Pesta demokrasi 2024 kian dekat, bayang-bayang wajah baru Indonesia ketika mendengar janji Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon legislatif juga tak ketinggalan menebar janji-janji mensejahterahkan rakyat-rakyat kecil. Kita digiring untuk larut pada mimpi semu, tak ada yang benar-benar serius untuk berpihak kepada rakyat kecil, kalaupun ada sangat jarang dan tidak punya kekuatan besar untuk melakukan perubahan yang lebih baik di masyarakat. Sistem demokrasi yang tumbuh di Indonesia bukanlah demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem yang paling baik dan wajar untuk sistem  politik, dan sosial bahkan pernah disebut sebagai capaian tertinggi peradaban manusia. Â
Sejak 60an tahun lebih pasca pemilihan umum legislatif Indonesia tahun 1955 dan pemilihan umum untuk presiden pada tahun 2004. Hal lumrah ketika menjalang pemilu, bentangan spanduk dan baliho-baliho di jalan berisi ajakan untuk memilih, disertai dengan janji-janji yang sifatnya formalitas belaka. Pasca reformasi demokarasi-liberal malah menjadi kendaraan politik kaum pemodal untuk duduk di pemerintahan.Â
Demokrasi sangat menguntungkan kaum pemodal (kapitalis), walaupun secara konsep dan ide, kapitalis sangat menentang demokrasi. Demokrasi menginginkan sistem ekonomi yang adil (demokratis) sedangan kapitalis sangat bertentangan yaitu menginginkan sistem ekonomi yang menguntungkan satu pihak atau sekolompok pemodal.
Masyarakat kecil yang kini sangat akrab dengan janji-janji politik yang tak kunjung terealisasi menjadikan masyarakat menjadi acuh tak acuh. Mengambil jalan pintas memilih calon presiden, calon gubernur, calon bupati/walikota, calon legislatif dengan melihat seberapa banyak dana yang ia gelontorkan saat kampanye. Tidak lagi melihat seberapa banyak kebijakan-kebijakan yang berpihak ke masyrakat kecil saat mereka terpilih. Ini hanyalah pandangan subjektif saja, karena masih ada beberapa individu yang memakai nalar dalam melihat track record calon yang hendak ia pilih.
Kaum pemodal masih saja mendominasi dalam pertarungan kursi pemerintahan, kalau bukan dirinya yang menduduki posisi di lembaga-lembaga kekuasaan, maka mereka punya kekuatan untuk mendelegasikan kepentingan melalui politisi-politisi yang mampu mereka gerakkan melalui uang. Inilah money politic (politik uang), para politisi berselingkuh dengan dengan para pemodal dan menjadi penggerak kepentingan para pemodal sebagai dalangnya.
Secara kasat mata, negaralah yang memerintah lewat tangan-tangan politisi yang dipilih oleh rakyat, tapi diluar semua itu tidak bisa disembunyikan bahwa kapitalis yang punya rules dalam mengatur kebijakan.
Indonesia kalau kita melihat sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa cara yang dilakukan pemerintahan yang berindakasi difungsikan oleh pemodal.Â
Pertama, pemerintah menggunakan jalur legetimasi untuk mencipatakan konsensus (kesepakatan bersama) di dalam masyarakat menyangkut kebijakan-kebijakan yang secara sadar mementingkan kaum pemodal. Kasus-kasus penggusuran, pembukaan lahan pertanian yang merusak hutan, masyarakat diiming-imingi uang dan semua unsur terlibat dalam merealisasikannya. Tak jarang orang-orang yang sering mengkritik pemerintah malah diundang untuk makan bersama dan jalan-jalan, muaranya adalah menyumbat mulut-mulut meraka untuk tak lagi banyak bicara.
Kedua, pemerintah menggunakan cara represi atau penindasan ketika jalur legitimasi gagal dan menemui jalan buntu. Sebut saja Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang sebelum penetapannya diganti menjadi Cipta Kerja (Cika), banyak buruh dan masyarakat yang menolak, yang berakibat banyak tindakan represif, demo dimana-mana dan tak jarang menggunakan aparat untuk mendiamkan massa. Kasus-kasus penggusuran di beberapa wilayah, masyarakat yang menolak mendapat teror dan tindakan kekerasan oleh aparat.
Ketiga, cara pemerintah dalam mendukung kaum pemodal adalah dengan akumulasi, dengan menetapkan sebuah kebijakan yang membantu kaum pemodal dalam menambah pundi-pundi kekayaan. Salah satu kebijakan yang jelas arahnya mendukung kaum pemodal adalah kebijakan untuk meringankan beban pajak kaum pemodal (tax amnesty)Â menggesar beban pajak kepada warga biasa.Â
Kekuasaan yang didominasi oleh kaum pemodal tanpa adanya kontrol yang kritis dari masyarakat akan menciptakan pemerintahan yang otoriter yang cenderung korup. Kalau kita ingat-ingat ketika runtuhnya orde baru menuju reformasi, masyarakat punya pemahaman dan keberanian untuk bersuara dengan dukungan kaum intelektual kalangan mahasiswa dan akademisi. Kita butuh butuh menumbuhkan pendidikan politik dari akar rumput sehingga kita mampu berharap banyak dari penyelenggaraan demokrasi. Jelas bahawa kontrol dari masyarakat adalah mekanisme  dasar dalam membangun sebuah sistem sosial politik yang seimbang.
Walau sangat sulit untuk membangunnya, karena lawan terbesar dari demokrasi yang seimbang adalah para elite itu sendiri. Kesadaran pasif dan diam adalah rekayasa kaum pemodal, yang ujungnya menjerat masyarakat dengan politik uang. Mobilisasi dukungan yang sifatnya sangat tidak mendidik dengan massa yang diproyeksikan sebagai massa pasif yang tugasnya sebagai tim hore meneriakkan sorak-sorai dan tepukan tangan tanpa harus paham apa yang sedang mereka bicarakan. Panggung politik dikuasai penuh oleh para politisi, juru kampanye sampai kepada para artis-artis yang berpolitik dengan joget-joget.
Adu gagasan calon saja belum menjamin ekositem pemerintahan kedepan akan berjalan sehat, kita tak tau siapa dibelakang para aktor politik sekarang. Apalagi jualannya hanya nama bapak dan tampil dengan gaya-gaya kekinian.
Lagi-lagi masyarakat butuh pendidikan politik yang kelak mampu untuk menjadi kontrol sosial politik pemerintah. Kehidupan bernegara tentu akan sehat ketika didukung oleh tindakan-tindakan rasional yang hari ini sangat kurang di masyarakat kita. Perlahan rasionalitas dapat berkembang di masyrakat secara alamiah dan juga perlu sokongan kelompok-kelompok elite untuk menkosolidasikan rasionalitas dari kalangan bawah.
Pergerakan bisa dimulai sedini mungkin  (saat ini), ketika para capres, cawapres, dan caleg mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk memikat pemilih, maka rasionalitas harus dikedepankan. Politik uang sudah pasti akan bermuara pada tindakan korup, jelas itu pasti. Maka sepatutnya masyarakat betul-betul jeli dalam menentukan pilihan untuk menitipkan tugas dan tanggungjawab kepada orang yang tepat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H