Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Masih Tersisa Darimu, Ibu

21 Desember 2022   07:52 Diperbarui: 21 Desember 2022   07:57 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu itu hujan menghadang langkah kaki kecilku untuk pulang ke rumah dari sekolah. Dan sebagian tubuhku terguyur basah.

Kemudian di pojokan warung takbertuan beratap jerami  itu aku berteduh. Aku mendekap tas berbahan kain yang berisi buku  berharap kehangatan darinya.

Di sini tiada seorangpun yang peduli ketika aku mulai menggigil oleh hujan yang kian deras. Satu hingga dua jam aku masih bersabar untuk tidak menantang petir dan tumpahan air mata langit itu. Namun isi perut bersorak riuh meminta aku segera berlari menjauhi tempat ini.

Aku berlari, dan terus berlari di bawah suara-suara dari langit yang menyambar-nyambar. Anehnya aku tertawa dan berkata, "aku sudah berani melawanmu!"

Aku tiba di muka pagar rumah. Tubuhku basah juga tas serta isinya. Langkahku terhenti kala menatap dingin  mata ibu yang memandang ke arahku. Aku tertunduk takkuasa mengangkat muka seraya maju melangkah melewatinya.

Dibiarkannya aku masuk dan mengurus sendiri semua yang aku alami. Sesudah rapi dan hangat kembali di tubuh aku keluar kamar, dan menuju dapur untuk makan.

Namun ibu sudah menyiapkan dan duduk di kursi dekat meja makan menunggu sejak tadi. Tidak ada ucapan yang keluar. Ibu hanya menuangkan nasi dan lauk pauk, lalu dengan lembut menyerahkan piring itu ke hadapanku.

Aku pun makan dengan lahap dan tenang. Ibu juga mengisi gelas kosongku dengan teh hangat yang barusan dibuatnya. Tidak ada percakapan selama aku menikmati makanan ini.

Aku berpikir ibu marah karena aku tidak bersabar menunggu hujan reda.

Setelah aku selesai membungkam sorak perutku, ibu mulai bertutur pelan.

"Nak, hari ini hujan bukan lagi penghalangmu setelah panas sudah terlewati. Kelak kamu akan mengerti apa yang ibu katakan ini."

***

Siang itu hujan sangat deras. Anak perempuanku yang ada di sisi kiri aku mengemudi melihat anak seusianya berteduh di muka sebuah toko. Ia membuka percakapan.

" Ayah, kenapa anak lelaki itu tidak ada yang jemput?"

"Ayah tidak tahu. Tapi ayah percaya ia akan berlari dan menantang petir dan hujan."

Mendengar itu anak perempuanku tersenyum yang sudah menyadari dirinya juga selalu senang oleh datangnya hujan. Kendati istriku selalu mewanti-wanti untuk  tetap sedia payung kemana pun kaki melangkah.

Namun aku tetap mengenang apa yang tersisa dari yang ibuku dulu pernah katakan. Kini aku mengerti panas dan hujan bukan soal cuaca semata akan tetapi bagian dari kehidupan yang mesti kuat dijalani di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun