Mohon tunggu...
Erwin Hutapea
Erwin Hutapea Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Plus dan Minus Commuter Line, Bercermin pada "Subway" di Beijing

30 September 2017   14:35 Diperbarui: 30 September 2017   19:20 2728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KRL Commuter Line, Sekarang dan di Masa Mendatang

Pada pertengahan Agustus 2017, saya berkesempatan mengunjungi Kota Beijing, China, dan tinggal selama lima hari di sana untuk urusan pekerjaan. Sesuai rencana, saya dan teman-teman dari Indonesia menginap di satu hotel di tengah kota. Pemilihan hotel itu karena posisinya strategis, yaitu dekat dengan tempat makan, pusat perbelanjaan, dan akses transportasi umum.

Sarana transportasi umum yang terdekat yaitu kereta bawah tanah (subway). Bahkan stasiun keretanya, yaitu Stasiun Dongsishitiao, berada persis di depan hotel tersebut. Hal itu membuat saya penasaran untuk bepergian menggunakan subway, baik untuk urusan kerja maupun tujuan lain.

Kebetulan saya mendapatkan peta jalur subway Beijing dari seorang teman yang sudah mengunduh di ponselnya. Bagi saya, peta itu sungguh berguna karena saya bisa melihat jalur subway Beijing secara keseluruhan. Ada 15 jalur (line), masing-masing jalur ditandai dengan warna yang berbeda.

Hari pertama di sana, saya dan kawan-kawan langsung mencoba menggunakan subway itu. Kami membeli tiket berupa kartu seharga 50 yuan (sekitar Rp 100.000), dengan rincian 20 yuan untuk biaya kartu dan 30 yuan untuk saldonya. Kartunya mirip dengan kartu multitrip kereta rel listrik di Jakarta. Dalam perjalanan itu saya merasakan kenyamanan, keamanan, keteraturan, dan cepatnya alat transportasi ini, apalagi dibantu dengan peta subway tadi, sehingga perjalanan jadi terasa mudah.

Selanjutnya, hampir setiap hari saya menggunakan subway, baik untuk urusan pekerjaan maupun jalan-jalan. Hal yang membuat saya suka dengan subway di sana yaitu harga tiketnya relatif terjangkau; kondisi kereta dan stasiunnya bersih, aman, dan nyaman; waktu perjalanannya cepat; petunjuknya jelas; serta keretanya banyak. Jadi saya tidak perlu takut ketinggalan kereta dan terburu-buru mengejarnya karena kereta berikutnya akan datang lagi tidak sampai 5 menit kemudian.

Begitu pula ketika mau pulang ke Indonesia, saya menggunakan kereta Airport Express yang berangkat dari Stasiun Sanyuanqiao. Lama perjalanannya cuma sekitar 30 menit langsung sampai di Terminal 3 Bandara Internasional Beijing, dan harga tiketnya 25 yuan. Itulah pengalaman saya menggunakan layanan kereta selama di Beijing, China. Kesan yang saya dapat yaitu bahwa selama di sana, kita bisa ke mana saja menggunakan subway, asalkan jelas tujuannya, lihat jalurnya di peta, dan tidak malu bertanya.

Berbeda dengan di Jakarta, kota di mana saya tinggal dan bekerja, yang sistem kereta dalam kotanya belum sebagus di Beijing. Sedikit flashback, pada tahun 2013-2014 saya sering menggunakan jasa Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek, terutama untuk berangkat dan pulang kerja. Saya tinggal di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan kantor tempat saya bekerja ada di daerah Palmerah, Jakarta Pusat.

Saat itu, hampir setiap hari saya memarkirkan sepeda motor di Stasiun Pasar Minggu atau Duren Kalibata, lalu naik KRL menuju Stasiun Palmerah dengan transit dan berganti KRL di Stasiun Tanah Abang. Alasan saya menggunakan KRL karena sebelumnya saya selalu mengendarai sepeda motor, tetapi parahnya kemacetan lalu lintas membuat saya menyerah dengan keadaan dan memutuskan untuk beralih ke KRL. Saya berharap dengan menggunakan KRL bisa terhindar dari kemacetan dan mengurangi waktu perjalanan.

Ternyata tidak juga. Ada beberapa masalah yang saya alami selama menggunakan KRL. Pertama, saya mesti tahu jam keberangkatan KRL sesuai tujuan. Jadwal keberangkatan KRL memang bisa dilihat di aplikasi ponsel, tetapi sering kali jadwalnya tidak sesuai. Kereta datang terlambat adalah hal yang sering terjadi. Rencana perjalanan bisa buyar karena kereta datang tidak tepat waktu.

Kedua, saat masuk ke stasiun, saya harus berlari terburu-buru mengejar KRL yang sudah datang dan segera berangkat karena kereta selanjutnya belum tentu ada dalam beberapa menit lagi. Setelah di dalam kereta pun belum tentu dapat tempat duduk. Kalau pada pagi dan sore hari saat kebanyakan orang berangkat dan pulang kerja, saya mesti berjejalan dengan padatnya penumpang di dalam kereta. Boro-boro dapat tempat duduk, bisa berdiri dengan posisi tegak saja sudah bersyukur.

Ketiga, perjalanan KRL tidak selalu mulus. Kadang perjalanannya terhambat berbagai gangguan teknis, terutama saat cuaca buruk atau hujan deras. Gangguan yang biasa terjadi yaitu kerusakan pantograf dan banjir yang menggenangi rel sehingga butuh waktu lama untuk perbaikan. Otomatis perjalanan pun terganggu dan jadi lebih lama dari jadwal semula.

Keempat, yaitu antrean KRL yang cukup lama untuk masuk ke stasiun tertentu, bisa lebih dari 15 menit. Contohnya KRL jurusan Bogor-Jatinegara dan Bogor-Jakarta Kota dan jurusan sebaliknya saat masuk ke Stasiun Manggarai pada pagi dan sore hari. Menurut saya, inilah stasiun KRL yang paling sibuk di Jakarta. Stasiun Manggarai ini ibarat persimpangan strategis karena kereta dari Tanah Abang, Jakarta Kota, Bekasi, dan Bogor berhenti di sini sebagai stasiun transit. Belum lagi kalau ada kereta antar-provinsi yang mau lewat, misalnya KA Argo Bromo Anggrek, KA Argo Lawu, dan KA Taksaka, antrean pun makin panjang dan waktu menunggu makin lama.

Kelima, masalah fasilitas di stasiun, misalnya area parkir sepeda motor dan mobil. Bagi saya yang sering menitipkan sepeda motor di stasiun, tarif parkir yang berlaku saat ini terlalu mahal. Untuk parkir lebih dari 5 jam atau seharian, tarifnya Rp 8.000. Jumlahnya 2 kali lebih mahal dari harga tiket KRL yang rata-rata cuma Rp 3.000 - Rp 4.000 untuk sekali perjalanan. Padahal, area parkirnya juga hanya berupa lahan kosong tanpa atap di dalam area stasiun. Jadi kalau cuaca panas, motor akan kepanasan; begitu juga kalau hujan, motor pun akan kehujanan.

Kembali soal biaya tadi, mari kita buat ilustrasi biaya bulanan seorang pengguna jasa KRL. Misalnya orang yang kerja pada Senin sampai Jumat dan setiap hari memarkirkan motornya di stasiun, dan rata-rata sebulan ada 4 minggu. Jadi 5 hari x 4 = 20 hari. Lalu, tarif parkir Rp 8.000 x 20 hari = Rp 160.000. Itulah biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk parkir motor.

Belum lagi tiketnya, misalnya Rp 3.000 x 2 (pergi-pulang) = Rp 6.000 untuk sehari. Lalu Rp 6.000 x 20 hari = Rp 120.000. Jadi Rp 160.000 + Rp 120.000 = Rp 280.000, inilah biaya total bulanan seorang pengguna jasa KRL plus parkir motor. Tidak semua orang sanggup mengeluarkan biaya sebesar itu untuk seterusnya, tergantung kemampuan dan penghasilan masing-masing.

Sebab, begitu banyak orang yang menggunakan alat transportasi ini. Menurut data dari berbagai sumber, setiap hari ada 500.000 hingga 1 juta penumpang KRL Commuter Line. Tentunya mereka ingin mendapatkan pelayanan dengan biaya yang terjangkau.

Saya yakin orang lain ingin mendapatkan pelayangan seperti yang saya inginkan. Maka dari itu, saya berharap pada PT KAI dalam usianya yang ke-72 tahun ini bisa memberikan pelayanan yang lebih baik lagi, termasuk untuk penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek.

Saya ingin agar kereta datang sesuai jadwal, baik yang tertera di aplikasi ponsel maupun yang diumumkan di stasiun, supaya rencana perjalanan penumpangnya juga tidak terganggu. Saya juga ingin agar rangkaian keretanya diperbanyak sehingga orang tidak perlu terburu-buru mengejar kereta dan memaksa masuk walaupun sudah penuh penumpang.

Penambahan rangkaian kereta juga membuat penumpang jadi lebih tersebar sehingga kepadatannya berkurang. Bukankah kenyamanan dan keselamatan penumpang merupakan salah satu pilar utama PT KAI?

Selain itu, PT KAI diharapkan bisa mengantisipasi gangguan teknis seperti yang saya sebutkan di atas. Dengan pengalaman PT KAI yang sudah puluhan tahun, seharusnya perjalanan KRL bisa dilaksanakan sesuai estimasi waktu yang direncanakan.

Kemudian, mengenai antrean masuknya kereta di stasiun transit, sebaiknya PT KAI memikirkan supaya jadwal perjalanan setiap KRL dan kereta antar-provinsi bisa berjalan lancar tanpa terganggu antrean itu. PT KAI bisa belajar dari negara tetangga dengan sistem transportasi terintegrasi yang bagus, misalnya Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Berikutnya yaitu masalah fasilitas dan biaya parkir di stasiun. Kalau biaya parkirnya masih seperti itu terus, orang akan beralih kembali menggunakan kendaraan pribadi. Bukankah tujuan pemerintah dan PT KAI menyediakan KRL supaya masyarakat mau memakainya sehingga mengurangi kemacetan lalu lintas? Namun, kenapa biaya tiket dan parkirnya masih begitu juga?

Saya tahu ada subsidi biaya dari pemerintah, tetapi ada baiknya ditambah. Selain itu, PT KAI bisa bekerja sama dengan perusahaan swasta. Contohnya dengan memanfaatkan dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan swasta yang ada di sekitar setiap stasiun.

Sebab, biasanya stasiun KRL dekat dengan perkantoran, pusat perbelanjaan, dan apartemen. Walaupun setiap perusahaan memberi sedikit, tetapi kalau banyak perusahaan yang menyumbang maka akan terkumpul banyak dana yang bisa digunakan untuk subsidi biaya operasional PT KAI, termasuk untuk fasilitas di stasiun dan biaya parkir. Hasilnya pun bisa dilihat dan dirasakan secara nyata oleh semua pihak.

Satu hal lagi, saya berharap agar dengan adanya kereta ke bandara yang sebentar lagi dapat digunakan bisa membuat waktu perjalanan ke bandara jadi lebih singkat dengan fasilitas yang nyaman dan biaya yang terjangkau oleh berbagai kalangan masyarakat.

Dengan demikian, mobilitas masyarakat yang berada di wilayah Jabodetabek ataupun yang mau ke luar kota bisa dipermudah dengan jadwal dan waktu tempuh perjalanan sesuai rencana, fasilitas yang nyaman dan keselamatan penumpang yang terjamin, biaya tiket dan parkir yang terjangkau, serta jaringan kereta yang terintegrasi.

Saya optimistis PT KAI bisa melaksanakan hal itu supaya bisa setara dengan sistem kereta di negara lain. Perbaikan sumber daya manusia dan infrastruktur wajib segera dilaksanakan demi kejayaan dunia perkeretaan dan sistem moda transportasi massal yang unggul di Indonesia pada masa mendatang. Semoga sukses, PT KAI....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun