Pembahasan Mobil Listrik Indonesia (MLI) sendiri pada akhirnya harus dikaitkan dengan ketersediaan listrik itu sendiri sebagai nyawa penggeraknya. Ketersediaan listrik merupakan sebuah pertanyaan yang banyak diangkat pada berbagai kesempatan acara yang berhubungan dengan mobil listrik ini. Seperti juga yang ditanyakan pada saat acara pameran mobil Selo dan Gendhis di Universitas Trisakti pada acara Trisakti Marketing Festival yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Trisakti Marketing Club (TMC). Pada acara tersebut juga ditanyakan oleh salah satu mahasiswa Trisakti kepada Bapak Dahlan Iskan, mengenai bagaimana MLI dapat eksis padahal distribusi listrik di Indonesia sendiri belum merata. Dalam menanggapi model pertanyaan seperti itu, sebenarnya ada beberapa persepsi yang perlu digarisbawahi, terutama mengenai bagaimana pola pengadaan listrik kita dikaitkan dengan sistem pembangkit listrik kita sendiri.
Secara umum, apabila kita pelajari dari berbagai literatur yang ada, maka di Indonesia sendiri memiliki beberapa sumber energi yang dapat digunakan untuk membangkitkan listrik, yaitu: energi tak terbarukan (solar, batubara, gas, panas bumi, dan Coal Bed Methane) dan energi terbarukan (air, biomasa, matahari, dan angin). Saat ini sumber energi tak terbarukan masih mendominasi sebagai sumber energi pembangkit listrik ini. Dengan kondisi tersebut, maka tidak heran apabila kita sebut bahwa subsidi APBN kepada PLN sampai saat ini mencapai sekitar Rp.74,8 triliun sesuai dengan UU no 23 tahun 2013.
Dengan pola pengadaan listrik yang masih bertumpu pada sumber energi tak terbarukan, serta masih belum meratanya pola distribusi listrik termasuk didalamnya masalah ketersediaan jaringan listrik induk, maupun distribusi yang berdampak masih rendahnya rasio elektrifikasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari PLN di akhir tahun 2013, rasio elektrifikasi saat ini mencapai 78,1%, sehingga artinya masih ada sekitar 21,9% masyarakat yang belum dapat menikmati listrik.
Apabila kita dalami penyebab dari masih rendahnya rasio elektrifikasi selain daripada ketersediaan jaringan induk maupun distribusi yang sebenarnya juga masih didukung oleh APBN dalam pengadaannya, dikarenakan persepsi PLN yang masih berprinsip bahwa pengadaan listrik di Indonesia masih mengikuti pola-pola Amerika dan Eropa yang daerahnya berbentuk daratan luas. Padahal Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar yang ada di dunia tidak dapat mengadopsi sistem itu sepenuhnya. Pendapat itu terbukti dengan pengadaan listrik di pulau Jawa, dimana secara daratan di pulau Jawa, ketersediaan listrik dan jaringannya tidaklah terlalu bermasalah dan dapat mengadopsi cara pikir continent tersebut. Akan tetapi begitu menyentuh daerah-daerah seperti Kepulauan Maluku misalnya, sistem aplikasinya tidak dapat disamakan dengan aplikasi yang ada di pulau Jawa atau pulau-pulau besar lainnya. Daftar pulau yang mencapai belasan ribu ini, membuat PLN cukup sulit untuk mencapai rasio elektrifikasi mencapai 100%.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mau tidak mau Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM dan Kementeriaan BUMN serta PLN sebagai BUMN penjual listrik tunggal ke masyarakat harus sudah mulai merubah paradigma dan mindset mereka dalam mendistribusikan listrik kepada masyarakat khususnya di daerah kepulauan. Berbicara kepulauan sendiri juga, ternyata banyak pulau-pulau terluar Indonesia yang sampai saat ini pun ketersediaan listriknya masih jadi pertanyaan, katakanlah P. Tarakan di Kalimantan Utara, Pulau Nias di Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau yang masih mengalami kendala pengadaan listrik. Inilah yang sesungguhnya pekerjaan rumah bagi para pemangku kepentingan untuk dapat bertindak cepat dan akurat untuk segera menangani permasalahan pengadaan listrik yang semakin hari semakin vital fungsinya. Kegagalan pemangku kepentingan dalam mengadakan listrik bagi masyarakat tersebut dapat berakibat semakin tingginya keinginan masyarakat tersebut untuk keluar dari Republik Indonesia dengan alasan tidak memperoleh perhatian yang cukup.
Sedikit memberikan wacana dan perspektif mengenai pola mengatasi masalah rasio elektrifikasi tersebut, maka ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Diversifikasi, yaitu penganekaragaman pemanfaatan energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan
2. Intensifikasi, yaitu melakukan pencarian sumber energi baru melalui kegiatan survei dan eksplorasi serta mengatasi permasalahan tata ruang pada sumber energi tersebut, sehingga energi potensi cadangan energi di perut bumi Indonesia dapat menjadi lebih pasti.
3. Konservasi: Mulai menggunakan lebih banyak energi terbarukan terutama di daerah-daerah yang tidak memiliki sumber energi tak terbarukan maupun daerah kepulauan
Dari 3 opsi tersebut, maka inti yang dapat diangkat adalah PLN sudah harus mau menghilangkan sifat manjanya dan harus mau bekerja keras untuk memulai dan memaksimalkan potensi sumber energi terbarukan diikuti dengan pemanfaatan aplikasi teknologi yang semakin hari sudah semakin maju dan menjanjikan. Dan hal tersebut harus dilaksanakan oleh PLN dan didukung oleh Kementeriaan yang ada untuk memberikan hak rakyat seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33.
Mengaitkan sedikit dengan alternatif sumber energi terbarukan yang masuk akal diaplikasikan merata di Indonesia adalah Matahari dan Biomassa. Dimana dapat kita sadari bahwa Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa merupakan daerah yang diberikan berkah mendapatkan sinar matahari yang kuat sepanjang tahun, sehingga program pemerintah saat ini mengaplikasikan berbagai penerangan jalan umum (PJU) dengan menggunakan energi surya, sudah merupakan langkah maju dalam mendukung peningkatan pelayanan masyarakat akan listrik.
Satu lagi adalah teknologi biomasa, dimana di Indonesia ini sudah bisa dipastikan hampir disemua daerah dapat ditemukan, lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan-lahan yang berisikan berbagai tanaman yang tidak produktif atau alang-alang serta sampah. Lahan-lahan tersebut pasti akan menghasilkan produksi dan juga limbah atau sampah dengan jumlah yang sangat signifikan. Produksi dan limbah itulah yang nantinya merupakan sumber energi (feed stock) untuk membangkitkan listrik energi biomassa. Biomassa ini saat ini adalah salah satu teknologi yang diakui banyak orang menjadi pembangkit listrik masa depan bagi negara kepulauan seperti Indonesia ini
Seperti yang disampaikan oleh Bapak Menteri BUMN, Bapak Dahlan Iskan, bahwa beliau sedang mengupayakan pembangkit listrik biomasa ini khususnya didaerah-daerah seperti Kepulauan Maluku dengan memanfaatkan feed stock dari sorgum yang dapat ditanam dan tumbuh berkembang dengan baik. Inilah harapan baru, bagi masyarakat supaya PLN dapat segera merealisasikan arah yang sudah digariskan oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Bapak Menteri BUMN, sehingga ketersediaan listrik dan rasio elektrifikasi dapat meningkat signifikan.
Dari pemaparan mengenai pengadaan sumber energi listrik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Mobil Listrik Indonesia (MLI) jelas masih menghadapi jalan yang terjal dan berliku sehingga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah karya anak bangsa. Terkait masalah ini, jelas diperlukan kerjasama dari berbagi pemangku kepentingan guna bersama-sama mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada. Dan sesungguhnya MLI diyakini sebagai sebuah opsi untuk membantu pemerintah dalam memperbaiki sistem kelistrikan di Indonesia dan sekaligus mendorong masyarakat juga untuk lebih disiplin dalam membangun pola konsumsi listrik. Semoga MLI dapat segera terealisasi dan Pemerintah dapat cepat tanggap untuk segera menyelesaikan berbagai permasalahan khususnya perijinan sehingga kita dapat segera melihat kehadiran produk anak bangsa di jalanan negara kita tercinta.
Jakarta, 28 Maret 2014
Erwin Suryadi
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H