Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hakim Mahkamah Konstitusi Kayaknya Wajib Poligami?

11 Juli 2019   16:18 Diperbarui: 11 Juli 2019   16:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ngomongin poligami? Sekedar pengen tahu atau niat jadi pelaku? Ya sudah. Itu pilihan relatif anda selaku mahluk dewasa. Relatif mendukung dan relatif menolak. Dua-duanya benar menurut ukuran manusia. Tuhan tidak akan ikut campur atau turun ke bumi untuk memutuskan siapa yang lebih benar. Perkara antar manusia diputuskan oleh manusia itu sendiri. Di republik ini, ranah yang paling tepat untuk menggugat legal tidaknya aturan poligami ada di ranah Kemendagri. Termasuk perihal Qanun di Aceh sana. Jika lolos juga, buruan bawa  ke ruang Mahkamah Konstitusi. Insya Allah, jika MK sudah memutuskan, orang sekelas Prabowo pun ikhlas menerimanya. Salto!

Lha, bukannya Tuhan melegalkan poligami? Kenapa aturan Tuhan diselesaikan oleh manusia di Mahkamah Konstitusi sana? Yup, betul. Tuhan juga melegalkan perceraian, tapi bukankah Tuhan juga tidak menyukai adanya perceraian dalam rumah tangga manusia?

Jidat mulai berdenyut? Itu tandanya anda sedang berpikir!

Namun yang namanya  jalan pikiran manusia itu sulit ditebak. Serba ruwet dan terkadang menyebalkan. Bahkan bisa menyesatkan. Menyangkut perkara yang diyakini benar menurut takaran iman, manusia kerap  membawa-bawa nama Tuhan lengkap dengan dalilnya. Misalnya soal polemik poligami tadi. Namun jika menyangkut sebuah perkara yang tidak disukai oleh Tuhan, misalnya soal perceraian,  dia malah menyerahkan urusannya pada sesama manusia dengan menghadap pengadilan, bukan menghadap Tuhan! Padahal dengan menghadap Tuhan, maka semua persoalan akan hilang. Iya, kan?

Tapi catat, poligami itu tak semata-mata urusan manusia  semata. Pokok bahasannya bisa meluber ke mana-mana. Dia akan bersentuhan dengan perkara kemanusiaan, ekploitasi seksual, keadilan, keberpihakan terhadap kaum perempuan, pembagian waris, hingga soal  syahwat dan dalil boleh tidaknya dalam agama juga berkelindan di sini. Memang alasan terakhir ini kerap menjadi jargon mereka yang pro poligami. Jika agama saja membolehkan, kenapa anda yang mengamalkan agama malah menolak? Mau melawan kehendak Tuhan? Kena kita. Terbayang sudah kobaran api neraka. Alam paling mengerikan di mata manusia yang beriman.

Jelas sudah. Jidat memang  kerap mengkerut jika membahas soal poligami. Pelaku poligami saja kadang berbeda tajam mengulas alasan mereka mengapa beristri lebih dari satu. Belum  lagi pakar rumah tangga. Terlebih  masyarakat biasa.  Sudah awam, cara membahasnya dibikin serius lagi. Serba tegang. Enaknya sih dibahas dengan santai. 

Soal poligami yang kerap jadi bahan perdebatan, bagi saya pribadi mah terserah yang punya badan. Mau poligami silahkan. Yang tidak setuju poligami ya biarkan. Posisi saya sudah jelas. Ogah poligami, namun menghargai pilihan  mereka yang berniat dan berminat poligami.

Kalo ditanya alasan saya kenapa kurang setuju dengan praktek poligami, ya  lumayan banyaklah. Capek merilis semuanya,  jadinya bisa  berpuluh-puluh halaman. Berhubung kalo menulis itu saya nggak suka berpanjang-panjang, ya udah saya kasih aja sedikit  bocoran sekarang. Emang KPU doang yang bisa ngasih bocoran jawaban?

Oke bro. memasuki ujung perkara, sekarang agak seriusan dikit.

Konon, Tuhan ciptakan segala sesuatu itu serba kontras. Diciptakan amal dan dosa, diciptakan surga dan neraka, diciptakan gelap untuk menemani terang, diciptakan air untuk bermusuhan dengan api..., dan diciptakan manusia itu laki-laki dan perempuan.  Mereka kemudian menyatu untuk mewariskan kehidupan. Kita menyebutnya sepasang pengantin.

Sunatullah-Nya Adam dan hawa itu memang diciptakan untuk hidup berpasangan. Begitu juga manusia berikutnya setelah Adam. Akal manusia kemudian menyimpulkan bahwa sebaik-baiknya perkawinan itu hanyalah sepasang.  Kalau laki-laki memiliki lebih dari satu istri, namanya bukan lagi berpasang-pasangan, tapi bertiga pasangan, berempat pasangan, hingga bisa berpuluh pasangan!

Dan katanya lagi,  Allah juga menyukai bilangan yang ganjil. Maka beruntunglah anda yang niat awalnya  hanya memiliki satu istri, Allah menyukai itu. Jika istri kemudian jadi dua, mungkin Allah nggak suka. Sebab bukan karena angka "dua"  itu bilangan genap. Tapi karena anda sudah meninggalkan niat awal. Oke deh. Pikiran anda mulai ngawur. Tambah satu istri, jadi tiga. Ganjil, kan? Mungkin ketidaksukaan  Allah bertambah juga. Istri kedua belum didapat, otak anda sudah mikirin yang ketiga. Artinya, prinsip poligami anda modal utamanya adalah syahwat semata. Kalo gitu sangat mustahil anda bisa berlaku adil.

Saya lalu teringat dengan teman saya yang beristri dua. Mereka tinggal serumah dengan dua kamar. Dia mengaku sudah berbuat adil dengan istrinya. Saya tanya soal jadwal tidurnya. Dia terus terang mengaku. Hari senin, rabu dan jum'at ia tidur ditemani  istri pertama. Hari selasa, kamis dan sabtu gantian tidur sekamar dengan  istri kedua.  Hari minggu? Dia mengaku puyeng juga.  Jika tidur dengan istri pertama, maka ia sudah berlaku tidak adil dengan istri kedua dan kena semprit. Beitu juga sebaliknya. Maka demi keadilan, tiap hari minggu ia relakan tidur di ruang tamu atau setidaknya pergi memancing malam hari dan pulang subuh hari. Hari minggu menjadi hari paling tidak adil baginya. Hahaha....

Lalu saya membayangkan jatah "malam" mereka yang beristri empat.  Hari senin tidur di rumah A, hari selasa di rumah B, hari rabu di rumah C, dan hari kamis di rumah D. Hari jum'at, sabtu dan minggu mungkin  tidur di masjid! Hahaha....

Jujur, saya ogah mengikuti jejak hidup teman saya tadi. Sepertinya tersiksa sekali demi narasi keadilan saya mesti tidur di ruang tamu atau pergi memancing. Mana udara dingin lagi. Siapa tahan. Ini namanya keadilan yang berbuah dosa. Mencoba bersikap adil, tapi dosanya jatuh ke istri karena membiarkan suaminya tidur sendirian di lantai atau di tepi empang!

Okelah. Anda yang berpoligami tetap saya anggap hebat. Bahkan lebih hebat dibanding hakim Mahkamah Konstitusi di Jakarta sono. Putusan hakim MK saja dianggap tidak adil oleh mereka yang berperkara menyangkut uang atau jabatan. Lha anda sediri sukses  berlaku adil menyangkut perkara yang lebih sensitif, urusan ranjang?  Keren. Kedepannya anda layak jadi hakim Mahkamah Konstitusi. Atau kita bikin saja seruan agar hakim-hakim Mahkamah Konstitusi kelak wajib berpoligami sebagai cerminan hakim yang sudah bisa berlaku adil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun