Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Iblis, Pencetus Fenomena Fiktif Pertama

27 Januari 2020   05:00 Diperbarui: 27 Januari 2020   05:19 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (pixabay/enriquelopezgarre) 

Fiktif dapat diartikan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Atau segala sesuatu yang dibuat-buat dan atau dikarang untuk mengingkari fakta sebenarnya. 

Contohnya kasus keuangan Garuda Indonesia. Ketika maskapai dalam keadaan rugi, dan itu dipandang buruk, maka harus dicari cara untuk menjaga kepercayaan pihak lain. Maka dibuatlah laporan fiktif untuk mengingkari kenyataan sebenarnya. Seketika defisit berubah menjadi laba. Begitulah cara seseorang atau sekelompok orang untuk mengingkari kenyataan sebenarnya.

Selain laporan keuangan fiktif Garuda, kita juga sering mendengar cerita fiktif-fiktif yang lain. Ada desa fiktif, perusahaan fiktif, kredit fiktif, nilai fiktif dan yang terheboh adalah munculnya kerajaan-kerajaan fiktif di beberapa daerah. 

Kita boleh heboh, namun sepatutnya kita tak perlu terlalu heboh. Sebab yang namanya fiktif itu akan selalu berdampingan dengan fakta. Fiktif adalah kebohongan, dan lawan abadinya adalah kejujuran. Sampai kiamat mungkin keduanya terus berdampingan. 

Fiktif sendiri sudah ada sejak era lampau. Awal mula kehidupan nenek moyang manusia, iblis mengarang cerita fiktif demi menyesatkan nabi Adam AS. Mengatasnamakan Tuhan, Iblis menyatakan tak mengapa Adam AS mendekati dan memakan buah dari pohon larangan. Dalih iblis,  Tuhan tidak ingin dan tidak suka Adam menjadi malaikat sehingga  hidup kekal di surga. Nabi Adam AS tergoda dengan cerita fiktif tersebut.  Dia melanggar larangan dan memakan buah quldi. Tuhan akhirnya menjatuhkan sanksi dan mengirim nabi Adam AS ke bumi.  

Dari penggalan kisah di atas, dapat dikatakan, iblis adalah pencetus tabiat  fiktif pertama di alam semesta. Keahlian iblis membuat cerita fiktif diadopsi dengan baik oleh manusia di semua jaman. Pada era para nabi, rasa iri dan dengki memaksa sekelompok orang untuk mengarang kisah fiktif. Hal itu terjadi pada nabi Yusuf AS. Merasa cemburu ayah mereka lebih perhatian pada Yusuf, saudara-saudaranya lalu bersekongkol untuk membuang Yusuf ke dalam sumur, lalu membuat pengakuan fiktif pada ayah mereka, Yaqub AS, kalau Yusuf di makan srigalaa saat mereka sedang bermain.

Begitu juga di era abad pertengahan hingga di abad modern seperti sekarang. Segala kisah yang berbau fiktif sangat gampang ditemukan. Katakanlan soal Socrates yang dituduh memperkenalkan dewa-dewa baru pada kaum muda Athena. Tuduhan itu sangatlah fiktif karena tak bisa membuktikan Dewa seperti apa yang diperkenakan Socrates. Namun tuduhan fiktif itu sukses. Socrates meregang nyawa setelah menegak racun yang disiapkan dalam persidangan.

Begitu juga tentang senjata pemusnah massal yang diproduksi Irak. Tak pernah dinyatakan ada setelah Irak hancur lebur. AS merekayasa laporan fiktifnya sedemikian rupa sehingga orang-orang cerdas di PBB sana menjadi terlihat bodoh dan menelan saja semua data yang dipenuhi kebohongan.

Umumnya pihak yang membuat sesuatu menjadi fiktif itu adalah orang atau kelompok yang cerdas. Mereka berusaha mengelabui fakta yang ada dengan dalih tertentu. Menjaga kepercayaan investor dan menjaga kedudukan, itulah yang dilakoni petingi Garuda. Menghilangkan ancaman dan mengenyahkan musuh, menjadi dalih utama AS sebelum menyerang Irak. Dan menjaga pengaruh dikalangan kaum muda Athena,  menjadi alasan utama sekelompok filsuf untuk memulangkan Socrates ke keabadian.  

Dalam kasus munculnya kerajaan-kerajaan baru, saya tidak melihat alasan-alasan di atas untuk membenarkan ulah mereka. Motif ekonomi mungkin ada di sebuah kasus, namun tak sepenuhnya terkuak dikasus yang lain. Faktanya ada juga pencetus kerajaan baru tersebut secara ekonomi berkecukupan. Apakah mereka kelompok yang frustasi? Sepertinya juga tidak. Orang atau kelompok frustasi umumnya berperilaku anarkis sebagai pelampiasan. Sedangkan kerajaan-kerajaan baru tadi tidak meresahkan masyarakat secara langsung. Malah keberadaan  mereka selama ini konon sudah diketahui oleh pejabat setempat.

Saya cenderung menganggap mereka adalah pihak yang anti kemapanan. Anti realitas. Anti keadaan sekitar yang dipandang makin bobrok. Anti aturan yang dibuar bersama. Mereka ingin menciptakan dunia baru, dunia yang berbeda dari apa yang mereka lihat dan mereka rasakan. Dunia yang tidak sama persis dengan kita. Sebuah dunia atau peradaban yang sangat ideal di kepala mereka adalah ketika dunia itu mereka sendiri yang menentukan coraknya. Dunia fiktif. Dunia yang memberontak dan mengingkari fakta.

Membuat dunia baru memang tidak sulit. Cukup bermodalkan sedikit kecerdasan, sejumput kekayaan, ketampanan, ketokohan yang lumayan mengakar dan kemampuan berdiplomasi yang baik, mereka akhirnya sukses mengelabui pihak lain yang juga sama-sama berjiwa pemberontak, dalam artian  memberontak terhadap kenyataan. Bukankah fiktif adalah lawan dari fakta yang sebenarnya?

Dari sejak iblis menjerumuskan Adam AS, fiktif dan fakta sudah ditakdirkan berdampingan. Jadi jangan pernah berharap semua hal berbau  fiktif akan berahir dalam sekejap. Usianya sama tua dengan perjalanan  iblis yang diakui faktanya ada oleh semua agama. Selama iblis selaku pelopor cerita fiktif belum juga mengibarkan bendera putih, pertempuran antara fiktif dan fakta akan terus berlangsung. Tinggal seseorang akan memposisikan diri di sebelah mana. Silahkan saja. Asal jangan di sebelah istri saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun