Bapak ibuku Guru
Di zaman orde lama dan orde baru
Keduanya alumni SPG tahun 1950-an waktu itu
Di daerah Menteng-Jakarta dulu
Kemudian mereka mendidik dan mengajar
Di pojok kampung-kampung di sekitar tangerang untuk beberapa lama
Sebagai manifestasi ikatan dinas
Karena biaya sekolah gratis maka ketika lulus wajib ditempatkan di wilayah sekitar Jakarta
Menjadi guru
Cita-cita anak kampung ketika itu
Keduanya sukacita
Penuh rasa, tekad, dan kemauan untuk maju
Keduanya berjuang menyebarkan ilmu
Penuh pengabdian meski dalam keterbatasan
Banyak cerita yang dikisahkan
Betapa seorang guru sangat dibutuhkan pengorbanan
Namun semua itu tidak sia-sia
Yang tadinya warga didatangi buta huruf sudah mulai bisa baca tulis
Tidak anak-anak juga usia tua dan muda
Mereka murid-muridnya yang dinyalakan oleh lilin kecil pengabdian keduanya di kegelapan sekitar kampung itu
Tahun berjalan
Waktu terus berputar
Kemajuan sudah dirasakan
Kini jarang terdengar  kabar ada warga yang masih buta huruf
Bapakku mungkin tidak tahu sekarang Hari Guru
Yang ia tahu dan ingat hanya istrinya yang wafat lebih dulu yang hingga akhir hayatnya tetap  seorang guru
Tapi aku meyakini
Sampai kapanpun menjadi seorang guru adalah bentuk pengabdian yang terpatri untuk bakti pada negeri
Sementara soal kesejahteraan guru ketika keduanya mengabdi dulu  tentu aku tidak tahu cuma hanya sekadar merasakan saja hidup bersama orang tua yang berprofesi guru
Sayang sepeda kebanggaan keduanya dulu dilipat agar rumah bisa diterangi  listrik
Tidak lagi petromak dan lampu teplok
Dan kami sebagai anak-anaknya ketika kecil dulu sempat beramai-ramai bersorak
Namun bapak dan ibu kembali jalan kaki untuk mengabdi menyusuri jalan menuju sekolah untuk mendidik dan mengajar
Selamat Hari Guru!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H