Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jaring Politik Pemilu 2024 Mendatang

19 September 2022   13:47 Diperbarui: 19 September 2022   20:22 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                  Dokpri

Kontestasi pemilu menjadi perhatian unik masyarakat Indonesia. Siapapun bisa mengutak atik peluang kontestan untuk diprediksi bakal  maju menjadi calon. Entah itu anggota legislatif atau presiden, dan wakil presiden.

Bukan hanya prediksi sebagai calon, masyarakat juga sudah sampai untuk memetakan potensi dan peluang untuk menang calon yang diprediksi itu.

Namun begitu, prediksi dan ramalan yang sifatnya umum itu boleh jadi bisa benar, atau pun salah. Tergantung dari perspektif orang-orang tersebut yang didasarkan atas referensi yang diperoleh selama menjadi pemilih di pesta demokrasi ini.

Relasinya dengan tulisan ini, maka yang diuraikan adalah soal calon presiden, dan wakil presiden pada 2024 mendatang.

Perspektif untuk menilai potensi, peluang, dan menang atau kalah suatu calon presiden, dan wakil presiden itu pada prinsipnya, menurut pikiran awam penulis, tidak lepas dari tiga hal ini.

Pertama, calon merupakan bagian dari partai politik, kedua, calon merupakan entitas yang memiliki akses dengan kaum modal, dan ketiga, calon merupakan orang yang memiliki kedekatan dengan tokoh ulama sebagai representasi identitas keagamaan.

Pertama.

Sebagai bagian dari partai politik, entah itu sebagai kader parpol, maupun ketua, sudah barang tentu ia telah memiliki akar jaringan yang kuat di penjuru tanah air. Struktur parpol yang terjelma dalam basis aktivitas politik hingga tingkat ranting akan memudahkan konsolidasi, dan mobilisasi suara di tingkat masyarakat atau akar rumput.

Pada level ini, boleh jadi suara yang akan ditargetkan untuk diraih tertumpu pada suara generasi milenial dan z yang berusia 17 hingga 35 tahun. Potensi suara demikian, bukan tidak mungkin akan menjadi target yang diprioritaskan oleh sang calon lewat parpol di mana ia bernanung.

Selebihnya target suara pemilih yang ada di usia 35 tahun ke atas, sudah dipastikan dan sangat ditentukan oleh loyalitas pemilih itu pada parpol tertentu, dan juga calonnya.

Kecuali, dalam konteks pemilih usia tersebut ditemukan oleh pemilih adanya tindakan politisi parpol yang dipandang negatif, misalnya skandal korupsi atau skandal lain yang memiliki ekses menurunnya tingkat kepercayaan pemilih itu terhadap calon, atau parpolnya.

Kedua.

Calon merupakan entitas yang memiliki kedekatan dengan kaum pemodal. Hubungan politik antara calon dengan kaum modal sudah bukan lagi rahasia umum. 

Sebagaimana lazim diketahui, ongkos politik yang dikeluarkan untuk mendanai proses politik pencalonan setingkat presiden, dan wakil presiden konon bukan lagi di kisaran angka milyaran, bahkan bisa hingga trilyunan.

Ongkos politik demikian boleh jadi digunakan untuk menggerakkan aktivitas meraih suara di masyarakat bawah. 

Setidaknya, kebutuhan biaya kampanye maupun logistik untuk lancarnya aktivitas itu sebagai sesuatu yang kudu dipersiapkan matang. Kecuali itu iongkos politik tersebut bisa ditekan bila sang calon ini memang calon yang dikehendaki rakyat, tanpa syarat.

Ketiga.

Sebagai negeri yang mayoritas pemeluknya adalah Islam, maka calon dihadapi oleh suatu kenyataan politik, bahwa suara mayoritas pemilih adalah orang Islam.

Pada tingkat ini, suka atau tidak, mau atau tidak mau suara yang bakal dikehendaki tertumpu pada elemen yang menggerakkannya, yakni kalangan ulama, tokoh, maupun simpul agama tertentu  di tiap pelosok masyarakat itu. 

Dari pengalaman proses politik pemilu capres cawapres, hal demikian sudah menjadi suatu keharusan. Apalagi bila direalisasikan dalam bentuk dukungan politik secara nyata dengan aksi dukungan yang disebarkan oleh media massa.

Dari ketiga elemen penting itu paling tidak, jejaring politik yang dipunyai calon yang berasal dari parpol tertentu, atau gabungan dari parpol tidak lagi membutuhkan konsolidasi politik ekstra. Sebab mesin politik demikian sudah berjalan dengan sendirinya.

Lalu bagaimana bila ia seorang calon yang bukan anggota parpol?Tentu kerja ekstra keras akan ditempuhnya.

Mulai dari kesepakatan politik (siapa peroleh apa, kapan, dan bagaimana) menjadi hal yang digarisbawahi untuk direalisasikan kelak ketika ia terpilih.

Belum lagi untuk menopang identitasnya agar bisa diketahui masyarakat di penjuru tanah air, menjadi pekerjaan rumah yang bukan main beratnya. Tanpa logistik, dan anggaran yang memadai rasanya sungguh mustahil untuk calon tersebut bisa meraih suara untuk unggul.

Jadi wajar saja bila ada calon di luar parpol yang mulai mendekati parpol, atau sebaliknya, parpol yang mendekati orang yang potensial jadi capres cawapres itu sebagai upaya penjajagan dari mulai saat ini hingga waktu kontestasi itu tiba.

Dari ketiga hal itu paling tidak bisa dikatakan bahwa jaring politik menjadi kunci yang menentukan bagi calon siapapun itu yang punya keinginan untuk ambil bagian dalam kontestasi pesta demokrasi 2024 mendatang.

Malah hal itu bisa direlasikan dengan upaya politik yang anyar dengan CONTOH kedatangan Puan Maharani anjangsana ke kediaman Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.

Dua tokoh politik parpol  yang bertemu ini sejatinya sudah menggambarkan realitas politik untuk pemilu 2024 mendatang. Masalahnya tinggal siapa jadi apa, itu juga menjadi bagian dari pekerjaan politik dari parpol yang sudah mapan tersebut. Juga contoh anjangsana lain yang dilakukan oleh tokoh parpol tertentu.

Namun begitu, siapapun capres atau cawapres yang bakal turut ambil bagian dalam kontestasi pemilu, tetap saja suara rakyat yang akan menentukan. Vox populi vox dei sebagai rumus yang tidak terbantah dari iklim demokrasi suatu negara yang menganutnya seperti Indonesia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun