Waktu itu hujan menghadang langkah kaki kecilku untuk pulang ke rumah dari sekolah. Dan sebagian tubuhku terguyur basah.
Kemudian di pojokan warung takbertuan beratap jerami  itu aku berteduh. Aku mendekap tas berbahan kain yang berisi buku  berharap kehangatan darinya.
Di sini tiada seorangpun yang peduli ketika aku mulai menggigil oleh hujan yang kian deras. Satu hingga dua jam aku masih bersabar untuk tidak menantang petir dan tumpahan air mata langit itu. Namun isi perut bersorak riuh meminta aku segera berlari menjauhi tempat ini.
Aku berlari, dan terus berlari di bawah suara-suara dari langit yang menyambar-nyambar. Anehnya aku tertawa dan berkata, "aku sudah berani melawanmu!"
Aku tiba di muka pagar rumah. Tubuhku basah juga tas serta isinya. Langkahku terhenti kala menatap dingin  mata ibu yang memandang ke arahku. Aku tertunduk takkuasa mengangkat muka seraya maju melangkah melewatinya.
Dibiarkannya aku masuk dan mengurus sendiri semua yang aku alami. Sesudah rapi dan hangat kembali di tubuh aku keluar kamar, dan menuju dapur untuk makan.
Namun ibu sudah menyiapkan dan duduk di kursi dekat meja makan menunggu sejak tadi. Tidak ada ucapan yang keluar. Ibu hanya menuangkan nasi dan lauk pauk, lalu dengan lembut menyerahkan piring itu ke hadapanku.
Aku pun makan dengan lahap dan tenang. Ibu juga mengisi gelas kosongku dengan teh hangat yang barusan dibuatnya. Tidak ada percakapan selama aku menikmati makanan ini.
Aku berpikir ibu marah karena aku tidak bersabar menunggu hujan reda.
Setelah aku selesai membungkam sorak perutku, ibu mulai bertutur pelan.
"Nak, hari ini hujan bukan lagi penghalangmu setelah panas sudah terlewati. Kelak kamu akan mengerti apa yang ibu katakan ini."