Bakal calon presiden (Bacapres) akan menjadi calon presiden dan wakil presiden tatkala sudah mendaftarkan diri secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU sudah menentukan batas masa pendaftaran Bacapres tanggal 19-25 Oktober hingga penetapan nomor urut pasangan calon di tanggal 14 Nopember 2023. Sesudahnya kemudian agenda kampanye sampai masa pencoblosan.
Sebagai suatu pesta demokrasi lima tahunan dan proses pergantian kepemimpinan tentu akan disambut dengan suka cita oleh rakyat, atau malah duka cita ketika segala fitnah, ujaran kebencian, politik uang, politik identitas SARA dan yang  serupa negatifnya ini berseliweran di jagad maya maupun nyata. Tentu tujuannya ini untuk saling menarik simpati atau empati melalui cara saling menjatuhkan lawan dan menjadikannya rivalitas hingga ke sumsum tulang.
Semoga harapannya tidak demikian kelakyang terjadi.
Sebagai Bacapres, baik Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, maupun Anies Baswedan sudah pemanasan untuk menyampaikan gagasannya bila kelak menjadi presiden. Pemanasan gagasan politik, baik yang diinisiasi oleh kalangan civitas akademika (kampus) maupun di luar itu namun bertempat di kampus (Najwa Shihab) patut diapresiasi.
Setidaknya dari apa yang disampaikan oleh para Bacapres itu tetap muaranya adalah konstitusi UUD 1945. Pun ketika forum resmi demikian diagendakan oleh KPU untuk penyampaian visi dan gagasan para Capres tersebut.
Visi dan gagasan para Bacapres ini adalah visi dan gagasan konstitusi. Mereka tentu tidak akan menyampaikan visi politik secara konkrit namun akan selalu berada di wilayah abstrak yang ideal. Akan keliru bila visi dan gagasan konkrit itu berlawanan dengan konstitusi UUD 1945 dan pembukaannya di mana tegas secara abstrak menyebutkan di antaranya,"untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia."
Tidak ada jalannya bila visi politik, ideologi, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, luar negeri dan seterusnya selain dari hal tersebut. Semua kader bangsa yang bakal menjadi pemimpin negeri tetap akan selalu merujuk pada konstitusi UUD 1945.
Untuk menjadikannya nyata aktivitas kekuasaan di dalam pemerintahan kelak oleh para pemenang tersebut senantiasa memegang prinsip kebijakan yang berlandaskan Undang-Undang.
Sudah kadung diketahui umum tiap kebijakan pemerintahan sejak reformasi ini bertumpu pada program kerja yang diusung para capres tersebut selama masa kampanye. Maka UU tentang perencanaan pembangunan nasional menjadi rujukannya.
Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan akan menjalankan dan mengendalikan segala programnya yang didukung oleh kementerian dan badan, melalui sistim politik desentralisasi dan otonomi daerah yang berdasarkan undang-undang pula. Di sini ada pemerintah pusat dan ada pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan yang terikat oleh sistim otonomi yang bersifat khusus maupun umum.
Misalnya di masa kampanye calon presiden akan menjalankan program reformasi politik di bidang agraria. Maka ia dalam konteks sebagai pejabat presiden akan merujuk pada UU Pokok TENTANG Agraria dengan antara lain memberikan sertifikat tanah secara cuma-cuma pada warga negara dengan skala prioritas tertentu. Berapa juta tanah rakyat yang akan disertifikasi selama masa kepemimpinannya. Hal ini kemudian menjadi tanggungjawab kementerian ATR/BPN untuk mentargetkan misalnya 126 juta sertifikat tanah.
Sampai di sini maka program demikian akan dijalankan, bila tidak tercapai kemungkinan akan dilanjutkan oleh presiden penggantinya. Atau mengenai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan izin atau konsesi lahan di tiap daerah yang punya potensi sumberdaya alam yang sangat besar ditargetkan sekian juta hektar untuk swasta di seluruh nusantara, maka bila tidak tercapai atau malah terjadi ketidakadilan, maka pemerintah bertanggungjawab untuk menyelesaikannya.
Namun demikian dalam prakteknya itu segala visi dan gagasan akan selalu berkelindan dengan aktor politik dan partai politik di tiap program kebijakan yang dijalankan pemerintah.Karena memang jabatan presiden adalah jabatan politik yang akan selalu menguntungkan bagi partai politik pengusung maupun para koalisi politik kekuasaan itu.
Sementara rakyat pemilih yang biasa maupun fanatik tetap sebagai penonton yang belum tentu juga akan menikmati manfaat dari apa yang mereka perjuangkan dengan polah biasa dan fanatismenya itu. Jadi soal pilpres, gagasan para Bacapres ini tetaplah disikapi dengan santuy tanpa diliputi suasana kebathinan yang dipenuhi amarah dan kebencian. Namun optimisme Indonesia kian maju tetap menjadi harapan.Â
Karena apapun visi dan gagasan Bacapres dan Capres itu tetap muaranya adalah Konstitusi UUD 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H