bacaan ayat kursi keluar keras dari mulutku dan laju sepedaku terhenti tiba-tiba seraya sosok itu menghentikannya. Aku langsung teriak seketika memanggil ibuku namun sosok itu langsung mengambil sepedaku dan berkata dengan parau sambil terbatuk-batuk, "Kamu loh aku panggil daritadi tuh karena sepedamu salah Er!".
Astagfirullah! Seketika aku sadar di hadapanku adalah Nita teman sekolahku. Ia masih lengkap memakai mukena putih untuk mengejarku karena sepeda kami tertukar. Seketika tubuhku yang lemas mendadak konyol mengingat kejadian tadi. Nita yang saat itu sedang sakit tenggorokan seakan menjadi "Mak Lampir" memanggilku parau. Kamu tahu kan suara kekehan mak lampir? Ya seperti itu. Dan pantas saja sepeda yang aku pakai ini beda saat di gowes karena rupanya ini adalah sepeda mini Nita yang ku sambar tanpa melihat-lihat lagi perbedaann.
"Kamu kalau mau menukar sepeda gak apa-apa Er, aku ikhlas kok" kekek Nita dengan suara paraunya persis mak lampir.
"Enak aja" jawabku singkat sambil bertransaksi menukar sepeda kami.
Setelah mengucapkan terima kasih dan melanjutkan pulang, ada perasaan lega saat atap rumah pakde dan bude terlihat di mata. Alhamdulillah itu artinya rumah semakin dekat. Setelah sampai rumah tiba-tiba teringat aroma melati khas yang tadi sempat tercium di hidungku. "Apa selain Nita ada sosok yang benar-benar mengikutiku ya?" aku bergumam seraya bergidik kembali walau tak seheboh tadi. Setelah mencuci kaki tangan, tiba-tiba aroma melati khas tersebut tercium kembali dan itu berasal dari dapur. Dengan perlahan-lahan kususuri dapur dan voilaaaa ada bude yang sedang merebus.
"Bude sedang memasak apa?" sambil meyakinkan kembali apa itu bude atau bukan karena lampu dapur tak bisa dibandingkan dengan lampu jalanan, sama saja redupnya.
"Ini loh bude buat teh melati sereh pakai gula batu yang diberikan ustad Agus"
Oaaaaalaaaaah,,,,, seketika aku berteriak sambil menepuk dahi.
Tahu kan maksudnya????
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI