Senja di hari Minggu perlahan pudar. Awan taklagi berarak,dan menghilang ditelan gelap. Malam datang dengan tenang dan damai. Sekumpulan burung juga tidak terlihat lagi melintasi pepohonan yang biasanya batang ranting kecilnya patah dihinggapi sesaat saja oleh mereka.
Aku dari balik jendela puas memperhatikan fenomena semesta itu. Segera kemudian aku menutup jendela kusam  berwarna putih  yang terlihat rusak di sana sini. Rasanya jendela ini meminta untuk diganti. Tapi saat ini biarkan saja begitu. Mungkin lain waktu bisa sekalian direnovasi.
Di meja, layar komputer kubiarkan tetap menyala. Tumpukan buku masih tercecer di sekitarnya. Sesaat istriku masuk ke ruang kerja, dan memunguti beberapa buku yang terserak, lalu ditempatkan hati-hati  di rak buku di belakangnya.Â
Aku memperhatikan dengan diam sembari memuji dan menghaturkan terima kasih . Ia menoleh sesaat ke arahku dan tersenyum seolah tau aku sedang memperhatikannya.
Katanya,"buku-buku ini adalah jembatan pertemuan  kita dulu. Buku-buku ini mesti dirawat. Mas itu sering abai untuk sekadar meletakkan rapi dirak ini."
Aku tidak menimpali. Ungkapan ini sudah yang kesekian kali,dan anehnya justru ia tidak bosan, dan aku malah senang . Selesai itu ia perhatikan layar komputer yang masih menyala di meja,dan membuka pertanyaan  yang ketiga kali seingatku. Â
"Foto itu memang bagus. Dan itu peninggalan  sejarah nenek moyang bangsa kita. Kenapa mas masih suka melihatnya. Apa belum pernah ke situ ya?
Spontan ia kali ini bertanya tanpa ragu tampak ingin memastikan bahwa tempat dan lokasi di foto itu belum pernah aku kunjungi. Aku mulanya tidak ingin menjawab atau malu untuk jujur bilang bahwa seumur hidupku belum pernah datangi tempat yang terkenal ini. Tapi sekarang mesti bilang. Barangkali kelak ada rezeki untuk bisa berkunjung bersamanya.
Sembari tersenyum malu aku katakan,'belum pernah dik!"
Mendengar itu istriku menahan tawa. "Jadi mas selama ini tau Borobudur' dari pelajaran sekolah dulu?!"
Aku tidak menjawab dan langsung mengecup kening istriku, dan keluar kemudian dari ruang kerja di kamar ini. Diikuti langkah kecilnya.
Malam pun menyusul datang diiringi azan Maghrib yang berkumandang. Kami gegas kemudian memenuhi panggilan syahdu itu.
-------
Hari terus berganti. Tidak ada yang istimewa dari kehidupan rumah tangga kami. Â Semua berjalan dengan apa adanya meski sekian tahun belum dikaruniai seorang anak pun.