Sapi dan Ramadhan menjadi dua kenyataan penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, bukan karena sapi akan selalu di baca sebagai salah satu nama surat dalam Al Quran (Al-Baqarah), tetapi sapi dalam bentuk pangan kaya protein yang ketersediaannya selalu terganggu menjelang bulan puasa.
Banyak penulis yang menyesalkan importasi sapi dari luar negeri, kemudian mengatakan mengapa tidak mengoptimalkan serapan sapi milik petani negeri sendiri, banyak pula yang mengait-ngaitkan sapi ini dengan gejolak politik di Australia, hubungan bilateral dengan India dan masih banyak lagi yang sebenarnya tidak menambah baik kondisi persapian kita, justru menyesatkan.
Persapian negeri kita benar benar sekarat, postur populasi sapi potong kita hanya sekitar 15 juta ekor pada tahun 2015, mengalami peningkatan sekitar 5% setiap tahunnya, sedangkan kebutuhan daging sapi potong meningkat 8% setiap tahunnya. Â Dapat dibayangkan perbedaan suplay dan demand tersebut akan senantiasa berlanjut tahun demi tahun, jika sejak awal import sapi (entah tahun berapa) menandai kekurangan daging sapi dari kebutuhan seharusnya, maka telah berapa persen selisih ketersediaannya sekarang ini dengan kenyataan impor yang luar biasa besarnya.
Menilik keadaan lapangan persapian mungkin bisa memberikan gambaran mengapa populasi sapi kita tidak pernah mencukupi kebutuhan daging kita.
1. Beternak itu nomor 2
Beternak di kampung halaman saya merupakan aktifitas nomor dua setelah bercocok tanam tanaman pangan dan palawija, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hasil ternak terkadang menjadi harapan utama dalam menyanggah kebutuhan keuangan dalam jumlah yang relatif besar. Â Petani menggeluti pertanian tanamannya dengan sangat telaten, mengeluarkan biaya besar untuk perbaikan performance tanaman namun hanya menyisihkan sedikit tenaga dalam memelihara sapi.
2. Persaingan sapi dan tanaman pangan
Lahan di Sumbawa boleh dikatakan subur karena hampir seluruh areal usaha telah menjadi sawah. Â Konflik sapi dan tanaman dalam memperebutkan lahan tampaknya selalu merugikan sapi, disaat musim tanam padi sapi hanya makan dipinggiran jalan ataupun pinggiran pematang, setelah panen padi lagi lagi sapi harus bersabar dengan memakan jerami tanpa olah karena lahan ditanami palawija maupun jagung, setelah palawija panen tampaknya menjadi kegembiraan bagi sapi karena rumput tumbuh suburnya dilahan dan itu bebas dikonsumsi bagi mereka, hanya selang bero ini sapi disumbawa tampak gemuk.
3. Pangan Pangan bernutrisi rendah
Mungkin rekan pembaca pernah melihat rumput yang tumbuh dipinggir jalan beraspal? nah jika pada musim tanam padi dan palawija, para sapi hanya mendapatkan asupan rumput liar pinggir jalan, anak-anak mereka terkadang menjadi korban tabrakan kendaraan.
4. Menitip sapi
Pegawai negeri, pengusaha lokal, dan tuan tanah di kampung saya kebanyakan memiliki sapi namun bukan mereka yang turun tangan mengelolanya secara teknis. Â Sapi tersebut di berikan kepada orang lain untuk dipelihara dengan imbalan bagi hasil. Â Pengetahuan tentang persapian kepada orang yang dititipi juga terbatas, bahkan banyak terjadi kasus kematian karena ketidakmampuan menangani permasalahan teknis.
5. Skala Usaha
Seorang peternak, dengan keadaan konflik hewan tanaman sebagaimana pembahasan sebelumnya, hanya dapat memelihara sapi sebanyak 10 ekor, lebih dari itu yakinlah si peternak akan cepat kelelahan.
6. "Without Wafer" Mirisnya
Pernah saya mengikuti pelatihan pembuatan pakan sapi di kupang Nusa Tenggara Timur, berbagai modifikasi pakan untuk pemenuhan gizi sapi telah banyak diramu oleh para ilmuan ternak kita, namun desimenasi di lapangan sangat terbatas. Â Wafer yang dibuat dari rumputan kaya nutrisi sangat jarang diterapkan petani secara berkelanjutan.
7. Program IB yang sesat
Inseminasi Buatan yang seharusnya mendukung keberlanjutan penambahan populasi justru terkadang merusak sistem reproduksi sapi lokal, hal ini terjadi karena semen jenis limosin atau brahman di insem ke dalam ovarium sapi bali. Â Ukuran pedet yang lahir menjadi sangat besar sehingga merusak organ reproduksi sapi bali.
8. Melepasnya di dalam hutan
Pernah sekali waktu saya melewati cagar alam, didalam cagar alam itu terlihat begitu banyak sapi yang telah dikalungi. Â Menurut pemandu saya waktu itu, sapi tersebut memiliki pemilik di kampung sekitar cagar alam, pemilik sapi hanya menjenguk sapi mereka jika ada yang membelinya dalam jumlah besar. Â jika ada yang hendak membeli 9 ekor, maka si empunya meminta tolong kepada grup penangkap untuk menangkap sapinya dan grup itu di imbali dengan seekor sapi. Â Mungkin inilah yang menyebabkan penyebutan pulau sumbawa sebagai pulau sapi dalam kitab sutasoma.
9. Memelihara dibawah kolong rumah panggung
Hal ini terjadi beberapa tahun lalu ketika sering terjadi kasus perampokan. Â Sekarang karena rumah panggung semakin sedikit jumlahnya para peternak memasukkan sapi sapi mereka ke dalam rumah bagian belakang (rumah permanen) untuk menghindari perampok sapi yang kerap meraja lela di pesisir utara sumbawa.
10. Ketika menjual petani untung kok, siapa bilang merugi?
Dengan pembiaran dalam pemeliharaan tersebut bagaimana dapat dikatakan peternak sumbawa merugi? justru peternak merasa sangat diuntungkan karena toh pengorbanan yang dikeluarkan juga sangat sedikit.Â
Ada yang mampu meramu solusi dari sepuluh kondisi peternakan disumbawa sebagaimana yang saya ceritakan? jika ada saya yakin akan menjadi pahlawan swasembada daging sapi Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H