Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal Jembatan

11 Januari 2023   20:19 Diperbarui: 11 Januari 2023   20:24 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aktivitas masyarakat tetap ramai. Kendati gerimis masih menyertai di sore hari ini. Burung-burung juga tidak terlihat beterbangan di sekitarnya. Biasanya bila cerah, satu atau dua ekor burung hinggap di pembatas tiap sisi pagar jembatan.

Jembatan yang menghubungkan dua desa itu tampak kokoh dan kuat hingga sekarang. Sudah puluhan tahun berjalan tiada pernah rusak. Sekalipun diterjang banjir.

Padahal sungai yang mengalir di bawah jembatan ini lebar dan beraliran cukup deras.

Tapi desas desus sudah lama menyebar. Kokohnya jembatan karena tiang pancangnya di empat titik telah ditanam sesuatu.

Bisik orang-orang,"ada satu anak  yang ditanam."

***

Tahun 1970. 50 tahun lalu.

Dua kepala desa yang dibelah sungai telah sepakat untuk membangun jembatan. Dana bantuan sudah diterima. Tenaga kerja atau tukang sedia. Juga bahan material yang diperlukan akan disiapkan segera.

Pendek kata proses pembangunan pun mulai berjalan. Warga dua desa bergotong royong senang. Mereka melakukannya dengan cepat dan giat.

Sebab mereka sangat menginginkan jembatan ini cepat selesai sebagai jalur transportasi yang bisa memudahkan aktivitas segala macam.

Karenanya tidak makan waktu lama, jembatan sudah berdiri dengan megah. Dan, tempo kurang dari satu minggu direncanakan semua sudah tuntas dikerjakan.

Suatu siang di tengah waktu istirahat, para pekerja mulai menyingkir. Mereka satu persatu mengambil bungkusan nasi dari daun jati yang sudah disiapkan warga untuk disantapnya.

Mandor Bagja menuju salah satu sisi tiang pancang. Ia ingin memastikan pondasi dan tiang jembatan sudah terpasang aman seraya duduk bersila di dekatnya.

Sebungkus nasi dan lauk pauk ia santap lahap, sesekali didorong dengan air minum. Seorang tukang yang berumur senior dan mahir memainkan benda tajam, bernama Rewang mendatanginya. Ia tangan kanan mandor yang setia. Juga turut menikmati makanan yang dibawanya untuk menemani mandor.

"Satu minggu lagi jembatan selesai, pak,"katanya membuka percakapan.

"Semoga saja tiada halangan."

"Tapi tumbal belum ditanam,"bisik Rewang pelan.

"Memangnya sudah sedia?"

"Sudah."

"Berapa?"

"Satu."

Wajah keduanya tampak tenang sekaligus senang. Mandor mengingatkan agar tumbal dijaga sampai waktunya ditanam.

Kendati untuk urusan tumbal ini sejatinya mereka menolak. Tapi mau bagaimana lagi itu syarat yang harus dipenuhi di setiap ada proyek semacam ini. Sebab ada alokasi dana khusus untuk operasi  proyek jembatan.

***

Di lain tempat, suatu kampung yang jauh dari proyek jembatan ini masyarakat dihebohkan oleh hilangnya seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun. Ciri-cirinya, tinggi sedang, kurus dan berkepala gundul.

Satu warga dari kampung itu mengaku ia melihat anak itu sedang dibawa seseorang ke arah pasar. Ia mengira yang membawa adalah kerabatnya.

Sementara seorang ibu warga kampung itu yang kebetulan ada di pasar juga menambahkan, anak itu terlihat dimasukan ke dalam mobil.

Laki-laki atau perempuan kah yang membawanya tidak dirinci oleh mereka. Apakah anak itu gundul juga tidak disebutkan. Singkatnya kebenaran kabar terlihatnya anak itu oleh warga tersebut diragukan.  Hingga Kedua orang tua anak itu pun melaporkan pada pihak kepolisian.

"Laporan bapak dan ibu kami akan tindak lanjuti,"kata polisi di kantornya.

"Semoga anak kami bisa secepatnya ditemukan, pak,"rintih si ibu mengiba.

"Selekasnya!"tukas  polisi memastikan.

Kedua orang tua itu tidak lagi bisa berbuat banyak. Semua diserahkan sepenuhnya pada pihak kepolisian.

Sejak hilangnya seorang anak laki-laki itu tiap keluarga semakin ketat menjaga anak-anaknya. Mereka rata-rata percaya anak itu hilang karena diculik.

Penculikan anak memang sedang ramai diberitakan oleh koran nasional maupun daerah. Termasuk laporan kedua orang tua itu juga telah diberitakan oleh koran daerah atas informasi dari pihak kepolisian.

Berita demikian sampai juga pada mandor proyek jembatan.

Mandor berpikir, "jangan-jangan anak itu yang saat ini dijaga oleh Rewang."

***

Saat malam itu ia datangi kediaman Rewang. Namun di kediamannya sepi dan gelap. Hanya seekor kerbau muda yang terikat pada pohon mangga yang rindang di bagian samping rumahnya.

Kata tetangga," semua penghuni di rumah itu pergi semua sejak habis maghrib."

"Ada keperluan apa mereka pergi?"

"Tidak tahu,"jawabnya.

Mandor yakin, Rewang sudah tahu berita itu juga sehingga membuatnya panik, dan meminta semua keluarganya untuk bergegas pindah, dan mencari tempat yang aman untuk anak itu.

Tapi ia menduga lagi kepindahan mereka bakal sementara sampai situasi tenang. Dan, kembali mendiami rumahnya itu bersama seorang anak yang diberitakan.

Ia berharap saat tumbal ditanam pada suatu malam kelak situasinya tidak seheboh berita hilangnya anak itu. Tapi perkiraannya meleset.

Esok paginya Rewang muncul di proyek jembatan itu. Wajahnya menampakkan kegembiraan. Tapi mandor justru tidak menaruh curiga.

Baginya itu isyarat saja. Semua tentang tumbal telah aman. Rewang pikirnya selalu pandai menyimpan tiap rahasia.

Ia pun meminta Rewang seraya berbisik hati-hati, "dua hari lagi tumbal segera di tanam."

"Tengah malam seperti biasa?"

"Ya seperti biasa. Jangan lupa dibungkus kain putih."balasnya yang ia rasakan bulu di tengkuknya berdiri kala memberi perintah itu.

***

Sebagaimana yang dijanjikan, tengah malam itu keduanya sudah berada di salah satu sisi tiang. Lubang galian untuk penanaman tumbal juga sudah disiapkan sejak pekerjaan siang hingga sore di hari itu.

Tidak ada satu pekerja pun yang curiga kala penggalian itu sebab mandor bilang lubang itu untuk menguatkan pondasi jembatan. Rewang juga menutup mulut.

Segera sesudah dianggap cukup kedalamannya, lubang itu pun ditutupi dengan sisa kantong semen yang masih berserakan pada sore hari tadi.

"Berapa meter dalamnya ini?"tanya mandor seraya menyorot dengan senternya.

"Dua meter."balas Rewang.

"Cukup dalam juga."

"Iya pak,"kata Rewang yang melangkah memunggungi mandor untuk mendekat pada bungkusan kain putih yang tebal dan besar. Bungkusan itu diikat menyerupai mayat yang sejak tadi dibawa dengan gerobak kecil, dan diletakkan di dekat lubang.

"Segera tanam pelan-pelan. Tolong minta maaf pada almarhum. Ini semua demi kebaikan masyarakat."

Rewang samar-samar mendengar perintah itu namun ia sudah meletakkan bungkusan tersebut untuk ditanamnya. Sementara mandor Bagja menyingkir dan menjauh.

Ia tidak mau tahu lagi urusan tumbal ini. Ia juga tampak gelisah dan merasa bersalah. Berkali-kali bibirnya bergetar.

Ia mengucapkan permintaan maaf atas kekejaman dirinya, juga Rewang yang punya nyali berdarah dingin ini. Kepada Tuhan ia pasrah.

Lima langkah dari situ Rewang menyusul mandor. Semua dikatakan padanya telah rapi dan tidak menimbulkan jejak. Namun mandor tidak menjawab. Ia melangkah lunglai yang disusul Rewang melangkah cepat seperti hendak berlari dengan gerobaknya. (Cerita Berlanjut)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun