Aku pergi dari sekolah, dan tidak kembali lagi. Ibu, dan nenekku mereka terkejut?Sama sekali tidak. Mereka malah bilang,"sekolah hanya membebani pikiranmu saja, Nak."
Mereka katakan begitu. Aku sedih, dan tersudut mendengar apa yang disampaikan itu. Seharusnya mereka bilang, agar aku tetap sabar, dan tidak perlu mendengar semua yang dikatakan teman-teman sekolahku itu.
Seharusnya mereka bilang, lanjutkan sekolah meskipun yang aku lakukan tidak sebagaimana seharusnya yang dilakukan anak usia sekolah.
Tapi ini demi kehidupan kami yang harus bertahan untuk hidup. Â Itu yang seharusnya mereka katakan. Â Atau malah katakan saja sudahi apa yang aku lakukan di luar sana.
Tapi ini tidak sama sekali. Aku dianggap seperti sapi perahan oleh ibu, dan nenekku. Aku dipandang sebatas anak perempuan yang memiliki wajah cantik, supel, dan bisa berteman dengan banyak orang.
Berteman?Aku benar-benar tidak berteman dengan siapapun sekarang ini. Aku tidak lagi punya teman sejak setahun lalu aku tinggalkan bangku sekolah.
Tidak ada teman. Temanku hanya malam yang dihiasi kepalsuan. Temanku hanya uang yang bisa menyenangkan ibu, dan nenekku. Temanku hanya bunyi dering handphone, atau whats up yang entah darimana datangnya, lalu memintaku untuk menemaninya. Inikah teman?
Aku bosan, aku takut, aku ingin bunuh diri saja. Aku tidak mau lagi hidup seperti ini. Segala bisikan datang ke arah benakku. Bisikan ibu, rayuan nenek, hasutan setan semua tiba-tiba datang saling bersahutan di pagi ini. Aku tak kuat lagi. Aku harus bagaimana.
Sekilas wajahku ada dicermin tidak lagi sebagaimana wajahku. Aku tidak mengenali. Wajah dicermin itu sangat buruk. Itu bukan diriku. Itu siapa?Lalu aku lempar asbak yang ada di sisi ranjang pada cermin itu, dan kaca dari meja rias di kamar hotel ini pecah berhamburan. Aku menangis pilu.
***
"Hei, ada apa?Bukankah sudah lunas dibayar semalam?"