Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku Pikun

18 Desember 2022   17:54 Diperbarui: 18 Desember 2022   17:55 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Huruf dan baris kalimat dari buku yang dibacanya terlihat kabur. Padahal baru lima halaman dari bab pertama yang ia sudahi untuk membaca.

Buku novel Arus Balik karya Pramudya Ananta Toer yang lumayan tebal itu menarik perhatiannya sekarang ini. Ia tutup buku itu sementara untuk mencari kaca mata yang biasa dipakai.

Pikirnya mungkin ada di laci meja kerja, atau ditumpukan makalah yang semalam baru diselesaikannya untuk seminar esok. Ia mencarinya namun tidak ditemukan juga. Di rak buku pun sudah disusuri.

Tampak anak gadisnya yang akan kuliah di luar kota untuk tahun ini sedang menikmati tayangan televisi melihat ayahnya sedang mencari sesuatu. Barangkali ia bisa membantu, pikirnya.

"Ayah cari apa?"

"Ayah sedang baca novel tapi baru dua halaman kok terasa loncat-loncat hurufnya."

"Iya, terus ayah cari apa sampai mondar mandir begitu?"

"Kacamata. Ayah lupa menaruhnya tadi."

"Ya ampun, kacamata itu dipakai ayah,"tekan anak gadisnya ini.

Ia tidak merabanya namun melangkahkan kaki meninggalkan anak gadisnya menuju ke arah cermin di kamar untuk memastikan.

"Kemarin pulpen di saku saat mau tandatangan dokumen juga lupa. Sekarang saat baca juga begitu. Kenapa ini?"

Ia bertanya dalam hati tidak pada anak gadisnya. Namun ia bicara juga dan diminta anaknya untuk memeriksakan diri ke dokter. Barangkali kesehatan ayahnya ini terganggu.

***

Esoknya tatkala senja datang ia kunjungi dokter umum yang praktek di sekitar pemukiman yang berjarak 100 meter dari rumahnya arah ke kiri, lalu belok ke kanan sebentar, dan di situ ada papan nama.

Dari dokter itu dikatakan tidak ada gangguan kesehatan. Tensi normal 120/60, dan seterusnya  namun sepertinya mulai ada tanda-tanda gejala pikun.

"Tapi saya masih 50 tahun dokter."

"Ya, ini diagnosa sementara, kemungkinan saja, Pak. Tapi ada baiknya ke dokter spesialis di rumah sakit,"balas dokter itu sembari menunjuk rumah sakit, dan nama dokter yang mesti ditemui.

Ia pun hanya dibekali tablet vitamin, dan beberapa butir obat tidur, lalu pergi kembali ke kediamannya.

10 langkah dari tempat praktek dokter ia malah lupa jalan kembali ke rumahnya. Ia hanya susuri jalan menurut maunya kaki untuk melangkah.

Beruntung anak gadisnya yang sedang keluar dari swalayan melihat ayahnya, dan memanggilnya, lalu mendekati.

"Ayah sudah dari dokternya?"

"Sudah."

"Ayah mau kemana lagi?"

"Pulang."

Anak gadisnya tidak berpikir jauh, kemudian melanjutkan langkah bersama menuju ke kediamannya. Hanya saja sempat bertukar pikiran tentang apa yang dikatakan dokter mengenai soal tanda-tanda pikunnya ini. Sayangnya apa yang dikatakan dokter umum itu ia sudah tidak ingat lagi.

***

Satu tahun sejak itu anak gadisnya sudah ada di kota lain untuk kuliah. Pekerjaan yang biasa dilakukannya juga mulai berantakan. Hingga akhirnya ia di pensiunkan lebih awal oleh perusahaan di mana ia bekerja.

Anak gadisnya tentu merasa kuatir dan bersedih. Ia pun saat liburan ini menengok ayahnya, dan  akhirnya diketahui juga tentang kesehatan ayahnya ini.

Saat sedang makan malam, anak gadisnya melihat angka-angka di pergelangan tangan, juga di putih telapak tangan kiri ayahnya. Ia melihat nomor telepon dirinya, angka PIN kartu ATM ayahnya juga angka lain yang berderet yang tidak ia ketahui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun