Oleh
Ustadz Abu Minhal
Kondisi sulit menyelimuti umat Islam dalam kurun dua abad terakhir. Terutama dengan munculnya konspirasi dari musuh-musuh Islam, misalnya upaya memberangus Khilafah Islamiyyah, cengkeraman Barat (Nashara) terhadap negeri-negeri Islam secara militer, politik maupun ideologi, dan dengan kegigihannya, mereka juga bermaksud memporak-porandakan keutuhan masyarakat muslim melalui putra-putri Islam sendiri yang telah dicekoki konsep-konsep kufur dan atheisme. Upaya ini kian memperburuk keberadaan kaum Muslimin. Apalagi ditambah dengan berkembangnya arus kebodohan, bid'ah dan khurafat di tengah kaum Muslimin.
Salah satu dampak buruk dari konspirasi itu, kemudian muncul berbagai pemikiran baru yang secara langsung maupun tidak telah bersinggungan dengan 'aqidah Islamiyyah. Misalnya dengan berkembangnya rasionalisme, sekulerisme, liberalisme, dan sosialisme. Pemikiran-pemikiran ini telah merasuki otak dan pola pikir sebagian kaum Muslimin.
MENGAPA RASIONALISME BERBAHAYA BAGI KAUM MUSLIMIN?
Rasionalisme, sebuah cara berpikir yang mengagungkan kemampuan akal, dan memposisikan akal lebih tinggi dari agama (wahyu). Rasionalisme juga memberikan wewenang untuk membicarakan alam ghaib. Nash-nash syar'i yang berasal dari Allah l dan Rasul-Nya dikalahkan. Akal menjadi segala-galanya dalam menentukan dan menerima suatu hukum. Demikian pemikiran yang diusung oleh paham yang dikenal dengan istilah 'aqlaniyyun. Keburukan konsep mereka tersembunyi di balik gelar megah, yaitu "Cendikiawan Muslim". [1]
Konsep berpikir Mu`tazilah, yang mengutamakan akal di atas wahyu nampak kuat keberadaannya mempengaruhi kalangan akademisi, maupun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "cendikiawan muslim". Tokoh-tokoh tersebut bisa kita sebutkan, misalnya: Dr. Thâha Husain, Muhammad Farid Wajdi, Dr. Ahmad Zaki Abu Syâdi, Salâmah Musa, Syaikh 'Ali 'Abdur-Razzâq, Qâsim Amin, Dr. Muhammad Husain Haikal, Dr. Ahmad Amin dan putranya Husain Ahmad Amin, Syaikh Mahmud Abu Rayyah, Muhammad Ahmad Khalfullah, Khalid Muhammad Khalid.
Tokoh-tokoh yang semuanya berasal dari Mesir ini, merujuk pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad 'Abduh dari perguruan rasionalisnya (madrasah 'aqliyyah). Arus pemikiran ini menyebar ke banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia. Banyak karya-karya mereka yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Dan telah bermunculan pula cendikiawan-cendikiawan model mereka di negeri ini.
GELAR-GELAR YANG DISEMATKAN MEREKA KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Pada topik ini, hanya akan ditampilkan seputar pandangan kaum Rasionalis terhadap Nabi Agung Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengklaim diri sebagai kaum Rasionalis Muslim. Konon mereka pun telah melakukan pengkajian secara menyeluruh peri kehidupan dan perilaku Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kenabiannya, serta seluruh ajaran yang dibawa oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Saking banyaknya hasil kajian empirik mereka, hingga membutuhkan sebuah perpustakaan yang besar untuk menampungnya.
Banyak sisi kehidupan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjadi bahan "penelitian" mereka, sebelum nubuwwah maupun pasca kenabian. Dari kajian tersebut, mereka menyimpulkan, bahwa Muhammad adalah seorang manusia jenius lagi istimewa (?!), tidak ada hubungan antara beliau dengan kekuatan ghaib di luar jasad beliau, baik Malaikat Jibril secara khusus maupun lainnya.
Dari pemikiran ini, mereka kemudian mengaitkan segala yang muncul dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berbentuk ilmiah dan amaliah, termasuk juga wahyu yang turun kepada beliau, semata-mata hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang jenius, unggul, reformis sosial yang agung, politisi yang piawai, pendobrak tatanan, pimpinan kudeta kebebasan, dan seterusnya. Suatu gelaran nama-nama yang di mata sebagian orang sekarang ini sebagai gelar-gelar yang "populis", "ngetrend" dan "mentereng". Padahal, kenyataannya tidak demikian. Justru julukan-julukan tersebut telah menjauhkan beliau n dari nilai-nilai wahyu luhur, nubuwwah, dan keimanan yang tidak bisa dipisahkan dari diri beliau.
Bahkan kemudian, gelar-gelar jahiliyyah pun mereka sematkan pada diri beliau. Seperti: nabiyul-istirakiyyah (nabi sosialisme), rasûlul-hurriyyah (rasul kebebasan), nabiyyul-'arûbah (nabi bangsa Arab), râidul-Qaumiyyatil 'Arabiyyah (Panglima Kebangkitan Arab), dan sebutan-sebutan lainnya yang tidak pantas, atau mengenyampingkan tugas Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ke dalam dimensi kehidupan yang lebih sempit.
Julukan-julukan di atas tidak mengherankan. Sebab, definisi kenabian yang mereka pegang, sangat jelas memisahkan pribadi para nabi dari keterkaitan mereka dengan wahyu ilahi. Sebut saja, apa yang disampaikan Syaikh Muhammad 'Abduh, yang merupakan tokoh penting madrasah 'aqlaniyyin. Syaikh Muhammad 'Abduh berkata: