Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Keheningan Pagi

19 November 2022   04:31 Diperbarui: 19 November 2022   11:37 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dikeheningan pagi itu tiada suara yang bisa aku dengar. Matahari belum muncul menerangi. Fajar pun baru terlihat jingga dari balik jendela bergorden merah marun.

Aku seperti tuli. Hanya sorot cahaya lampu yang menerangi kamar ini.

Dari keheningan itu juga yang bisa aku dengar suara ibu, dan nenek yang saban hari membisiki tentang kebutuhan rumah tangga.

Kebutuhan rumah tangga yang seharusnya bukan aku yang memenuhi kemauan mereka. Mulai dari rumah yang perlu dibayar tiap bulan sewanya. Sandang, bahkan pangan.

Juga rekreasi yang tentunya membuat dadaku sesak, dan ingin berteriak, lalu pergi meninggalkan mereka. Tapi aku juga tidak tega melihat derita mereka bila tulang punggungnya ini menjauh.

Aku ingin mengadu. Tapi pada siapa?Kepada Tuhan?Aku tidak lagi mengenalinya. Pada bapakku?

Bapakku entah kemana, tiada cerita sejak aku lahir di muka bumi ini.  Kata ibu, kabur meninggalkanku, dan ibu untuk perempuan lain yang tidak dikenalnya.

Seharusnya di pagi jelang shubuh ini aku bersiap untuk sekolah. Menyusun, dan menata buku pelajaran yang bakal disiapkan untuk  pelajaran hari ini. Lalu aku bersama teman menyusuri jalan, atau  membonceng motor kawan menuju sekolah bersama-sama.

Tapi tidak demikian. Teman-teman sudah tidak mengenaliku lagi. Mereka menjauh, aku bukan bagian dari usia sebaya mereka. Kata mereka, aku lebih dewasa dari usiaku.

Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Aku tetap menganggap mereka adalah teman, dan sahabatku. Teman-teman sekolah yang setidaknya bisa memberi ketenangan bathinku untuk aku mencurahkan segala apa yang aku alami.

Namun justru mereka semakin menjauh setelah aku mengisahkan semua yang aku jalani demi kehidupan kami ini. Aku taktahan, dan takkuat lagi akhirnya bersama mereka.

Aku pergi dari sekolah, dan tidak kembali lagi. Ibu, dan nenekku mereka terkejut?Sama sekali tidak. Mereka malah bilang,"sekolah hanya membebani pikiranmu saja, Nak."

Mereka katakan begitu. Aku sedih, dan tersudut mendengar apa yang disampaikan itu. Seharusnya mereka bilang, agar aku tetap sabar, dan tidak perlu mendengar semua yang dikatakan teman-teman sekolahku itu.

Seharusnya mereka bilang, lanjutkan sekolah meskipun yang aku lakukan tidak sebagaimana seharusnya yang dilakukan anak usia sekolah.

Tapi ini demi kehidupan kami yang harus bertahan untuk hidup.  Itu yang seharusnya mereka katakan.  Atau malah katakan saja sudahi apa yang aku lakukan di luar sana.

Tapi ini tidak sama sekali. Aku dianggap seperti sapi perahan oleh ibu, dan nenekku. Aku dipandang sebatas anak perempuan yang memiliki wajah cantik, supel, dan bisa berteman dengan banyak orang.

Berteman?Aku benar-benar tidak berteman dengan siapapun sekarang ini. Aku tidak lagi punya teman sejak setahun lalu aku tinggalkan bangku sekolah.

Tidak ada teman. Temanku hanya malam yang dihiasi kepalsuan. Temanku hanya uang yang bisa menyenangkan ibu, dan nenekku. Temanku hanya bunyi dering handphone, atau whats up yang entah darimana datangnya, lalu memintaku untuk menemaninya. Inikah teman?

Aku bosan, aku takut, aku ingin bunuh diri saja. Aku tidak mau lagi hidup seperti ini. Segala bisikan datang ke arah benakku. Bisikan ibu, rayuan nenek, hasutan setan semua tiba-tiba datang saling bersahutan di pagi ini. Aku tak kuat lagi. Aku harus bagaimana.

Sekilas wajahku ada dicermin tidak lagi sebagaimana wajahku. Aku tidak mengenali. Wajah dicermin itu sangat buruk. Itu bukan diriku. Itu siapa?Lalu aku lempar asbak yang ada di sisi ranjang pada cermin itu, dan kaca dari meja rias di kamar hotel ini pecah berhamburan. Aku menangis pilu.

***

"Hei, ada apa?Bukankah sudah lunas dibayar semalam?"

Seorang bandot tua terbangun dari tidurnya. Terkejut melihat kaca yang berantakan di kamar ini. Ia seketika mengenakan kembali pakaian yang sejak semalam ditanggalkan, lalu pergi begitu saja.

Perempuan itu hanya menangis tersedu-sedu seiring azan shubuh berkumandang syahdu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun