Mohon tunggu...
Erwindya Adistiana
Erwindya Adistiana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning by Experience

Penulis pemula yang tertarik pada hal-hal seperti sejarah, militer, politik dan yang lain-lannya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Membaca Krisis Ukraina dari Beberapa Poin Permasalahan

11 Maret 2022   16:07 Diperbarui: 12 Maret 2022   17:45 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Uni Soviet ketika diturunkan untuk terakhir kalinya dari Kremlin dan digantikan bendera Russia, Desember 1991 | Sumber Gambar: spiegel.de

Pada 24 Februari 2022, dunia dikejutkan akan suatu serangan yang terjadi di sebuah Negara di Eropa Timur, tepatnya di Negara Ukraine yang mana serangan tersebut dilancarkan oleh pasukan Russia. Invasi Russia terhadap Ukraine tersebut memang sangat menggemparkan dunia.

Hal ini dikarenakan pasca invasi Russia terhadap Ukraine beberapa spekulasi bermunculan dan salah satu spekulasi yang paling menghebohkan dunia adalah, bahwa invasi Russia terhadap Ukraine ini merupakan awal dari suatu konflik berskala besar yang nantinya akan melibatkan beberapa negara besar termasuk Amerika Serikat dan negara-negara anggota dari North Atlantic Treaty Organization (N.A.T.O.) dan pada akhirnya akan menuntun pada Perang Dunia Ketiga. Apalagi pasca serangan tersebut, tagar #WorldWarIII menjadi trendic topik di dunia maya dan media sosial.

Namun apakah benar jika krisis di Ukraine tersebut akan membawa dunia pada konflik global dalam skala besar dan menjadi pemicu awal dari Perang Dunia Ketiga? Lantas apakah yang menjadi penyebab utama Russia menginvasi Ukraine? Dan pertanyaan yang paling besar dari krisis ini adalah, mengapa Ukraine begitu penting bagi Russia?

Krisis Ukraine memang sudah dimulai sejak di 2014 dan terus berkecamuk hingga mencapai puncaknya pada 24 Februari 2022 lalu yang mana Russia pada akhirnya memutuskan untuk menginvasi Ukraine. Tetapi jika dilihat lebih dalam, memang sepertinya banyak hal-hal yang menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan di Ukraine ini. 

Berikut kita simak apa saja yang sebenarnya memicu konflik di Ukraine ini dan melihat konflik Ukraine ini dari beberapa sudut pandang.

Sejarah lama Ukraine dan Russia

Demonstrasi Rakyat Ukraine di Sofia Square di Kota Kiev menuntut kemerdekaan Ukraine | Sumber Gambar: smithsonianmag.com
Demonstrasi Rakyat Ukraine di Sofia Square di Kota Kiev menuntut kemerdekaan Ukraine | Sumber Gambar: smithsonianmag.com

Ukraine dan Russia memang memiliki sejarah kedekatan yang sangat lama, bahkan kembali pada awal abad ke-20.

Pada masa-masa sebelumnya di abad ke-19, wilayah yang hari ini menjadi wilayah negara Ukraine memang berada di bawah yurisdiksi Kekaisaran Russia dan Austria-Hungaria juga Polandia dan Lithuania, dan negara dan kekaisaran tersebut memang memiliki otonomi atas daerah yang menjadi wilayah negara Ukraine hari ini.

Pada tahun 1917, setahun sebelum berakhirnya Perang Dunia Pertama, perang untuk kemerdekaan Ukraine pun pecah. Konflik ini juga dipicu akibat dari perang saudara di Russia dan juga Revolusi Bolshevik yang mengakibatkan runtuhnya kekaisaran Tsar di Russia. Pada tahun 1917 pun Ukrainian People's Republic pada akhirnya didirikan dan menjadi negara independent. 

Namun karena kuatnya pengaruh kaum Bolshevik dan kubu Komunis, pada akhirnya Ukrainian People's Republic pada akhirnya bubar dan digantikan oleh “Ukrainian Soviet Socialist Republic” dan pada akhirnya resmi bergabung sebagai Negara anggota dari Konstituen Uni Soviet ketika Uni Soviet didirikan pada tahun 1922. Beberapa sejarah juga menyebutkan bahwa kaum Bolshevik di Ukraine juga memiliki andil dalam Revolusi Bolshevik dan juga pendirian Uni Soviet. Tidak heran jika Presiden Putin juga sempat menyebutkan jika yang membuat dan membentuk Ukraine itu tidak lain adalah Russia sendiri. Putin pun juga sempat menyebutkan bahwa orang Russia dan ukraine sebenarnya adalah "satu bangsa."

Pada saat Perang Dunia Kedua, pasukan Nazi Jerman menginvasi Ukraine dan menduduki Ukraine atau yang biasa dikenal sebagai “Reichskommissariat Ukraine.” Namun pasukan Soviet berhasil memukul balik pasukan Nazi Jerman di Ukraine dan Soviet pun merebut kembali Ukraine, di mana Ukraine menjadi basis utama Soviet dalam penyerbuan Soviet ke Polandia yang waktu itu masih diduduki oleh Nazi Jerman.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua pada tahun 1945 dan dimulainya perang dingin di tahun 1947, Ukraine menjadi gabungan dari anggota Negara Konstituen Uni Soviet dan dikenal sebagai “Ukrainian Soviet Socialist Republic” atau “Republik Sosialis Soviet Ukraina.”

Reaktor Nuklir Chernobyl pasca kejadian kebojoran salah satu reaktor | Sumber Gambar: wired.com
Reaktor Nuklir Chernobyl pasca kejadian kebojoran salah satu reaktor | Sumber Gambar: wired.com

Namun pada 26 April 1986, sebuah insiden terjadi di reaktor nuklir Chernobyl yang terletak tidak jauh dari kota Pripyat, Ukraine, di mana pada waktu itu terjadi kebocoran pada reaktor nuklir. Akibat dari insiden ini adalah terjadinya kebocoran radiasi Nuklir di wilayah sekitar Chernobyl hingga ke kota Pripyat yang mengakibatkan seluruh warga kota Pripyat harus dievakuasi.

Banyak yang menyebutkan jika insiden Chernobyl ini merupakan awal dari pemicu kejatuhan Uni Soviet dan merupakan pemicu utama yang menyebabkan Ukraine memilih untuk berpisah dari Uni Soviet. Namun di sisi lain banyak juga pihak Soviet yang menyebutkan bahwa berita insiden Chernobyl ini sengaja dibesar-besarkan guna mendiskreditkan Soviet yang pada akhirnya menuntun pada pecahnya Uni Soviet.

Putin dan Soviet Playbook

Bendera Uni Soviet ketika diturunkan untuk terakhir kalinya dari Kremlin dan digantikan bendera Russia, Desember 1991 | Sumber Gambar: spiegel.de
Bendera Uni Soviet ketika diturunkan untuk terakhir kalinya dari Kremlin dan digantikan bendera Russia, Desember 1991 | Sumber Gambar: spiegel.de

Hari itu adalah hari Natal pada 25 Desember tahun 1991. Tetapi hari natal pada tahun 1991 tersebut dunia menyaksikan suatu sejarah yang terjadi di salah satu negara adidaya waktu itu, Uni Soviet. Pada hari itu, 25 Desember 1991, bendera negara yang pernah menjadi salah satu negara adidaya dan merupakan saingan utama Amerika Serikat selama era perang dingin yang berlangsung selama 44 tahun dari tahun 1947 hingga 1991, diturunkan untuk terakhir kalinya dari Istana Grand Kremlin di Moscow dan digantikan oleh bendera Negara Federasi Russia. 

Hari itu menjadi tanda berakhirnya negara kesatuan Union of Soviet Socialist Republics atau yang sering disingkat U.S.S.R. atau Uni Soviet, setelah Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden pada hari itu dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Presiden Russia yang baru, Boris Yeltsin.

Namun pada tiga tahun terakhir sejak tahun 1988 hingga 1991, gejolak dan konflik memang sudah berlangsung yang pada akhirnya menuntun pada runtuhnya Uni Soviet. Titik balik dari gejolak ini ditandai dengan beberapa Negara Anggota Konstituen yang merupakan bagian dari Uni Soviet mendeklarasikan kemerdekaan mereka dan memisahkan diri dari konstituen Uni Soviet, seperti Estonia, Georgia, Belarus, Kazakhstan dan Uzbekistan. Salah satu Negara Anggota Konstituen yang juga memerdekakan diri dan resmi memutuskan untuk berpisah dari Konstituen Uni Soviet adalah Ukrainian Soviet Socialist Republic atau yang sekarang lebih dikenal sebagai “Ukraine.”

Seiring berjalan waktu beberapa negara pecahan Uni Soviet terus semakin berkembang dalam membina kemandirian mereka dan tidak terlalu terikat campur tangan dari Russia. Beberapa negara pecahan Uni Soviet pun juga mulai turut ikut serta dalam beberapa organisasi Internasional seperti menjadi anggota dari Uni Eropa dan juga North Atlantic Treaty Organization (N.A.T.O.) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara, seperti Estonia, Latvia dan Lithuania.

Presiden Russia Vladimir Putin | Sumber Gambar: EURACTIV.com
Presiden Russia Vladimir Putin | Sumber Gambar: EURACTIV.com

Namun di sisi lain hal ini sepertinya tidak begitu disukai oleh Presiden Russia pada saat ini yaitu Vladimir Putin. Putin yang merupakan mantan anggota dari K.G.B. atau Badan Intelijen Uni Soviet yang sangat berpangaruh dan ditakuti pada era Perang Dingin dan juga pernah menjabat sebagai Direktur Badan Intelijen Russia, Federal Security Service yang merupakan agensi pengganti dari K.G.B. dan juga merupakan mantan Perdana Menteri Russia pada era Presiden Boris Yeltsin dan Dmitry Medvedev. 

Melihat hal tersebut sebagai semakin menurunnya kekuatan Russia pasca runtuhnya Uni Soviet dan hilangnya kendali dan pengaruh Russia atas negara-negara pecahan dari Uni Soviet. Walaupun beberapa Negara pecahan Uni Soviet juga masih ada yang terus ingin menjalin kerjasama yang erat dengan Russia dan tergabung dalam kesatuan “Commonwealth of Independent States” yang beranggotakan negara-negara pecahan dari Uni Soviet seperti Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan dan Uzbekistan.

Putin sendiri mungkin memiliki prinsip bahwa walaupun Uni Soviet sudah tidak ada lagi, namun ia tidak ingin kejayaan Russia layaknya kejayaan Uni Soviet pada masa perang dingin meredup. Putin pun sepertinya juga ingin memainkan “Playbook” atau aturan main dari pemimpin-pemimpin Soviet terdahulu. Hal ini dapat terlihat ketika periode pertama Putin sebagai Presiden.

Putin sempat menegaskan kepada rakyat Russia untuk tidak terus menerus melihat Joseph Stalin yang merupakan mantan pemimpin Uni Soviet dari tahun 1922 hingga 1953 dari sisi buruknya saja, namun untuk lebih melihat pencapaian Uni Soviet di era Joseph Stalin, walaupun hingga hari ini Stalin masih tercatat sebagai salah satu ditaktor paling brutal dalam sejarah dan pada masa kepimpinan Stalin diperkirakan 20 juta bahkan lebih warga Uni Soviet tewas akibat dari kekejaman rezim Stalin. 

Salah satu insiden paling terkenal pada era Stalin adalah Kelaparan besar-besaran yang terjadi di Ukraine ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet atau yang lebih dikenal sebagai “The Soviet famine of 1932–33” atau “Holodomor” yang menyebabkan jutaan nyawa merenggang.

Bisa dikatakan terinspirasi dengan pemimpin-pemimpin Uni Soviet terdahulu, Putin terus berusaha untuk membuat Russia kembali berjaya layaknya Uni Soviet di era perang dingin. Salah satu caranya adalah dengan terus mempertahankan kepresidenannya agar bisa mempertahankan kejayaan Russia di kancah internasional. 

Putin memang sempat turun dari kursi kepresidenan Russia pada tahun 2008 dan digantikan oleh Dmitry Medvedev. Namun pada masa kepresidenan Medvedev, Putin kembali menduduki kursi Perdana Menteri Russia, hingga akhirnya setelah empat tahun kepresidenan Medvedev, pada tahun 2012 Putin kembali menduduki kursi kepresidenan Russia. Namun banyak yang beranggapan pula bahwa Kepresidenan Medvedev sebenarnya secara tidak langsung dikendalikan oleh Putin.

Pada saat naik ke kursi kepresidenan untuk kedua kalinya pada 2012, Putin kembali memainkan playbook para pemimpin Soviet lama namun dengan lebih serius. Salah satu cara yang Putin mainkan adalah dengan mengeliminasi rival-rival Putin, seperti Alexei Navalny yang diracuni oleh para agen-agen yang diduga kuat adalah orang suruhan Putin.

Cara lain yang dimainkan Putin adalah mempertahankan pengaruh Russia di negara-negara pecahan Uni Soviet, salah satu negara yang Putin ingin supaya menjadi terus dekat dan berada di bawah pengaruh Russia tidak lain adalah Ukraine. 

Ukraine dianggap memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kepentingan Russia, baik dari segi perekonomian dan juga sejarah hubungan Russia dan Ukraine yang sudah terjalin lama, maka dari itu rezim Putin terus berusaha keras untuk mempertahankan Ukraine agar terus berada di bawah pengaruh Russia. Tidak hanya Ukraine, namun negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya, seperti Georgia yang pada tahun 2008 juga diinvasi oleh Russia akibat perebutan wilayah di South Ossetia dan Abkhazia. Hal ini memang Putin lakukan agar kejayaan Russia tidak lah meredup dan Russia terus berjaya layaknya Uni Soviet.

Memang bisa dikatakan jika Putin memang masih belum bisa lepas dari bayang-bayang kejayaan Russia di era Uni Soviet. Putin sepertinya akan terus menggunakan segala cara guna mengembalikan kejayaan Russia layaknya Uni Soviet di era perang dingin, di mana banyak asumsi jika kejayaan Russia sudah mulai memudar kala Uni Soviet runtuh di tahun 1991 dan Putin juga akan terus mempertahankan kejayaan tersebut.

Tumbangnya Rezim Viktor Yanukovych dan awal dari Konlik Ukraine

Presiden Ukraine Viktor Yanukovych | Sumber Gambar: belsat.eu
Presiden Ukraine Viktor Yanukovych | Sumber Gambar: belsat.eu

Pada Bulan Januari tahun 2010, Viktor Yanukovych, yang merupakan mantan Perdana Menteri Ukraine berhasil memenangkan pemilihan umum Presiden Ukraine. Pada Pemilu Presiden Ukraine tahun 2010, Yanukovych mengalahkan Yulia Tymoshenko yang merupakan Perdana Menteri Ukraine pada waktu itu.

Terpilihnya Yanukovych sebagai Presiden Ukraine membawa angin segar bagi para politikus-politikus di Kremlin, Moscow, karena pada akhirnya mereka mendapatkan sekutu terdekat mereka menduduki kursi orang nomor satu di Ukraine. Dengan terpilihnya Yanukovych sebagai Presiden dapat dipastikan kebijakan-kebijakannya sebagai Presiden akan sangat membawa keuntungan bagi Russia dan sekutu-sekutunya. 

Yanukovych memang sempat menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Kepala Pemerintah Commonwealth of Independent States, yang merupakan Persemakmuran Negara-Negara pecahan dari Uni Soviet. Ukraine secara notabene memang bukan anggota dari Commonwealth of Independent States, tetapi ikut berpartisipasi dalam kegiatan Commonwealth of Independent States dan juga turut berpatisipasi dalam pendiriannya. Namun pada tahun 2018 mengakhiri partisipasinya di Commonwealth of Independent States pasca perang di Donbass dan ketegangan hubungan Ukraine dan Russia yang kian memanas.

Namun sayangnya masyarakat Ukraine sepertinya tidak memandang positif pemerintahan kepresidenan Viktor Yanukovych, hal ini disebabkan karena Yanukovych sepertinya terlihat seperti seorang “puppet” atau boneka Russia. Tidak hanya itu saja, pada masa pemerintahan Yanukovych sebagai Presiden Ukraine, Korupsi dan Nepotisme sepertinya kian merajalela di pemerintahan Ukraine. Yanukovych diyakini terus memperkaya diri sendiri selama masa jabatannya sebagai Presiden Ukraine, Yanukovych bahkan menggelontorkan dana besar-besaran hanya untuk membangun kediamannya di daerah Mezhyhirya yang dikenal sebagai Mezhyhirya Residence. 

Yanukovych juga dipercaya telah merubah Perekonomian Ukraine seperti menjadi rekening pribadi Yanukovych sendiri. Yanukovych juga menolak Ukraine untuk bergabung dengan European Trade Deal dengan alasan agar Ukraine dapat lebih mandiri dalam segi perdagangan Internasional. Tetapi banyak yang menilai jika keputusan Yanukovych menolak Ukraine untuk bergabung dengan European Trade Deal ini hanyalah dalih Yanukovych guna menguntungkan dirinya sendiri dan juga  kroni-kroni Yanukovych sendiri.

Demo masa yang menolak Presiden Viktor Yanukovych ketika menduduki kediaman Yanukovych | Sumber Gambar: edu.com
Demo masa yang menolak Presiden Viktor Yanukovych ketika menduduki kediaman Yanukovych | Sumber Gambar: edu.com

Puncak kemarahan rakyat Ukraine kepada pemerintahan Viktor Yanukovych pun terjadi pada akhir tahun 2013 dan awal tahun 2014, di mana rakyat Ukraine berdemo secara besar-besaran menuntut agar Yanukovych diturunkan dari kursi Kepresidenan Ukraine. Unjuk rasa besar-besaran pun terjadi pada awal tahun 2014 dan mencapai puncaknya pada 18 February 2014 atau yang dikenal dengan Revolution of Dignity. Pengunjuk rasa juga berhasil menduduki beberapa gedung pemerintahan dan juga gedung parliament Ukraine.

Melihat amukan masa yang semakin tidak dapat dibendung, parliament Ukraine pun pada akhirnya memvoting untuk mencopot Viktor Yanukovych dari kursi Kepresidenan Ukraine dan mengakhiri rezim Viktor Yanukovych. Yanukovych yang sudah lengser dari Kursi kepresidenan pun pada akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari Ukraine dengan bantuan Russia yang mengirim pasukan khusus mereka, Spetsnaz, untuk mengamankan kepergian Yanukovych dari Ibukota Ukraine, Kiev menuju Ibukota Russia, Moscow.

Namun sayangnya, tumbangnya rezim Yanukovych bukanlah kabar yang baik bagi pemerintahan Moscow terutama Presiden Russia Vladimir Putin, karena salah satu sekutu terdekat mereka sekarang sudah lengser dari kursi Kepresidenan Ukraine dan rakyat Ukraine lebih memilih untuk dipimpin oleh Presiden yang tidak tunduk kepada Putin. 

Tumbangnya rezim Yanukovych inilah yang menjadi awal mula dari konflik yang berkepanjangan di Ukraine, karena di sisi lain pendukung Yanukovych dan juga penduduk Ukraine yang memilih agar Ukraine lebih dekat dengan Russia bahkan bergabung dengan Russia sekalipun ternyata masih banyak. Putin pun mulai menggunakan segala cara agar Russia tidak kehilangan pengaruhnya di Ukraine, terlebih lagi agar Russia tidak kehilangan pengaruh atas beberapa wilayah di Ukraine yang dianggap memiliki kepentingan bagi Russia, salah satunya adalah Peninsula Crimea.

Maka dari itu setelah rezim Yanukovych tumbang, Putin mulai menyokong beberapa gerakan-gerakan Militan yang pro-Russia dan memihak kepada kubu Russia seperti “Stronghold” yang berbasis di Kharkiv dan merupakan lawan utama dari Militan “Right Sector” yang merupakan militan anti kubu Rusia. 

Selain itu, Putin juga mendukung gerakan-gerakan militan seperatis di daerah Donetsk dan Luhansk. Tidak hanya itu saja, Putin pun juga berusaha untuk melakukan aneksasi wilayah Crimean Peninsula dan menggabungkannya menjadi bagian dari Russia dengan menyerbu wilayah tersebut pada tahun 2014 guna menganeksasinya dengan Russia. Sejak saat inilah konflik berkepanjangan di Ukraine terus berkecamuk hingga pada puncaknya pada 24 Februari 2022, di mana Russia pada akhirnya melancarkan invasi ke Ukraine.

Keinginan Rakyat Ukraine untuk menjadi lebih Demokrasi

Demo besar-besaran Rakyat Ukraine di Kota Kiev, Ukraine | Sumber Gambar: Associated Press
Demo besar-besaran Rakyat Ukraine di Kota Kiev, Ukraine | Sumber Gambar: Associated Press

Tumbangnya Viktor Yanukovych dari kursi Kepresidenan Ukraine di sisi lain membawa dampak tersendiri bagi rakyat Ukraine. Rakyat Ukraine melihat pemerintahan Yanukovych yang berada di bawah bayang-bayang Russia dan rezim Vladimir Putin, sepertinya dinilai tidak demokratis dan sangat tidak memihak kepada rakyat Ukraine. Pemerintahan Yanukovych dinilai lebih seperti pemerintahan Oligarki yang hanya menguntungkan beberapa pihak dan elit tertentu.

Maka setelah runtuhnya rezim Viktor Yanukovych, banyak dari rakyat Ukraine yang menginginkan agar Ukraine menjadi lebih demokrasi dan terjauh dari politik yang dianggap tidak memihak rakyat seperti sistem pemerintahan oligarki. 

Tetapi di sisi lain langkah ini tidak terdengar bagus oleh pihak Russia dan juga Presiden Putin. Putin menganggap langkah ini justru akan membuat Ukraine menjadi condong dekat dengan negara-negara Barat. Karena menurut Putin, sistem demokrasi yang dimaksud justru lebih memperdekatkan Ukraine dengan negara-negara Barat dan menjauhkannya dari Russia dan negara-negara sekutu Russia.

Hal ini dapat dilihat dengan keinginan Ukraine untuk bergabung dengan organisasi-organisasi negara-negara barat seperti Uni Eropa, European Economic Community dan juga North Atlantic Treaty Organization (N.A.T.O.) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara, di mana langkah untuk Ukraine bergabung dengan N.A.T.O. sangatlah ditentang oleh Putin dan jika hal ini terjadi maka Russia dan juga Putin akan kehilangan pengaruhnya di Ukraine.

Politik Air Hangat Russia 

Kapal-Kapal Russia yang terjebak oleh lautan yang membeku | Sumber Gambar: Getty Image
Kapal-Kapal Russia yang terjebak oleh lautan yang membeku | Sumber Gambar: Getty Image

Jika kita lihat di peta dunia, Rusia secara geografis terletak di daerah dengan iklim dingin. Russia memang memiliki garis pantai yang panjang, namun seluruh garis pantai Russia sebagian besar terletak di belahan bumi utara. Garis pantai ini juga tergolong tidak efektif dikarenakan lokasinya yang jauh dan karena tingkat kedinginan yang tiggi maka hampir setiap enam bulan sekali perairan di garis pantai tersebut selalu membeku sehingga sangatlah tidak bagus untuk menjadi lokasi pelabuhan, terutama untuk pelabuhan perdagangan.

Akibatnya beberapa pelabuhan-pelabuhan di Russia tidak dapat beroperasi ketika musim dingin, akibat dari musim dingin yang sangat ekstrim yang dapat membekukan perairan di daerah pelabuhan-pelabuhan Russia. Tidak hanya membekukan perairan, namun kapal-kapal yang sedang berlayar di daerah dengan iklim dingin yang sangat ekstrim tersebut juga dapat terperangkap oleh air yang sudah membeku ketika musim dingin tiba. 

Russia hanya memiliki satu pelabuhan yang memungkinkan untuk digunakan ketika musim dingin, yaitu pelabuhan yang terletak di Kota Vladivostok yang dapat dioperasikan ketika musim dingin. Hal ini lah yang menyebabkan Russia sangat membutuhkan pelabuhan yang dapat digunakan ketika musim dingin sedang melanda sebagian besar wilayah Russia. Maka dari itu, Russia terus gencar dalam mengejar kebijakan guna mencari pelabuhan yang dapat dioperasikan pada saat musim dingin, oleh apa yang dulu dikenal sebagai “Politik Air Hangat.”

Peta Peninsula Crimea | Sumber Gambar: worldatlas.com
Peta Peninsula Crimea | Sumber Gambar: worldatlas.com

Namun di sisi lain, Crimean Peninsula di Ukraine yang menjadi wilayah perebutan antara Ukraine dan Russia, secara geografis memang terletak langsung di “Black Sea” atau Laut Hitam yang mana memiliki iklim yang lebih hangat dan tidak terdampak perairannya ketika musim dingin. 

Black Sea juga memiliki akses perairan yang strategis, di mana kapal dari Black Sea yang akan berlayar menuju lautan Atlantik, kapal dapat melewati Istanbul, Turkey yang nantinya akan tembus ke perairan Aegean dan juga perairan Mediterranean yang mana memiliki akses langsung menuju lautan Atlantik. 

Sedangkan untuk kapal dari Black Sea yang akan berlayar menuju Samudera Hindia, dari perairan Mediterranean kapal dapat melewati Kanal Suez yang nantinya akan menuntun pada “Red Sea” atau Laut Merah dan menuju Teluk Aden yang nantinya memberi akses menuju Lautan Arabia hingga akhirnya menuju Samudera Hindia yang juga memberi akses menuju Lautan Pasifik.

Pelabuhan Sevastopol di kota Sevastopol yang terletak di Peninsula Crimea | Sumber Gambar: quora.com
Pelabuhan Sevastopol di kota Sevastopol yang terletak di Peninsula Crimea | Sumber Gambar: quora.com

Salah satu Pelabuhan di Crimean Peninsula yang sangat terkenal ini adalah Pelabuhan di kota Sevastopol yang mana terletak langsung di Black Sea. Pelabuhan Sevastopol inilah yang menjadi pelabuhan yang sangat diincar oleh Russia, karena dapat digunakan ketika musim dingin tiba dan dalam rangka ekspansi pelabuhan Russia pada politik air hangat ini. 

Untuk itulah sebabnya jika Russia sangat menginginkan agar Crimean Peninsula dapat dianeksasi dengan Russia, karena dengan menganeksasi Crimean Peninsula maka secara otomatis Pelabuhan Sevastopol dapat jatuh ke jursidiksi Russia yang mana dapat digunakan untuk kepentingan pelayaran kapal-kapal Russia ketika musim dingin tiba, terutama kapal-kapal dari Angkatan Laut Russia. 

Apalagi melihat akses perairan yang dimiliki oleh Pelabuhan Sevastopol yang dapat digunakan oleh kapal-kapal Russia ketika musim dingin tiba dan juga iklim di Crimean Peninsula yang lebih hangat dan tidak terdampak ketika musim dingin tiba.

Polemik Bergabungnya Ukraine dengan N.A.T.O.

Presiden Ukraine Petro Poroshenko bersama Sekjen N.A.T.O. Jens Stoltenberg | Sumber Gambar: nato.int
Presiden Ukraine Petro Poroshenko bersama Sekjen N.A.T.O. Jens Stoltenberg | Sumber Gambar: nato.int

Salah satu alasan utama Russia menyerbu Ukraine adalah ketidakinginan Russia agar Ukraine bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (N.A.T.O.) dan menjadi keanggotaan N.A.T.O.

Seperti diketahui jika N.A.T.O. yang didirikan pada 4 April 1949, merupakan suatu organisasi yang didirikan oleh Amerika Serikat serta sekutu-sekutunya di Eropa Barat guna membendung ancaman dari Uni Soviet dan negara-negara sekutunya dan juga memberi perlindungan dan pertahanan kepada negara-negara Eropa Barat dari ancaman Uni Soviet dan juga negara-negara sekutunya. 

N.A.T.O. memang kebanyakan beranggotakan antara lain Amerika Serikat dan negara-negara sekutu Amerika Serikat, seperti Inggris, Perancis, Canada, Italia dll. Pada tahun 1955 Jerman Barat secara resmi bergabung dengan N.A.T.O. dan Uni Soviet beserta negara sekutu-sekutunya seperti Czechoslovakia, Romania, Jerman Timur dll pun pada akhirnya juga ikut mendirikan organisasi pakta pertahanan yang juga merupakan saingan N.A.T.O., yaitu Warsaw Treaty Organization atau yang biasa dikenal dengan Warsaw Pact atau Pakta Warsawa. Namun setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Pakta Warsawa pun juga ikut dibubarkan.

Setelah runtuhnya Uni Soviet dan bubarnya Pakta Warsawa inilah negara-negara yang dahulunya bagian dari Uni Soviet dan juga negara-negara sekutu Uni Soviet yang juga merupakan anggota Warsaw Pact pada akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan N.A.T.O. 

Bahkan bisa dikatakan seluruh negara mantan anggota Warsaw Pact sekarang bergabung dengan aliansi N.A.T.O., seperti Rumania, Albania, Bulgaria, Republik Ceko, Slovakia, Hungary dan Polandia. Sebenarnya alasan terkuat mereka bergabung dengan N.A.T.O. adalah dalam rangka mengekspansi pertahanan mereka dari ancaman-ancaman mendatang. Negara-negara tersebut lebih memilih untuk bergabung dengan N.A.T.O. daripada mengeluarkan dana yang lebih besar untuk membeli alutista, jika sewaktu-waktu negara mereka dalam bahaya karena serangan dari negara lain, maka para negara-negara aliansi N.A.T.O. akan turut serta membantu mereka sesama anggota N.A.T.O. dari ancaman tersebut.

Menhan AS Donald Rumsfeld dan Menhan Ukraine Anatoliy Gritsenko dan Sekjen N.A.T.O. Scheffer di Konfrensi N.A.T.O. - Ukraine | Sumber Gambar: nato.int
Menhan AS Donald Rumsfeld dan Menhan Ukraine Anatoliy Gritsenko dan Sekjen N.A.T.O. Scheffer di Konfrensi N.A.T.O. - Ukraine | Sumber Gambar: nato.int

Ukraine juga menjadi salah satu negara pecahan dari Uni Soviet yang berkeinginan untuk bergabung dengan N.A.T.O. Sejak tahun 1992 Ukraine memang sudah menjalin hubungan kerjasama dengan N.A.T.O. dan pada tahun 2008 Ukraine mulai mengajukan untuk keanggotan N.A.T.O. Namun sayang sepertinya keinginan Ukraine untuk bergabung dengan N.A.T.O. itu tidak disambut dengan baik oleh Russia. Russia melihat bergabungnya Ukraine dengan N.A.T.O. menjadi sebuah ancaman yang dapat memudarkan kejayaan Russia. 

Hal ini dikarenakan Putin melihat jika satu persatu negara pecahan Uni Soviet bergabung dengan N.A.T.O. maka itu adalah tanda jika Russia sudah tidak berjaya lagi seperti pada masa Uni Soviet, apalagi semua negara bekas anggota Warsaw Pact sudah bergabung semua dengan N.A.T.O. dan juga melihat banyaknya kepentingan Russia di Ukraine. Russia juga sepertinya tidak ingin Ukraine dijadikan basis bagi pasukan-pasukan negara-negara aliansi N.A.T.O., yang mana sebagian besar dulu adalah musuh-musuh utama Uni Soviet. Maka dari itu Russia terus mencoba segala cara agar Ukraine tidak bergabung dengan N.A.T.O.

Pada masa kepresidenan Viktor Yanukovych yang merupakan sekutu terdekat Russia dan Putin, Yanukovych sepertinya juga tidak menseriuskan keinginan Ukraine untuk bergabung dengan N.A.T.O. Yanukovych yang kemungkinan besar atas perintah dari Putin juga terus berusaha agar Ukraine semakin menjauh dari hubungannya dengan N.A.T.O. Yanukovych bahkan juga mengatakan bahwa Ukraine adalah negara Eropa yang non-blok dan tidak memihak sana sini, walaupun memang pada masa pemerintahan Yanukovych, Ukraine memang lebih condong dekat dengan Russia.

Presiden Ukraine Volodymyr Zelenskyy dan Sekjen N.A.T.O. Jens Stoltenberg pada saat Konferensi N.A.T.O. - Ukraine | Sumber Gamber: nato.int
Presiden Ukraine Volodymyr Zelenskyy dan Sekjen N.A.T.O. Jens Stoltenberg pada saat Konferensi N.A.T.O. - Ukraine | Sumber Gamber: nato.int

Setelah Yanukovych lengser dari kursi kepresidenan Ukraine, Presiden Ukraine yang menggantikan Yanukovych, yaitu Petro Poroshenko justru mengembalikan keinginan agar Ukraine bergabung N.A.T.O. Poroshenko menekankan akan pentingnya aliansi dengan N.A.T.O. guna mengamankan kedaulatan Ukraine jika terjadi ancaman yang lebih besar dari negara-negara lainnya, terutama ancaman dari Russia. 

Pada tahun terakhir kepresidenan Petro Poroshenko di tahun 2019, parliament Ukraine mengadakan voting dengan hasil 334 dari 385 yang menyetujui untuk Ukraine bergabung dengan N.A.T.O. Setelah naiknya Volodymyr Zelensky ke kursi kepresidenan Ukraine pada tahun 20 Mei 2019, Zelensky juga terus menggenjot agar Ukraine bergabung dengan N.A.T.O.

Tetapi sayangnya Russia terus mengupayakan segala cara agar Ukraine tidak bergabung dengan N.A.T.O. hingga pada akhirnya pada 24 Februari 2022, Russia melancarkan serangannya terhadap Ukraine. Tetapi invasi Russia terhadap Ukraine ini justru semakin menguatkan niat Ukraine untuk bergabung dengan N.A.T.O. dan juga Uni Eropa.

Sumber daya alam Ukraine dan Jalur Pipa Gas Russia 

Petugas Pipa Gas di salah satu Pipa Gas Ukraine | Sumber Gamber: cfr.org
Petugas Pipa Gas di salah satu Pipa Gas Ukraine | Sumber Gamber: cfr.org

Ukraine di sisi lain juga merupakan salah satu negara dengan sumber daya alam terbanyak di Eropa. Cadangan gas alam yang dimiliki Ukraine merupakan yang terbesar kedua di Eropa setelah Norwegia, sebesar 1,09 triliun meter kubik dan di sisi lain masih banyak pula cadangan energi melimpah di Ukraine yang belum tereksplorasi. Cadangan sumber daya alam di Ukraine yang melimpah inilah yang kemungkinan besar juga menjadi alasan utama mengapa Russia ingin terus mempertahankan Ukraine agar menjadi sekutu terdekatnya.

Terlebih lagi beberapa wilayah di Ukraine juga direncanakan akan digunakan Russia guna membangun pipa gas raksasa yang menghubungkan Russia dengan beberapa negara di Eropa seperti Jerman dan Finlandia.  Russia memang sudah memiliki pipa gas yang menghubungkannya dengan Jerman yaitu pipa gas Nord Stream yang dibangun di dasar laut Baltic. Namun Russia juga terus mengupayakan agar dapat membangun pipa gas raksasa agar bisa terhubung dengan beberapa negara-negara di Eropa Barat melalui Ukraine. Namun hal tersebut masih belum mendapat persetujuan antara pihak Russia dan Ukraine dan hingga hari ini pembangunan pipa gas Russia di Ukraine tersebut masih menjadi dispute.

Akankah Krisis Ukraine Berimbas pada Perang Dunia Ketiga?

Jerman ketika menginvasi Polandia, terlihat pesawat Luftwaffe membombardir Kota Warsawa | Sumber Gambar: tvpworld.com
Jerman ketika menginvasi Polandia, terlihat pesawat Luftwaffe membombardir Kota Warsawa | Sumber Gambar: tvpworld.com

Publik mungkin masih teringat akan imbas dari invasi Nazi Jerman terhadap Polandia pada 1 September 1939 yang pada akhirnya menuntun dunia pada Perang Dunia untuk kedua kalinya dan juga merupakan bagian dari babak awal dari Perang Dunia Kedua. Lantas tidak lah heran jika pada saat Russia mulai menginvasi Ukraine pada 24 February 2022, tagar World War III atau Perang Dunia Ketiga seakan menggema di media sosial. Bahkan invasi Russia terhadap Ukraine diiringi dengan desas desus jika China juga akan turut menginvasi Taiwan, serentak tagar World War III dan isu akan dimulainya Perang Dunia Ketiga pun menjadi trendic topic nomor satu di Media Sosial.  

Namun perlu diketahui, bahwa baik Russia maupun China memiliki tujuan yang berbeda dengan Jerman dan Jepang ketika Perang Dunia Kedua.

Pada waktu Perang Dunia Kedua, Jerman yang pada waktu itu sedang berada di bawah kekuasaan Hitler dan Partai Nazi atau yang lebih dikenal dengan “German Reich” memiliki tujuan utama untuk menguasai sebagian besar belahan bumi Eropa. Hal ini merupakan tujuan utama dari Hitler agar Jerman dapat menguasai seluruh negara-negara di Eropa dan untuk selanjutnya melancarkan invasi menuju benua Amerika dan juga benua Afrika, guna melancarkan ambisinya agar Jerman menjadi penguasa dunia.

Jepang pun sama halnya dengan Jerman pada saat perang dunia kedua. Jepang juga memiliki tujuan utama untuk menguasai hampir seluruh belahan bumi asia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Hideki Tojo. Ambisi Jepang untuk menguasai seluruh benua asia juga tidak lain karena kekurangannya Jepang akan sumber daya alam. Perlu diketahui sebelum Perang Dunia Kedua import minyak Jepang sangatlah bergantung dengan Amerika Serikat. 

Pada 7 July 1937, Jepang memulai invasinya terhadap China atau yang dikenal sebagai Second Sino-Japanese War dan pada 22 September 1940, Jepang memulai invasi terhadap French Indochina yang hari ini merupakan bagian dari Vietnam, Kamboja dan Laos. 

Invasi Jepang terhadap French Indochina inilah yang membuat Amerika Serikat semakin berang terhadap Jepang hingga pada akhirnya memutuskan untuk melakukan Embargo terhadap Jepang, termasuk import minya Jepang. Jepang pun pada akhirnya membalasnya dengan menyerbu Pearl Harbor dan juga Philippines pada Desember 1941 dan juga menjadi langkah awal Jepang untuk melakukan invasi terhadap Amerika Serikat dan juga melancarkan ambisi Kerajaan Jepang untuk menjadi penguasa dunia.

Pada saat Perang Dunia Kedua, Jepang, Jerman dan Italia pun membentuk poros atau yang dikenal sebagai “Axis Power” dan lawan dari Axis Power tidak lain adalah “Allied Power” yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara sekutu mereka lainnya seperti Russia dan China.

Tetapi kembali ke konflik Ukraine, dalam hal ini tujuan utama dari Russia tidak lain hanyalah untuk menguasai Ukraine semata, dikarenakan Russia yang memiliki kepentingan besar untuk menguasai Ukraine. Pada sisi lain Russia tidak memiliki minat untuk menguasai negara-negara Eropa lainnya dan tidak ada indikasi akan melancarkan serangan ke negara lainnya setelah invasinya terhadap Ukraine. Tujuan utama Russia dalam menginvasi Ukraine hanya untuk mengkokohkan pengaruhnya di Ukraine.

Sama halnya dengan China. Seperti diketahui setelah kubu Komunis di bawah kepemimpinan Mao Zedong berhasil menguasai mainland China dan memproklamasikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober 1949, kubu nasionalis di bawah kepemimpinan Jenderal Chiang Kai-Shek pada akhirnya melarikan diri ke Pulau Formosa dan mendirikan Republik China atau yang biasa dikenal sebagai Taiwan. 

Konflik antara RRC dan Taiwan terus berlanjut dari tahun 1949 hingga hari ini, hal ini disebabkan oleh ambisi kedua negara baik RRC maupun Taiwan untuk menyatukan China di bawah pengaruh masing-masing. Taiwan ingin menyatukan China di bawah pengaruh pemerintahan Demokrasi mereka, sedangkan RRC ingin menyatukan China di bawah pengaruh pemerintahan Komunis mereka.

Kebijakan inilah yang juga disebut sebagai “One China Policy.” Namun RRC tidak memiliki ambisi lain selain mencaplok kembali Pulau Formosa dan menyatukan China. RRC tidak ada ambisi untuk menguasai negara-negara lain di Asia dan tidak ada indikasi untuk melancarkan aksi ke negara lainnya.

Pada sisi lainnya, ketika masa-masa awal dari Perang Dunia Kedua dan juga sebelum Perang Dunia Kedua, penjajahan dan kolonialisme masih banyak terjadi. Seperti diketahui beberapa Negara baik di benua Asia maupun benua Eropa masih berada di bawah jajahan negara-negara seperti negara Eropa, seperti contoh Malaya masih berada di bawah jajahan Inggris, Indonesia masih berada di bawah jajahan Inggris, Kongo masih berada di bawah jajahan belgia dan masih banyak lagi. Hal ini lah yang sebenarnya juga memicu ambisi negara-negara lainnya untuk mengekspansi wilayah jajahannya dan bisa disebut sebagai penyebab utama dari Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua.

Maka dari itu dapat dikatakan kecil kemungkinan jika invasi di Ukraine ini nantinya akan memicu Perang Dunia Ketiga, karena dapat dikatakan jika Russia tidak memiliki ambisi untuk mengokupasi negara-negara lainnya selain Ukraine, juga sama halnya dengan RRC.

Konklusi

Tentara Ukraina setelah pertempuran dengan tentara Russia di ibukota Ukraine, Kiev, pada 26 Februari 2022 | Sumber Gambar: pionline.com
Tentara Ukraina setelah pertempuran dengan tentara Russia di ibukota Ukraine, Kiev, pada 26 Februari 2022 | Sumber Gambar: pionline.com

Konflik di Ukraine memang masih berjalan hingga hari ini pada 11 Maret, 2022 dan sampai sekarang memang masih belum ada titik terang dari permasalahan ini. Hal ini disebabkan karena Russia masih terus gencar untuk dapat kembali menguasai Ukraine.

Russia memang kehilangan pengaruhnya yang sangat besar di Ukraine setelah Presiden Ukraine Viktor Yanukovych yang merupakan sekutu terdekat dan terkuat Russia lengser dari Kursi Kepresidenan Ukraine pada awal tahun 2014.

Russia di bawah rezim Vladimir Putin terus berusaha sebisa mungkin untuk mengembalikan Ukraine kepada pengaruh Russia. Misi utama Vladimir Putin tidak lain adalah menempatkan kembali Presiden puppet atau boneka yang dapat tunduk kepada kebijakan-kebijakan Russia di bawah rezim Vladimir Putin dan menggulingkan Presiden Volodymyr Zelenskyy dari kursi Kepresidenan Ukraine. Bahkan mungkin menempatkan kembali Viktor Yanukovych sebagai Presiden Ukraine.

Selain itu Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat lainnya juga terus berupaya untuk menghentikan Konflik di Ukraine ini dan membendung niat Russia untuk kembali menguasai Ukraine. Sanksi demi sanksi baik dari segi perekonomian maupun perdagangan terus dijatuhkan terhadap Russia agar Russia mau segera menghentikan invasinya terhadap Ukraine dan memberi kebebasan kepada rakyat Ukraine untuk menentukan nasib negara mereka sendiri tanpa campur tangan dari Russia.

Hal ini dikarenakan, karena menurut mereka rakyat Ukraine sudah memilih agar menjadi lebih demokrasi dan tidak ingin terus berada di bawah pengaruh Russia, apalagi terus dibayangi oleh bayangan ketika Ukraine masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Itulah sebabnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat lainnya mendukung kuat rencana Ukraine untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (N.A.T.O.) dan juga Uni Eropa. Namun sayangnya baru-baru ini Ukraine harus mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan N.A.T.O. guna menempuh dialog gencatan senjata dan perdamaiian dengan Russia.

Lantas bagaimanakah krisis Ukraine ini akan berakhir? Akankah Russia melakukan genjatan senjata dan menghentikan invasinya dan juga membuka dialog perdamaiian dengan Ukraine? Apakah Russia di bawah rezim Vladimir Putin akan terus melancarkan niatnya guna mennggulingkan Presiden Volodymyr Zelenskyy dari kursi Kepresidenan Ukraine dan menempatkan Presiden yang lebih tunduk kepada rezim Putin di Kursi Kepresidenan Ukraine atau bahkan menempatkan kembali Viktor Yanukovych sebagai Presiden Ukraine? Apakah Russia akan terus melancarkan invasinya terhadap Ukraine walaupun perekonomiannya semakin terbebani oleh sanksi-sanksi yang yang terus dijatuhkan oleh negara-negara lain?

Mari kita simak kembali bagaimana kelanjutan dari konflik di Ukraine ini, di mana banyak khalayak baik di Russia sekalipun yang terus mendesak agar Russia menghentikan konflik ini sesegera mungkin.

Perlu dicatat hingga Hari ini, 11 Maret 2022, Krisis Ukraine telah memakan korban jiwa hingga 549 nyawa atau lebih.

Sumber:

piononline

nato

cnn

history

air university

smithsonianmag

businesstoday

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun