Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pencari Berita

12 September 2022   09:31 Diperbarui: 13 September 2022   09:16 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                   Dokumen Pribadi

Isu terbaru dari dugaan korupsi pejabat pemerintah sambung menyambung datang. Bagai temali kawat yang tidak pernah putus untuk diterima jurnalis lewat pesan berantai dari gawai masing-masing.

Solidaritas tanpa batas. Diburu kemudian kabar itu lewat kesepakatan alamiah untuk mengulik dari sudut pandang pemberitaan yang berbeda.

Namun liputan yang telah ditulis Nastiti tidak sesuai dengan keinginan Pemimpin Redaksi, lewat ucapan Redaktur pelaksana media massa itu. Alasannya berta yang dibuat masih belum mengungkap fakta yang sebenarnya. Padahal dua narasumber, biasanya sudah bisa.

Kecuali bila tulisan itu, menurutnya, dalam atau laporan investigasi yang sifatnya depth atau feature berita. Tapi ini straight news. Padahal rapat redaksi kemarin sudah disepakati atas usulannya ini.  Nastiti jadi murung kemudian. Lelahnya tidak lagi dihargai.

Ia hanya termenung di depan layar monitor netbooknya seraya menduga-duga alasan yang tidak masuk akal itu. Sudah dua cangkir teh panas yang diminumnya, serta cemilan bakwan satu buah, Nastiti masih menaik-turunkan isi berita yang telah dibuatnya. Rasanya tidak ada yang salah, dan dipastikan memang begini yang biasa ia buat.

Dicoba dicek berita yang diturunkan hari ini dari media massa yang lain, rata-rata nyaris tidak ada perbedaan dengan liputan kemarin yang ia datangi. Belum juga membaca tuntas semua berita itu, gawainya berdering. Ia cepat angkat.

"Nas, liputan kemarin punyamu mana?"tanya suara di ujung telpon tanpa basa basi.

"Tidak dimuat, Bim. Gak tahu tuh."timpal Nastiti pendek.

"Kenapa ya?Ya sudah nanti aku cari tahu,"kata Bimo, kenalan reporter dari media  lain meyakinkan untuk mencari penyebabnya.

Sementara di ruang lain, pemimpin redaksi sedang berbincang bersama redaktur di desk politik, dan hukum. Bertiga mereka mendiskusikan liputan yang dibuat Nastiti yang tidak dimuat hari ini. Pada kedua redaktur itu, soal liputan Nastiti kemarin lupakan saja. Diminta juga pada mereka untuk memberikan tugas pada Nastiti dari angle yang lain.

Sementara diupayakan jika teman-teman redaktur media lain menanyakan tentang tidak turunnya berita kemarin di hari ini. Dikatakan oleh Pemred itu, bahwa ini sudah kebijakan hasil rapat redaksi tidak menurunkan berita itu.

***

Usulan Nastiti untuk mengangkat berita yang tidak dimuat memang sangat sensitif. Terkait korupsi yang diduga dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah. Informasi ini ia dapat dari Bimo, juga teman-teman media lain.

Makanya ia cepat mengusulkan pada rapat redaksi itu kemarin. Untuk datangi narasumber itu, ia juga datangi bersama rekan media lain. Di instansi itu dipastikan narsum yang punya kompeten untuk menjelaskan. Dan semua itu ia lakukan.

Sebab narsumnya juga pihak humas dari instansi itu, sementara satunya lagi ahli hukum. Tidak ada yang salah. Ini menurut Nastiti, masih dugaan. Itu pun ia tulis menurut apa yang disampaikan oleh pihak humas, terutama.

Sedang berpikir itu, Fri, mendatangi Nastiti untuk meminta wawancara pihak lain sehubungan dengan berita yang tidak dimuatnya kemarin. Fri, redaktur pelaksana desk hukum, langsung memberikan pointer pertanyaan. Kata Fri, pihak yang akan diwawancara sudah dihubungi, dan ia tinggal datangi saja.

"Dia ada waktu, hingga jam lima sore hari ini,"kata Fri.

Nastiti tidak segera menjawab. Ia melihat pointer pertanyaan itu. Masih ada hubungan dengan berita yang ia tulis kemarin. Namun pointer pertanyaan ini justru seperti memutarbalikkan fakta dugaan korupsi itu sendiri. Namun Nastiti tidak bisa memprotesnya. Protes bisa-bisa kredit motornya tersendat. Apa mau dikata, ia turuti juga akhirnya.

Singkat kata, Nastiti serahkan hasil wawancara itu, persis menjelang isya, dan ia juga bersiap untuk kembali ke kosannya tidak mau lagi lama-lama di ruang ini. Rasanya ruang sudah sumpek, dan tidak akrab lagi ia dengan bau asap rokok, dan kopi basi.

Ia kembali dari kantor itu membawa banyak pertanyaan di benaknya.

***

Tiga hari kemudian, usai liputan berita lain yang tidak ada kaitannya dengan kasus dugaan korupsi itu, Nastiti berjumpa dengan Bimo. Mereka basa basi sebentar, lalu Bimo meminta kepastian dari Nastiti tentang nama pemimpin redaksi, dan foto yang ia pegang.

"Nas, seperti yang aku janjikan tempo hari. Aku membawa foto ini,"kata Bimo menunjukkan foto itu, dan Nastiti membenarkan.

"Iya betul. Ini pemred saya. Kok namanya seperti bukan aslinya."

"Memang begitu. Ia pakai nama samaran di sini. Nama penanya dia. Nama aslinya ini. Dan, ini satu lagi foto yang aku punya. Mirip ya?"

"Ini siapa??tanya Nasiti memperhatikan dalam, foto yang memiliki kesamaan wajah.

"Ini sepupunya, kata sumber yang bisa dipercaya, ia adik dari pemimpin perusahaan media kamu."

"O pantas. Mereka rupaya satu keluarga. Lalu apa hubungannya dengan kasus kemarin?"

"Pejabat yang kemarin diduga melakukan korupsi yang ramai diberitakan adalah .. ."

"Orang yang mendanai media ini,"sergah Nastiti cepat.

"Bukan. Pejabat itu cuma relasi saja supaya media kamu bisa memberitakan soal-soal positif tentang dirinya."

"Pasti tidak gratis, Kan?"

"Pasti."

Keduanya diskusi panjang lebar tentang arah pemberitaan kasus dugaan korupsi itu. Bimo, media di mana ia bekerja masih konsentrasi mengawalnya. Setidaknya informasi yang ia dapat sudah diketahui Nastiti sejak sekarang.  Sampai di mana jalannya ujung dari dugaan korupsi yang menggarong uang rakyat hingga milyaran tersebut tuntas.

***

Dua minggu sejak pertemuan terakhir dengan Bimo. Nastiti sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari media di mana ia bekerja. Rupanya, benar kata Bimo, adik pemimpin perusahaan di mana ia bekerja terlibat dalam proyek yang merugikan keuangan negara.

Sementara pejabat instansi pemerintah itu juga sudah dicokok, dan dijadikan tersangka termasuk adik pemimpin perusahaan tersebut.

Nastiti benar-benar jijik dibuatnya. Selama ini ia peroleh kerja dari dana-dana proyek yang tidak jelas, meski itu dilakukan secara tidak langsung. Tapi menurutnya tetap saja, aliran dana mengalir ke perusahaan di mana ia bekerja.

***

Nastiti kini di persimpangan. Sebagai lulusan studi jurnalistik, tentu ia mesti praktek bekerja. Namun juga ia mesti hati-hati kelak di tempat kerja yang lain. Mana tahu sebagai reporter ia bisa terjerumus ke dalam permainan sebagaimana kasus tersebut.

"Rupanya tidak ada yang steril menyangkut urusan uang. Tapi mau bagaiman lagi,"bisik Nastiti kecewa seraya melipat netbooknya, dan menghapus semua file liputan yang pernah ia buat.

Ia pun undur diri jadi reporter, meski cicilan kredit motor masih menyisakan beberapa bulan ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun