Oleh karenanya menjadi mustahil bila kebijakan ERP ini ditargetkan untuk mengurangi, menurunkan, bahkan menghilangkan kemacetan di Jakarta ini.
Apalagi sebagian masyarakat pengguna jalan di Jakarta yang punya kendaraan roda empat tentu punya kemampuan untuk membayar ERP ini di kisaran Rp5000 hingga Rp20 ribu.
Ketimbang telat dan terhambat untuk melakukan aktivitas, mereka rela membayarnya. Kecuali harga yang harus dibayar untuk menggunakan jalan itu diangka ratusan ribu. Bisa jadi pemilik kendaraan pribadi akan berteriak. Bagaimana mungkin jalan umum sebagai hak masyarakat untuk menikmati kemerdekaan setelah membayar pajak, masih dihadapi pungutan semacam ini?
Di pihak lain, rumus yang dijadikan referensi untuk kebijakan ERP itu sepertinya meniru negara Singapura, Inggris, Jerman, Belgia, Swedia, dan mungkin Hongkong.
Melihat profile negara di Eropa dan kawasan Asia ini boleh jadi mereka sukses menerapkan kebijakan tersebut. Terutama di negara Eropa. Yang tentunya masyarakat di negara tersebut tergolong masyarakat maju yang punya budaya disiplin, dan taat aturan.
Sementara Singapura dan Hongkong bukan tidak mungkin macet bisa terurai atau kemacetan tidak ada sama sekali dengan kebijakan ERP-nya itu yang sifatnya sementara.
Karena seiring dengan kemampuan daya beli dan cara hidup yang sejahtera di negara tersebut maka populasi kendaraan yang masuk pun akan tidak terelakan. Walhasil pelan-pelan persoalan kemacetan terulang kembali. Terlebih negara seperti Singapura itu.
Lalu apa sanksinya bagi Pemda?
Bila kebijakan tersebut jadi dilaksanakan dengan payung aturan berupa perda, dan selanjutnya dalam kenyataannya tidak juga mengurangi kemacetan, sanksi apa yang diberikan pada Pemda?
Dari literatur hukum, tidak ditemukan mengenai sanksi bagi pembentuk peraturan perundang-undangan bila aturan dan kebijakan itu tidak sebagaimana yang diharapkan dan tujukan.
Aturan yang dibuat hanya bersifat sepihak dan memaksa bagi masyarakat. Ditaati atau tidak sama sekali, memiliki resiko dan konsekuensinya masing-masing.