Apalagi mengingat pada masa itu Amerika Serikat dan Uni Soviet baru saja memasuki babak baru dari peperangan yang disebut "Perang Dingin" di mana Amerika dan Soviet saling beradu kecanggihan senjata.
Para Jenderal Angkatan Udara juga mengatakan bahwa kapal-kapal angkatan laut dapat dengan mudah ditenggelamkan dengan pesawat bomber mengingat tragedi Pearl Harbor.
Revolt of the Admirals
Serentak para Laksamana Angkatan laut pun memberontak dan menolak keras semua usulan para petinggi Angkatan Udara, dan juga memprotes keputusan Presiden Harry S. Truman dan Menteri Pertahanan Louis Johnson untuk membatalkan proyek Kapal Induk U.S.S. United States.Â
Salah satu Laksamana yang paling vokal dalam protes ini adalah Laksamana Louis E. Denfeld yang juga menjabat sebagai Kepala Staff Angkatan Laut Amerika Serikat.
Peristiwa ini dikenal sebagai "Revolt of the Admirals" bahkan tidak hanya perwira angkatan laut aktif saja yang menentang kebijakan dibatalkannya proyek U.S.S. United States, namun perwira yang sudah pensiun juga turut memprotes langkah pembatalan proyek ini.Â
Denfeld bahkan memerintahkan para Laksamana untuk bersatu dalam memprotes keputusan Truman dan Johnson dalam pembatalan proyek U.S.S. United States, bahkan Denfeld juga membentuk tim pencari fakta yang dinamakan Op-23 yang dipimpin oleh Kapten Arleigh Burke untuk mengumpulkan informasi-informasi dan mencari fakta guna mengetahui alasan dibalik dibatalkannya proyek U.S.S. United States.Â
Usut punya usut pada akhir Mei 1949 muncul sebuah dokumen bernama "Worth Paper" yang mengatakan bahwa Menteri Pertahanan Louis Johnson pernah menjabat sebagai direksi di Perusahaan Produsen Pesawat Convair.Â
Convair tidak lain adalah pabrikan produsen pesawat yang memenangkan tender untuk proyek pesawat bomber strategis B-36 Peacemaker.Â
Tidak hanya itu, Op-23 juga menemukan fakta bahwa angkatan udara memiliki andil untuk memonopoli seluruh senjata nuklir Amerika Serikat.Â