Dan katanya lagi,  Allah juga menyukai bilangan yang ganjil. Maka beruntunglah anda yang niat awalnya hanya memiliki satu istri, Allah menyukai itu. Jika istri kemudian jadi dua, mungkin Allah nggak suka. Sebab bukan karena angka "dua"  itu bilangan genap. Tapi karena anda sudah meninggalkan niat awal. Oke deh. Pikiran anda mulai ngawur. Tambah satu istri, jadi tiga. Ganjil, kan? Mungkin ketidaksukaan  Allah bertambah juga. Istri kedua belum didapat, otak anda sudah mikirin yang ketiga. Artinya, prinsip poligami anda modal utamanya adalah syahwat semata. Kalo gitu sangat mustahil anda bisa berlaku adil.
Saya lalu teringat dengan teman saya yang beristri dua. Mereka tinggal serumah dengan dua kamar. Dia mengaku sudah berbuat adil dengan istrinya. Saya tanya soal jadwal tidurnya. Dia terus terang mengaku. Hari senin, rabu dan jum'at ia tidur ditemani  istri pertama. Hari selasa, kamis dan sabtu gantian tidur sekamar dengan  istri kedua.  Hari minggu? Dia mengaku puyeng juga.  Jika tidur dengan istri pertama, maka ia sudah berlaku tidak adil dengan istri kedua dan kena semprit. Beitu juga sebaliknya. Maka demi keadilan, tiap hari minggu ia relakan tidur di ruang tamu atau setidaknya pergi memancing malam hari dan pulang subuh hari. Hari minggu menjadi hari paling tidak adil baginya. Hahaha....
Lalu saya membayangkan jatah "malam" mereka yang beristri empat.  Hari senin tidur di rumah A, hari selasa di rumah B, hari rabu di rumah C, dan hari kamis di rumah D. Hari jum'at, sabtu dan minggu mungkin  tidur di masjid! Hahaha....
Jujur, saya ogah mengikuti jejak hidup teman saya tadi. Sepertinya tersiksa sekali demi narasi keadilan saya mesti tidur di ruang tamu atau pergi memancing. Mana udara dingin lagi. Siapa tahan. Ini namanya keadilan yang berbuah dosa. Mencoba bersikap adil, tapi dosanya jatuh ke istri karena membiarkan suaminya tidur sendirian di lantai atau di tepi empang!
Okelah. Anda yang berpoligami tetap saya anggap hebat. Bahkan lebih hebat dibanding hakim Mahkamah Konstitusi di Jakarta sono. Putusan hakim MK saja dianggap tidak adil oleh mereka yang berperkara menyangkut uang atau jabatan. Lha anda sediri sukses  berlaku adil menyangkut perkara yang lebih sensitif, urusan ranjang?  Keren. Kedepannya anda layak jadi hakim Mahkamah Konstitusi. Atau kita bikin saja seruan agar hakim-hakim Mahkamah Konstitusi kelak wajib berpoligami sebagai cerminan hakim yang sudah bisa berlaku adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H