Paling tidak bila dua partai ini punya kesamaan kepentingan politik untuk menarik simpati publik, pada saat agenda legislais kelak, salah satunya mengenai pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset maka bukan tidak mungkin dukungan rakyat akan mencuat.
Kendati lagi-lagi di dalam pelaksanaannya itu tetap saja sulit, kecuali memang, baik dari pemerintah maupun partai pendukungnya mengagendakan untuk pembahasan UU tersebut.
Untuk itu memang idealnya di suatu negara demokrasi, partai oposisi mutlak keberadaannya yang serta merta berjalan tatkala dalam suatu pilpres, koalisi yang mengusung paslon capres dan cawapres mengalami kekalahan.
Tapi ini Indonesia dengan segala keunikan politiknya. Satu sisi partai koalisi unggul pada pilpres, namun di sisi lain, partai koalisi yang kalah dalam pilpres itu, unggul suara di pileg (parlemen pusat). Jadi bagaimana menjelaskan politik di parlemen dengan banyak partai dengan hasil yang demikian?Karenanya baik PDIP maupun PKS mesti memantapkan diri sejak sekarang untuk siap sedia sebagai dua partai oposisi yang tidak punya wakilnya di kabinet.
Penutup
Apapun ideologi dan tujuan politik partainya, suatu koalisi partai yang mengusung pasangan capres dan cawapres yang kalah lazim disebut koalisi partai oposisi. Kehadiran koalisi partai oposisi di parlemen sebagai bagian tugas pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.Â
Meski di saat yang sama, koalisi partai pendukung  juga existing untuk mengawal program dan kebijakan pemerintah. Namun demikian terlepas dari ada atau tidak adanya koalisi partai oposisi di parlemen kelak, tetap saja kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Hanya saja parlemen tanpa partai oposisi di negara yang mengklaim negara demokrasi menjadi tidak asik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI