Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hak Angket: Urusan Pemilu Kok ke DPR?

11 Maret 2024   06:34 Diperbarui: 11 Maret 2024   06:44 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saat ini masih bergulir persoalan hak angket DPR yang digagas oleh salah satu capres. Gagasan ini untuk mengusulkan hak angket pada DPR yang dilatari oleh dugaan adanya kecurangan pemilu 2024 lalu. Padahal segala urusan tetek bengek terkait penyelenggaraan pemilu dan hasilnya sudah diatur oleh UU No.17 tahun 2017 tentang Pemilu.

Bahkan sebagai manifestasi negara demokrasi dengan rutinitas melaksanakan peralihan kekuasaan secara damai yang melibatkan rakyat melalui pemilu ini dibentuk oleh pemerintah sebuah lembaga independent yang punya tugas, kewenangan dan tanggungjawab di semua aspek pemilu.

Lembaga itu tiada lain Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Lembaga-lembaga ini yang mutlak memposisikan dirinya sebagai lembaga yang netral, tidak mudah diintervensi, maupun kerja ekstra untuk meyakinkan publik bahwa pelaksanaan pemilu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Hanya saja setiap usai pemilu senantiasa muncul masalah baru yang rata-rata menyangkut dugaan kecurangan. Puncaknya usulan untuk menyelidikinya melalui hak angket DPR. Apakah memang demikian caranya sehingga anggota DPR 2019-2024 yang sedang santai jelang masa purna tugasnya itu diminta untuk lembur?

Memahami Urusan Pemilu

Pemilu nasional senantiasa dilaksanakan lima tahun sekali sebagaimana amanat konstitusi yang didasarkan atas masa kerja lima tahun kepemimpinan presiden dan wakil presiden.

Karena itu penyelenggaraan pemilu tidak dilaksanakan oleh pemerintah, tapi oleh suatu lembaga yang secara mandiri punya kewajiban untuk melaksanakannya. Di antaranya KPU, yang mengurusi semua teknis, tatacara, dan pencalonan tiap peserta kontestasi ini.

Kemudian Bawaslu, yang melaksanakan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemilu, baik di pusat maupun di daerah, serta DKPP yang mengawal para aktor penanggungjawab pelaksanaan pemilu bila ditemui ada  para penyelenggara itu yang dipandang melanggar aturan selama proses pemilu tersebut.

Sampai di sini kemudian publik mengisyaratkan adanya dugaan pelanggaran pemilu,  mulai dari proses awal hingga hasil akhir perhitungan suara, dan puncaknya usulan Hak Angket ke DPR yang konon dilatari oleh adanya indikasi kecurangan.

Bila mencermati  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka ada 3 (tiga) jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administratif dan tindak pidana pemilu.

Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran etika penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.

Pelanggaran kode etik ini ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan putusannya berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap atau rehabilitasi.

Kemudian pelanggaran administratif, yakni pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan pemilu.

Pelanggaran administratif pemilu ditangani oleh Bawaslu dan putusannya berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu atau sanksi administratif lainnya sesuai undang-undang pemilu.

Selanjutnya adanya pelanggaran tindak pidana pemilu, yakni tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu serta undang-undang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Tindak pidana pemilu ditangani oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam forum/lembaga Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Perkara tindak pidana pemilu diputus oleh pengadilan negeri, dan putusan ini dapat diajukan banding kepada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

Dengan demikian tampak bahwa urusan yang berkenaan dengan pelanggaran pemilu didasarkan atas ketentuan UU pemilu, maka Bawaslu dan DKPP didukung oleh penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk menanganinya.

Tentang pelanggaran Pemilu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dan secara teknis terkait pencegahan dan penanganannya diatur pula dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (PerBawaslu) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencegahan Pelanggaran dan Sengketa Proses Pemilihan Umum.

Secara umum, Pelanggaran Pemilu adalah tindakan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait pemilu. Pelanggaran pemilu dapat berasal dari temuan atau laporan.

Hal ini tertuang dalam Pasal 454 UU Pemilu. Temuan pelanggaran Pemilu adalah hasil pengawasan aktif Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Luar Negeri, dan Pengawas TPS pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

Di pihak lain, laporan pelanggaran pemilu adalah laporan langsung Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, Peserta Pemilu, dan pemantau Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu

Lalu bagaimana cara melaporkannya? Cara Melaporkan Pelanggaran Pemilu melansir situs Bawaslu, selain berdasarkan temuan dan laporan Bawaslu, laporan pelanggaran Pemilu juga bisa langsung dilaporkan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak pilih, peserta pemilu, dan pemantau pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS.

Laporan pelanggaran Pemilu ini dapat disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat nama dan alamat pelapor, pihak terlapor, waktu, tempat kejadian perkara dan uraian kejadian. Laporan pelanggaran Pemilu disampaikan paling lama 7 hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan adanya pelanggaran.

Oleh karena itu persoalan pelanggaran pemilu maupun teknis pelaksanaan di dalam penanganannya telah diatur secara detail oleh UU Pemilu. Bahkan bila ditemui ada dugaan kecurangan di dalam proses pemilu ini, mekanismenya pun sudah disediakan. Tinggal selanjutnya bagaimana masyarakat memberikan bukti-bukti atas adanya pelanggaran maupun kecurangan tersebut.

 

Hak Angket DPR Untuk Kecurangan Pemilu?

DPR sebagai lembaga legislatif punya fungsi pengawasan, dan anggaran terhadap lembaga eksekutif (pemerintah). Selain itu DPR juga dibekali hak  tertentu, seperti hak menyatakan pendapat, hak interpelasi, hak angket, dan hak imunitas, serta hak-hak lainnya jika ada.

Sehubungan hebohnya Hak Angket terkait urusan pemilu, maka hak angket ini menjadi salah satu pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 73 berbunyi:

"Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan."

Tidak cukup sampai di situ, untuk hak angket ini juga disertai persyaratan untuk mengajukannya. Syarat semacam ini diatur UU No.17 tahun 2014 tersebut, memuat  hak angket itu wajib diusulkan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. 

Sementara pengusulan hak angket harus disertai dokumen yang memuat setidaknya materi kebijakan dan/atau pelaksanaan UU yang diselidiki dan alasan penyelidikan. Usulan hak angket tersebut diterima jika mendapatkan persetujuan dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR.

Keputusan hak angket diambil dari persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna tersebut.

Di lain pihak, ada beberapa langkah supaya pengusul dapat mengusulkan hak angket ke DPR.

Berikut langkah-langkah selengkapnya:

1. Usulan hak angket disampaikan pengusul kepada pimpinan DPR dan diumumkan kepada semua anggota dalam rapat paripurna.

2.Badan Musyawarah menjadwalkan rapat paripurna atas usul hak angket dan memberikan kesempatan pengusul memberikan penjelasan atas usulannya.

3.Pengusul berhak mengubah dan menarik usulan ke pimpinan DPR secara tertulis selama hak angket belum disetujui.

4. Jika jumlah pengusul hak angket tidak mencukupi atau mengundurkan diri, maka harus ada penambahan pengusul atau rapat paripurna ditunda.

Dari uraian tersebut yang patut digarisbawahi adalah ketentuan UU No 17 tahun 2014 yang menyebut perihal kebijakan pemerintah, dan rapat paripurna terkait usulan hak angket ini.

Sebagai lembaga eksekutif (pemerintah), maka sudah sewajarnya menjadi mitra kerja legislatif. Segala urusan pemerintahan melalui kabinet, maupun lembaga/badan dijalankan fungsinya sesuai peraturan perundang-undangan. Karena sudah diatur demikian, maka tidak menjadi soal baru lagi. Segala kritik maupun koreksi acapkali diketahui publik dari media massa.

Jadi kebijakan pemerintah itu tidak lepas dari fungsi pengawasan DPR. Lalu bagaimana hubungannya dengan Hak Angket DPR mengenai kecurangan pemilu? Jika pemerintah dihubungankan dengan urusan tetek bengek pemilu, kemana ujungnya?

Sudah jelas UU Pemilu menegaskan segala proses pelaksanaan pemilu sudah dilakukan secara independen oleh lembaga KPU, maupun Bawaslu, dan DKPP. Sudah pasti pemerintah bakal menolak  dengan tegas urusan hak angket yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu, baik dugaan  curang maupun yang tidak curang. Semua itu akan dikatakan sebagai urusan lembaga independen. 

Apalagi bila yang dijadikan tema besar dalam persoalan usulan hak angket ini bersumber dari suatu isu yang punya nuansa politis, maka menyuguhkan fakta-fakta, sekaligus bukti-bukti menjadi pekerjaan yang tidak ringan bagi semua partai politik yang mendukung usulan hak angket tersebut.

Selanjutnya mengenai rapat paripurna atas usulan hak angket ini. Diketahui bahwa dukungan partai politik pada pemerintahan sekarang sangat besar, yang ditandai oleh sejumlah partai ( fraksi DPR) yang masih solid.

Boleh saja usulan hak angket ini disetujui sejumlah anggota, tapi akhirnya di rapat paripurna juga semua diputuskan. Kalau sudah di paripurna, maka urusan voting untuk menghindari perdebatan yang bertele-tele menjadi solusi. Karena itu semestinya bila terdapat adanya indikasi kecurangan pemilu yang masif, terstruktur dan sejenisnya, mengapa tidak Bawaslu dan KPU yang digeruduk untuk menjawab hal ini.

Tentu KPU dan Bawaslu pun akan meminta segala bukti dugaan pelanggaran maupun kecurangan tersebut untuk ditindak lanjuti.

Di pihak lain, menurut pemberitaan media massa, pihak paslon pilpres yang kalah akan menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi setelah usai pengumuman resmi KPU mengenai hasil akhir penghitungan suara.

Soal ini sebagaimana cerita pilpres 2014 dan 2019 yang putusan akhirnya tidak mengubah apapun. Pemenang pilpres tetap dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. 

Sementara itu perkara akankah hak angket ini berujung pada pemakzulan presiden kelak?Rasa-rasanya jauh panggang dari api, kecuali kenaikan harga tinggi sembako tidak terkendali, sehingga terjadi kelaparan merajalela, atau modal asing mendadak ditarik dari bursa saham dalam jumlah maksimal.  

Penutup

Dari uraian itu setidaknya bisa dimengerti bahwa urusan pemilu sudah ditangani oleh lembaga independen, yang bebas dari intervensi pemerintah. Sehingga segala dugaan pelanggaran maupun kecurangan sudah diatur lengkap sesuai UU.

Bila kemudian masuk ke wilayah DPR, dengan usulan hak angket itu maka sudah menjadi kerja politik dengan agenda yang sifatnya politis pula. Hanya saja UU pemilu beserta instrumen pelaksananya menjadi sia-sia, dan terkesan tidak dianggap sama sekali. Padahal negara ini negara hukum.

Namun begitu heboh usulan hak angket ini juga bagian dari demokrasi. Perkara apakah cuma gertak sambal atau mengukur atensi publik agar tertarik untuk mata memandang ke arah Senayan, lihat saja prosesnya. Yang jelas bila ada sengketa pemilu ujungnya itu di Mahkamah Konstitusi.

*Dari berbagai sumber bacaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun