Dua sosok yang dipandang sakti oleh pengikutnya selama ini setahu saya Dimas Kanjeng dan Ahok. Dimas Kanjeng dianggap sakti karena dianggap bisa mengadakan uang. Bahasa hukumnya mungkin melakukan pencurian harta benda dari ruang dimensi lain melalui perantaraan jin. Bagi yang percaya bakal dihadiahi surga atau harta benda. Kalo tidak percaya maka dianggap musuh yang harus “diproteksi” keberadaannya.
Namun saya tak akan mengulas panjang lebar mengenai sosok Dimas Kanjeng. Silahkan googling dan ketik “Dimas Kanjeng sakti karena Foke”. Mudah-mudahan google setuju dan tidak mengkaitkan kesaktian itu karena Ahok. Cling!
Tapi itu bukan alasan pokok saya enggan mengulasnya. Jujur, saya pribadi orang yang paling malas diajak bicara sesuatu yang bersifat mistis, apalagi membicarakan seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh kepolisian seperti Dimas Kanjeng. Tak elok membicarakan nasib tragis kehidupan seseorang yang pernah dipandang sakti. Hem!
Bicara soal nasib, nasib Ahok yang juga dianggap sakti, tentu dipandang sedikit lebih baik dari Dimas Kanjeng. Bayangkan, beberapa kali namanya dikaitkan dengan sebuah kasus berpotensi adanya korupsi, KPK dengan penuh kehati-hatian tetap menyatakan Ahok pejabat seksi dan rada bersih. Pelaku utamanya yang bernama “niat jahat” belum ditemukan. Tak ada pelanggaran konstitusi dalam kebijakan seorang Ahok. Kebijakannya yang dianggap melawan arus di cap hanyaalah diskresi semata, yang tentunya tak boleh sembarangan dikriminalisasi. Saya lumayan sependapat dengan fakta hukumnya. Sementara pendukung Ahok mungkin lebih suka mengulas wacana mistisnya dan anggap Ahok beneran manusia sakti. Keren Coy!
Dengan kenyataan ini, Ahok boleh saja menepuk dada dan pendukungnya tetap diizinkan tepuk tangan. Namun yang menjadi agak aneh, pasca penetapan cagub oleh KPU DKI, kenapa suara tepukan tadi gemuruhnya tak semeriah dulu?
Hm, Kilas balik sebentar. Dulu kita mengenal Ahok ini sosok yang tegas layaknya Duterte, walau levelnya agak di bawah sedikit. Baik soal ketegasan maupun soal jabatan. Gaya ngomongnya cas cis cus banget. Lebih mendahulukan “apa adanya” daripada “ada apanya”. Kalo pengen ngomel langsung dibayar tunai seperti Jesicca yang mentraktir Mirna.
Ngocehnya Ahok nggak pake kalimat pembukaan layaknya pidato ketua RT saat pembagian Raskin di kampung Ratna Sarumpaet. Terserah kambing tetangga mau tersinggung atau tidak, nggak peduli juga yang kesemprot itu “mawar liar”(birokrat wanita korup) atau barisan “kumbang nakal” (birokrat pria korup) Yang penting nyerocos jalan terus. Istilah zaman Tarzan, Si Ahok ini “ngomong dulu baru mikir kemudian”.
(Tapi itu lebih baik dari pada pake prinsip “Mikir dulu ngomong kemudian”. Mustahil rasanya jejaka tong-tong mesti mikir dulu ketika tahu Marshanda datang ke rumah mereka untuk melamar. Cihui, durian jatuh Bro!)
Perilaku Ahok kesannya sama tidak lazimnya dengan Jesicca yang bayar duluan sebelum teman datang. Mungkin itulah kebiasaan, kata ahli psikologi. Orang sakti memang suka bertolak belakang dengan kelaziman, kata saya kemudian.
Saktinya seorang Ahok, sekali lagi, ini masih kilas balik, ya. Kalo ada yang tersinggung oleh sikap atau pernyataanya, maka dalam waktu 1 x 24 jam, Ahok sudah menenteng sejumlah jawaban yang bikin orang keki mendengarnya. Mereka yang tadinya tensi darahnya naik dan nyaris mendekati ketinggian maksimal pintu air Katulampa menjelang banjir, perlahan menurun walau tidak kembali ke garis normal. Minimal tetap lebih tinggi antara 2-20 digit dari tensi normal. Lumayan, kecenderungan penderita stroke ringan agak berkurang.
Nah, kemampuan mengalihkan dan mengendalikan sebuah isu negatif tentang dirinya ini termasuk salah satu kesaktian seorang Ahok. Kesaktian lainnya saya kurang tahu persis. Tanya aja pada “Teman Ahok”. Sebagai teman mereka pasti tahu betul tentang Ahok. Kalo bukan teman Ahok seperti saya ya lebih banyak pasrah dan angkat tangan andai KPK menanyakan kesaktian lainnya. Masa iya saya tahu soal memo? Glek!
Tapi kini, setelah namanya resmi ditetapkan sebagai cagub oleh KPU DKI. Busyet, kesaktian Ahok kayaknya mulai memudar seperti buyarnya kesaktian Dimas Kanjeng setelah jin asuhannya kena gas air mata aparat. Karakter Ahok berubah drastis. Dulunya sangar sekarang kalem. Dulunya humoris sekarang serius.
Penyebabnya mungkin karena ia tak lagi menjadi dirinya sendiri. Ahok seperti “disetir” sebuah perjanjian tak tertulis. Isinya mungkin “Dilarang ngomong sembarangan dan serampangan, jangan mengomentari sesuatu yang tak perlu, jangan berpanas-panas terus agar tetap kelihatan putih,...dan jangan main hujan nanti masuk angin. Praktis Ia seolah menjadi petugas partai saja. Andai ia konsisten dengan jalur independennya, mungkinkah kesaktian itu abadi? Bisa jadi. Faktanya, setelah mengabaikan jalur independen, elektabilitas Ahok dari hari ke hari trennya mulai menurun, tidak berbanding lurus dengan program Tax Amnesty Jokowi yang dinilai tersukses sedunia. Sangat disayangkan. Ahok seperti tergoda dengan parpol dan menggadaikan kesaktian yang sudah dipeliharanya selama ini. Kesaktian Dimas Kanjeng hanyalah dongeng semata. Sementara kesaktian Ahok sudah terukur melalui kinerja dan ocehannya. Akankah ia mengalami nasib yang sama seperti Dimas Kanjeng? Entahlah.
Fenomena kesaktian seorang Dimas Kanjeng dan Ahok memang menguras perhatian banyak orang Namun dari sini kita, sekali lagi, seperti diajarkan agar tak terlalu memercayai segala hal yang berbau kesaktian. Hukum kadaluarsa berlaku juga. Tak selamanya orang itu sakti mandarguna. Semua ada batasnya, seperti berbatasnya langit dan bumi atau ada batasnya antara hidup dan mati. Pada saatnya kesaktian akan pudar. Pada waktunya kemandragunaan akan buyar. Maka hidupkanlah akal. Bicara dengan akal dan berbuat dengan akal. Awas, jangan main akal-akalan. Sang pencipta tak mengenal kantuk!
Salam tidak sakti!
Update informasi : Konon Ahok sudah kembali dengan kesaktiannya di pulau seribu. Orang menyebutnya pelecehan. Saya lebih suka menyebutnya blunder dan kurang etis. Secepatnya ane opinikan. Mumpung Jin Dimas Kanjeng lagi sohiban sama ane.
Salam sedikit sakti!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H