Mohon tunggu...
Erwanda Saputra
Erwanda Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta

menulislah, karena tanpa menulis, engkau akan hilang dari pusaran sejarah (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU Minerba: Kepentingan Rakyat atau Korporat?

23 Mei 2020   11:57 Diperbarui: 1 Juni 2020   14:08 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bertepatan pada tanggal 12 Mei 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat paripurna yang dipimpin oleh ketua DPR Puan Maharani. Rapat tersebut bertujuan untuk pengesahan revisi undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) untuk menjadi undang-undang. Keputusan yang dilakukan oleh DPR ini menuai banyak kritik terutama dari kalangan masyarakat sipil. 

Banyak yang beranggapan bahwa DPR tidak menyertakan andil rakyat dalam pengesahan undang-undang tersebut. Karena sebelumnya ditahun 2019 jelas-jelas upaya RUU Minerba telah di tolak keras oleh para mahasiswa dan juga pelajar yang melakukan demo besar-besaran hingga terdapat beberapa yang harus meregang nyawa kala itu dari berbagai daerah yang melakukan demonstrasi. Alhasil, RUU Minerba saat itu dibatalkan.

Namun, pada bulan Februari 2020 RUU tersebut kembali di bahas dan secara mengejutkan telah di sahkan pada 12 Mei 2020. Hal ini menandakan betapa tergesa-gesanya DPR untuk mengesahkan RUU Minerba tanpa memperdulikan aspirasi rakyat. Terbukti DPR melaksanakan rapat paripurna di tengah pandemi Covid-19 yang memaksa rakyat agar tidak mengadakan kerumunan dan harus berada di rumah untuk memutus tali persebaran Covid-19 ini. Kondisi seperti ini merupakan situasi yang tidak mungkin untuk melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak secara lantang RUU Minerba yang tidak pro rakyat oleh para aktivis mahasiswa maupun aktivis lingkungan.

Keputusan yang dilakukan oleh DPR menandakan bahwa DPR mencari celah untuk mengesahkan RUU Minerba tersebut tanpa halangan dari masyarakat yang menolak keras RUU tersebut. RUU Minerba lebih mengakomodasi kepentingan para pengusaha dan juga perusahaan pertambangan, Hal ini diperkuat dengan undang-undang Minerba baru yang justru sarat akan kepentingan pengusaha dan hanya menguntungkan perusahaan tambang tanpa melibatkan masyarakat setempat di area pertambangan tersebut.  Beberapa pasal kontroversial yang sangat mengakomodasi pengusaha antara lain :

1. Pasal 1 ayat 13a

Pasal ini berisikan ketentuan baru yang bernama Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), yaitu izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini menandakan bahwa pemerintah memberikan ruang baru untuk para pengusaha untuk melakukan eksplorasi lingkungan di Indonesia dengan syarat memiliki surat izin tersebut. 

Dengan ketentuan ini, akan ada perusakan lingkungan selanjutnya oleh para pengusaha demi kepentingan mereka dan hanya merugikan masyarakat yang berada di area pertambangan tersebut, karena pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan akibat dari eksplorasi yang di lakukan perusahaan tersebut.

2. Pasal 42 dan Pasal 42a 

Pasal ini mempermudah para pengusaha pertambangan mineral dan batu bara dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama keperluam eksplorasi. Dalam UU lama, waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah selama 2 tahun. Namun, dalam UU baru, penguasaan lahan dalam skala besar oleh pengusaha tambang setidaknya selama 8 tahun dan dapat juga diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan. Penguasaan lahan yang lebih lama ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat mengakomodasi para pengusaha dalam mengeksplorasi sumber daya alam di Indonesia.

3. Dihapusnya Pasal 83 ayat 2 dan 4 UU Minerba lama 

Pasal 83 ayat 2 UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi  pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Adapun pasal 83 ayat 4 UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan batu bara paling banyak 15 ribu hektare.

4. Pasal 162 dan 164

Pasal 162 berisi bahwa "setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IPR, IUPK atau SIPB yang telah syarat-sayarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak RP 100.000.000 (seratus juta rupiah)". 

Sedangkan Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Dalam Pasal ini menunjukkan bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap para pelaku pengusaha pertambangan tanpa memperdulikan dahulu kepentingan rakyat di daerah pertambangan tersebut. Masyarakat pun melakukan tindakan tersebut karena adanya rasa ketidakpuasan terhadap perusahaan tersebut dan juga merugikan wilayah kehidupan mereka. Namun pemerintah tidak memperdulikan hal ini sama sekali.

5. Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama

Di dalam pasal 165 UU Minerba lama berisi tentang sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pasal tersebut menyebut "setiap orang yang mengeluarkan IUP,IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undangini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak RP 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)". 

Namun, Pasal ini dihilangkan dalam UU Minerba baru. Hal ini menandakan pemerintah secara tidak langsung memberikan celah korupsi baru di bidang minerba.

6. Pasal 169a

Pasal ini mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2x10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya. Padahal UU lama mengatur kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan harus dilakukang lelang ulang. 

Pasal baru ini sangat membuka celah perpanjangan bagi perusahaan raksasa pertambangan yang sudah lama beroperasi di Indonesia, padahal sebentar lagi masa kontraknya berakhir. hal ini menandakan betapa lunaknya negara ketika berhadapan dengan perusahaan pertambangan raksasa yang jelas-jelas merugikan masyarakat sekitar pertambangan.

7. Pasal 169b ayat 5

Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan operasi produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini memberikan konsesi tambahan bagi para pemegang IUPK sehingga jelas sekali memberikan keuntungan bagi para pemegang IUPK.

RUU Minerba ini dengan sangat jelas mengancam masyarakat yang lahan-lahannya hendak dijadikan wilayah pertambangan, karena dalam RUU Minerba tidak ada satu Pasal pun yang memberikan ruang bagi partisipasi warga, termasuk tidak adanya Pasal yang mengatur konsultasi pada masyarakat adat dan hak veto untuk mengatakan tidak pada saat pertambangan datang. Pemerintah lebih berpihak kepada para pengusaha dibandingkan dengan rakyat. 

Perancangan undang-undang dibuat bukan lagi demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan elit. Dewan Perwakilan Rakyat hanyalah sebuah nama saja untuk dalih keberpihakan pemerintah terhadap rakyat, tapi faktanya sama sekali tidak memperdulikan aspirasi rakyat maupun kepentingan rakyat.

Pada Pasal 169a jelas memberikan peluang bagi perusahaan tambang untuk melanjutkan operasi mereka di Indonesia. Padahal PT. Freeport Indonesia selaku pemegang Kontrak Karya (KK) seharusnya masa kontraknya habis di tahun 2021 berdasarkan ketentuan Kontrak Karya II (KK II). Namun pertambangan Grasberg merupakan termasuk pertambangan yang paling profitable di dunia. Pertambangan Grasberg juga memberikan aset yang lumayan besar bagi induk perusahaan yaitu Freeport Mcmoran (FCX). Maka dari itu, Freeport berusaha keras untuk selalu melakukan lobi-lobi politik kepada pemerintah pusat yang memiliki kendali penuh atas negara.

Dalam renegosiasi kontrak yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2017, pemerintah berupaya untuk mendesak Freeport untuk mengubah KK menjadi IUPK. Dalam renegosiasi tersebut Freeport diharuskan mendivestasikan saham sebesar 51% kepada pemerintah, mempekecil luas lahan, membangun Smelter, dan membicarakan perpanjangan kontrak. Lambat laun akhirnya Freeport memberikan saham mereka untuk dikendalikan oleh pemerintah sebanyak 51%. Namun, Freeport belum sepakat mengenai pembangunan Smelter karena tidak jelasnya mengenai perpanjangan kontrak yang akan diberikan oleh pemerintah.

Jika di cermati lebih detail lagi, seharusnya pemerintah tidak harus melakukan upaya divestasi saham Freeport tersebut, mengingat masa Kontrak Karya akan berakhir di tahun 2021 yang mana secara otomatis pertambangan Grasberg akan dikendalikan 100% oleh pemerintah. Namun, yang membuat pemerintah dilematis adalah mengenai teknologi tambang untuk melancarkan pertambangan di Grasberg, terutama tambang Underground nya yang memiliki potensi yang sangat besar.   Pemerintah belum memiliki teknologi tersebut dan kurang memiliki skill dalam pertambangan khususnya tambang Underground di Grasberg. 

Pada akhirnya, pemerintah harus ketergantungan terhadap Freeport, karena mereka memiliki skill yang sangat mumpuni dalam mengoperasikan teknologi untuk mengolah tambang Underground di Grasberg. Dalam hal ini pada akhirnya pemerintah melunak kepada perusahaan tambang yang telah lama beroperasi di Indonesia tersebut. Walaupun pemeritah telah memiliki 51% saham di Freeport, tetap saja Freeport yang memegang kendali akan operasi tambang di Grasberg, karena mereka yang memiliki keahlian dalam menambang Grasberg.

Sehingga, wajar saja pemerintah secara terburu-buru ingin mengesahkan RUU Minerba yang sarat akan kepentingan perusahaan pertambangan tersebut. Di tambah lagi Freeport sudah mulai membangun Smelter di Gresik walau baru beberapa persen tahap pembangunan maka Freeport akan menagih janji pemerintah perihal perpanjangan kontrak. Mengapa Freeport selalu ingin mendapatkan perpanjangan kontrak di Indonesia? Tidak lain adalah karena tambang Underground  Grasberg yang memiliki cadangan tambang dan emas yang sangat besar yang diperkirakan akan habis di tahun 2060-an.

Jika di ulas dari sejarah awal mengenai awal mula penanaman modal asing adalah di saat masa pemerintahan awal Presiden Soeharto. Dengan UU No. 11 tahun 1967 tentang penanaman modal asing di Indonesia merupakan sebuah angin segar bagi para pengusaha global untuk berinvestasi di Indonesia. Maka mereka melakukan lobi-lobi politik dengan pemerintah sebagai langkah awal untuk memuluskan rencana mereka. Dapat dilihat sebagai contoh dengan kedekatan Robert Hill sebagai Presiden Freeport kala itu dengan Presiden Soeharto, mereka sering bermain golf bersama. Dengan adanya UU No. 11 tahun 1967 ini sudah menodai amanat konstitusi UU 1945 pasal 33 ayat 3 yang berisi "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Oleh karena itu, pemerintah saat ini seharusnya berupaya untuk merealisasikan amanat konstitusi UU 45 tersebut demi kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat. Seharusnya pemerntah lebih mendesak Freeport untuk membangun Smelter di Papua bukan di Gresik agar memberikan Multipplier Effect pembangunan di Papua dan agar mengurangi gap antara Jawa dan luar Jawa dalam segi perkembangan industri. Wajar saja jika rakyat Papua berkali-kali melakukan pemberontakan terhadap pemerintah maupun Freeport, karena mereka merasa di rugikan dan tidak ada kebepihakan dari pemerintah pusat kepada Papua. 

Maka dari itu, alangkah lebih baiknya pemerintah lebih mengutamakan kepentingan rakyat Papua dengan mendesak Freeport untuk membangun Smelter di Papua agar memberikan Multipplier Effect bagi pembangunan di Papua. Jika tidak, maka besar kemungkinan akan terjadi gelombang pemberontakan selanjutnya di Papua untuk mendeklarasikan kemerdekaan.

Hal yang paling penting adalah melaksanakan amanat konstitusi UU 1945 untuk mengendalikan sumber daya alam yang ada di Indonesia untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, sehingga rakyat tidak lagi mengalami kemiskinan maupun kesengsaraan. Hal ini juga sesuai dengan konsep trisakti Bung Karno yaitu : Berdaulat dalam berpolitik, Berdikari di bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan. Trisakti Bung Karno mengajarkan rakyat agar mandiri dalam bernegara dan tidak bergantungan terhadap negara lain maupun Institusi lain.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun