Korupsi, mendengar kata tersebut mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Korupsi atau memperkaya diri secara tidak halal sepertinya sudah tidak lagi mendarah daging di Indonesia, namun seperti sudah menjadi budaya yang terus menerus terjadi dan tidak ada hentinya. Bagaimana sejarahnya hingga praktik korupsi ini terjadi di Indonesia dan seperti sudah menjadi budaya?
Ternyata praktik melakukan tindakan korupsi sepertinya sudah lama terjadi di Indonesia, bahkan dapat ditelusuri kembali pada saat perang kemerdekaan di mana tindakan melakukan praktik korupsi yang pertama kali terjadi. Tindakan praktik korupsi ini ternyata terjadi ketika pemerintah Indonesia berencana membeli pesawat terbang untuk pertama kalinya yang akan digunakan untuk mobilisasi udara pemerintah Indonesia dalam perang melawan pasukan Belanda yang kembali menyerbu Indonesia.
Rencana Pembelian Pesawat Pemerintah IndonesiaÂ
Seperti kita ketahui setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada tanggal 17 bulan Agustus tahun 1945, ternyata tidak semua negara di dunia ini mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, termasuk negara penjajah Indonesia dahulu yaitu Kerajaan Belanda. Alhasil Kerajaan Belanda pun menyerbu kembali Indonesia guna menjadikan Indonesia kembali wilayah koloni dan jajahan Kerajaan Belanda. Perang Kemerdekaan pun pecah. Sekitar tiga tahun setelah invasi kembali Belanda ke Indonesia yaitu pada tahun 1948, Pemerintah Indonesia di bawah Angkatan Udara Indonesia yang bertugas untuk kepentingan kekuatan Udara pasukan Indonesia berencana untuk membeli pesawat baru yang diperuntukan untuk mobilisasi jembatan udara Pemerintah Indonesia dalam rangka perlawanan invasi kerajaan Belanda.
Namun sayangnya Pemerintah Indonesia kekurangan dana guna membeli pesawat baru untuk mobilisasi jembatan udara. Alhasil Presiden Soekarno pun pergi ke Banda Aceh dan meminta dukungan dan sumbangan dari warga Aceh guna menggalang dana untuk membeli pesawat baru tersebut. Pada akhirnya dana untuk membeli pesawat terbang baru pun terkumpul atas sumbangan dari warga Aceh berupa emas, uang tunai dan perhiasan, dana yang terkumpul totalnya adalah 120.000 strait dollar atau dolar selat yang merupakan mata uang di negeri-negeri Selat yang terdiri dari negara-negara persemakmuran Inggris di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Uang tersebut lalu diberikan kepada utusan Angkatan Udara yang diberi tugas untuk membeli pesawat yaitu Wiweko Soepono berupa wesel dan Wiweko pun berangkat ke Rangoon, Myanmar guna mencari pesawat yang dibutuhkan pemerintah Indonesia.
Namun sayang karena keterbatasan sarana untuk mengirim uang, wesel uang sumbangan dari warga Aceh tersebut harus diberikan kepada perantara yang diberi mandat oleh pemerintah untuk mencairkan uang tersebut. Hal ini dikarenakan uang wesel tersebut yang berupa cek hanya bisa dicairkan di Indian Bank di Penang Malaya atau yang sekarang menjadi Malaysia dan dibutuhkan orang yang memiliki izin untuk masuk Malaya, mengingat uang tersebut harus dikonversi ke strait dollar yang menjadi mata uang yang dibutuhkan oleh sang penjual pesawat. Orang yang diberi kepercayaan tersebut tidak lain adalah Abdul Meotalib yang merupakan seorang pedagang dan mempunyai hubungan dagang dengan para pedagang di Malaya, sehingga memberinya akses mudah untuk keluar dan masuk Malaya.
Di Rangoon Wiweko pun menemukan pesawat yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia dan cocok untuk mobilisasi jembatan udara pemerintah Indonesia dan pasukan Indonesia dalam perang kemerdekaan melawan pasukan Kerajaan Belanda. Pesawat tersebut adalah Pesawat Douglas DC-3 atau yang sering disebut "Dakota" dari dua orang Amerika bernama James Tate dan J. Maupin yang hendak mendirikan perusahaan maskapai penerbangan di Myanmar, namun sayang gagal. Wiweko pun mendapat kabar gembira bahwa Tate dan Maupin berhasil mendapatkan pesawat Dakota seperti yang diminta Wiweko untuk memenuhi standard agar dapat digunakan di wilayah Indonesia. Tetapi sayang perasaan gembira Wiweko tersebut harus diiringi dengan perasaan gelisah dan khawatir, karena uang yang harus dicairkan oleh Abdul Moetalib untuk pembayaran pembelian pesawat belum juga diterima oleh Wiweko.
Raibnya Setengah dari Uang Pembelian Pesawat
Kegelisahan dan kegundahan pun terus meliputi benak pikiran Pak Wiweko Soepono, karena selain uang belum pembayaran pesawat belum diterima, rupanya Abdul Moetalib pun tidak dapat dihubungi. Sedangkan pesawat DC-3 Dakota yang dibeli rupanya sudah diterima dan bahkan sudah diterbangkan ke Indonesia dan juga sudah diberi registrasi "RI-001" dan diberi nama "Seulawah" yang diambil dari nama gunung di Aceh sebagai rasa terima kasih atas sumbangan dari warga Aceh. Tetapi sayang pembayaran untuk Pesawat DC-3 Dakota tersebut belum juga terlunasi, karena uang belum kunjung datang.
Berkali-kali Wiweko mengirim surat dan pesan untuk mendapatkan kabar dari Abdul Moetalib, namun surat dan pesan tersebut tak kunjung mendapat balasan dari Abdul Moetalib.  Lantas muncul pertanyaan di benak Wiweko, "Bagaimana dan kapan pembayaran pesawat DC-3 tersebut akan terealisasi? sedangkan alokasi dana untuk pembayaran sudah ada." Entah bagaimana tiba-tiba Moetalib yang diberi kuasa untuk mencairkan cek di Indian Bank seperti hilang bak ditelan bumi dan sangat sukar untuk dihubungi. Wiweko bahkan sudah mengirim radiogram sampai  dua kali namun satupun jawaban tidak ia peroleh dari Abdul Moetalib.
Kegelisahan Wiweko ini pun rupanya mendapat perhatian serius dari pihak Angkatan Udara. Pihak Angkatan Udara pun menugaskan Wiweko untuk terbang ke New Delhi guna mencari tahu keberadaan Abdul Moetalib serta uang sebesar 120.000 strait dollar yang telah dipercayakan untuk dicairkan oleh Abdul Moetalib guna membayar pesawat DC-3 Dakota tersebut.
Setibanya di New Delhi Wiweko pun menerima menerima telegram dari Abdul Moetalib. Dalam telegram tersebut Abdul Moetalib megatakan jika terjadi kendala dalam pengiriman uang karena kesalahan dalam menulis nama Wiweko di wesel yang mengakibatkan keterlambatan pengiriman uang untuk pembayaran pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut. Tetapi kabar lebih buruk yang diterima oleh Wiweko dari Abdul Moetalib adalah uang sebesar 120.000 strait dollar yang digunakan untuk pembayaran pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut, sekarang hanya tersisa 60.000 strait dollar. Berarti dalam kata lain, setengah dari uang pembelian pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut telah raib. Sungguh marah dan merasa kecewa Wiweko mendengar hal tersebut, karena bagaimana bisa uang tersebut raib hingga tersisa hanya setengahnya.
Konon berdasarkan buku "Dari Blitar Ke Kelas Dunia : Wiweko Soepono Membangun Penerbangan Indonesia karya J. M. V. Soeparno dan Dudi Sudibyo" sepertinya ketika uang belum digunakan, Abdul Moetalib bermaksud menggunakan uang untuk pembelian pesawat tersebut untuk menyelundupkan kopra ke Australia yang dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar, iasanya usaha ini disebut sebagai smokkel. Rupanya berdasarkan penuturan di buku tersebut usaha yang biasa disebut smokkel itu, sudah sering dioperasikan menggunakan kapal oleh Konsul Indonesia di Penang dan hasilnya digunakan untuk menunjang perjuangan rakyat Indonesia untuk melawan agresi militer Kerajaan Belanda.
Tetapi sayangnya usaha yang biasa dilakoni Abdul Moetalib ini harus kandas dan tidak menghasilkan untung apapun, dikarenakan Pemerintah Inggris di Penang tidak mau mengeluarkan ijin berlayar bagi kapal yang akan digunakan, yang merupakan bekas kapal pemburu cepat bekas Perang Dunia Kedua dengan kecepatan 40 knot dan dinilai pemerintah Inggris jika kapal tersebut terlalu cepat untuk sebuah kapal dagang. Alhasil usaha Abdul Moetalib memutar dana untuk pembelian pesawat terbang tersebut menjadi kandas dan tidak hanya tidak menghasilkan keuntungan, namun Abdul Moetalib harus menderita kerugiaan karena terpaksa harus membayar ongkos kapal walaupun tidak sempat digunakan untuk usaha smokkel ke Australia.
Mendengar hal ini, Wiweko pun dengan segera mengirim radiogram kepada Moetalib ketika tiba di Singapura dalam perjalanan balik ke Indonesia untuk segera mengirim Sisa dari uang untuk pembelian pesawat tersebut. Isi-nya singkat dan padat, karena Wiweko berharap-harap cemas karena terbayang dengan kendala tersebut perjuangan akan menjadi cukup berat. Tetapi Wiweko harus memutar otak guna menyelesaikan semua permasalahan tersebut tanpa harus putus asa.
KonklusiÂ
Raibnya setengah dari uang pembayaran untuk pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut membuat Wiweko harus memutar otak dan harus mencari cara bagaimana pembayaran untuk pembelian pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut harus dilunasi. Wiweko pun mendapatkan beberapa alternatif guna memecahkan masalah pembayaran untuk pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut. Alternatif pertama adalah dengan mendirikan perusahaan maskapai penerbangan dengan menggunakan pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut dan menggunakan keuntungan dari usaha maskapai untuk melunasi pembayaran pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut.
Memang dalam hati dan pikiran Wiweko sudah terlintas pikiran untuk mendirikan penerbangan sipil bagi Indonesia yang sudah merdeka dan hal ini didasarkan karena peta geografis Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan membutuhkan transportasi udara sebagai utama yang menghubungkan antar pulau, dari satu pulau ke pulau lainnya. Alternatif kedua adalah dengan menjual kembali pesawat yang telah dibeli dan sebagian hasilnya digunakan untuk menyelesaikan pembayaran.
Tetapi untungnya pembayaran untuk pesawat Douglas DC-3 tersebut pada akhirnya dapat diluniasi, walaupun pada akhirnya harus ditutup sementara oleh perwakilan Indonesia di India yang bersifat pinjaman dan Wiweko pun harus mengemban tanggung jawab untuk mengembalikannya.
Namun dari kasus pembelian pesawat Douglas DC-3 Dakota RI-001 Seulawah ini dapat disimpulkan bahwa tindakan yang berujung pada korupsi sudah mulai terjadi bahkan di awal-awal tahun setelah Indonesia merdeka. Melihat dari kasus ini, korupsi terkadang didasari dari keinginan untuk mengambil uang extra dari jumlah uang yang dianggarkan dan dialokasikan untuk suatu tujuan negara. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana Abdul Moetalib yang justru menggunakan uang untuk pembelian pesawat Douglas DC-3 Dakota tersebut ketika belum digunakan untuk pembayaran dan digunakan untuk keperluan pribadi.
Mungkin ekspektasi Moetalib adalah guna mendapat keuntungan besar yang bisa berguna untuk perjuangan Indonesia dalam melawan agresi militer Belanda. Namun sayang niat Moetalib tersebut justru berujung pada kerugian yang menyebabkan kerugian bagi negara dalam rangka pembelian pesawat terbang untuk mobilisasi jembatan udara pemerintah Republik Indonesia. Mungkin kita dapat melihat juga dari kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi hari ini, di mana banyak menggunakan pola seperti yang digunakan Moetalib tersebut.
Namun kesimpulannya adalah memang bukanlah hal yang mudah untuk memberantas korupsi di negara ini, dikarenakan praktik tersebut seakan sudah menjadi budaya karena sudah terjadi dari awal kemerdekaan Indonesia. Memang diperlukan tindakan yang tegas dan keras guna memberantas korupsi guna memusnahkan budaya korupsi tersebut yang sudah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat ditindak dengan lunak.
Sumber:Â
Buku Dari Blitar Ke Kelas Dunia : Wiweko Soepono Membangun Penerbangan Indonesia ditulis oleh Dudi Sudibyo dan J. M. V. Soeparno
Arsip Nasional Republik Indonesia - Inventaris Arsip Wiweko Soepono - Tahun 1943 -1984 - Bagian I (Sebagai Kepala Staff AURI) - Bagian "B" (Administrasi) - Nomor 5 - Judul: Kawat-kawat dari new Delhi tentang Pengiriman uang Tahun 1948
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H