Dari  indikator-indikator di atas, tampaknya model keberagamaan mereka memang cenderung intoleransi, dan menginginkan tegaknya Islam formalis (baca: khilafah) dan cenderung menggunakan aksi-aksi kekerasan seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya baru---baru ini, untuk memaksakan kehendaknya.Â
Jika boleh ditambahkan, ada satu ciri lain terkait dengan pemahaman al-Qur'an dan hadis yang digunakan di kalangan mereka yaitu; tekstualis, skriptualis bahkan kadang Arab sentris. Itu sebabnya lalu muncul paham-paham dari kelompok Islam radikal itu anti-Pancasila, anti-Demokrasi dan anti-NKRI sebab itu buatan manusia.Â
Mereka menafikan bahwa nilai-nilai Pancasila sebenarnya bagian dari tafsir atau pemahaman berbasis Al-Qur'an dan Hadis yang dijadikan pedoman bagi bangsa Indonesia yang multikultur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan Grand Syeikh Al-azhar Mesir, Ahmad Mohamad At-Tayeb mengatakan bahwa Pancasila tidak hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan justru merupakan esensi dari nilai-nilai ajaran Islam.
Di sinilah tugas dan tantangan para dosen, muballigh serta guru agama dewasa ini. Semua itu, menurut hemat penulis salah satunya disebabkan oleh model tafsir yang cenderung radikalis, tekstualis dan parsial, disamping tentu ada faktor-faktor lain, seperti politik, ideologi dan juga ekonomi.
Berikut ini penulis tampilkan beberapa ayat yang berpotensi mendorong perilaku radikal dan kekerasan sebagaimana digunakan untuk pembenaran terhadap aksi bom bunuh diri yang mereka sebut sebagai bentuk amaliyah dan istisyhadiyah.Â
Ayat-ayat al-Qur'an ini dikutip oleh Majalah Al-Fatihin yang ditafsirkan secara tekstualis dan dimaknai dan dipahami secara parsial, tidak mempertimbangkan ayat lain dan konteks turunnya ayat.
Ayat pertama;
Perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan, sebagaimana mereka telah memerangi kalian secara keseluruhan. (Q.S. at-Taubah/9:Â 36)
Pemahaman tekstual ayat ini dapat berpotensi melahirkan tindakan kekerasan, manakala orang lalu mendefinisikan orang musyrik dengan mereka yang tidak seakidah dan seiman dengan semena-mena. Lalu dengan serta merta mereka boleh diperangi dan dibunuh. Â Padahal kalau dicermati dari analisis kebahasaan, jelas bahwa redaksi ayat itu menggunakan bentuk musyarkah yakni "waqtil."Â
Yakni bahwa umat Islam disuruh memerangi orang kafir, manakala mereka memerangi umat Islam. Ketika mereka tidak memerangi, maka umat Islam tidak boleh memerangi mereka. Maka, apa yang disebut perang dalam Islam, sebenarnya cenderung bersifat defensif mempertahankan diri, manakala kita diserang, bukan ofensif (menyerang lebih dahulu). Dilihat dari segi konteks turunnya ayat itu juga jelas, yaitu bahwa orang-orang kafir waktu itu memerangi para sahabat Nabi. Meski demikian, Al-Qur'an juga menegaskan bahwa dalam memerangi mereka tidak boleh berlebihan sebagaimana firman Allah:
Perangilah dijalan Allah, orang-orang yang memerangi kalian, dan janganlah kalian berlebihan (dalam memerangi mereka). Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai orang-orang berbuat berlebihan. (Q.S. al-Baqarah/2: 190)