Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Perpisahan

9 September 2022   20:57 Diperbarui: 9 September 2022   21:08 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari terakhir pameran lukisan tentang wajah di kota seni itu akan berakhir.  Sedari pagi hingga jelang petang ini ramai pengunjung. Beberapa koleksi nyaris tandas dibeli oleh para kolektor.

Tersisa sekitar 20 lukisan yang terpajang di lorong galeri sepanjang 50 meter ini. Satu sama lain tidak lagi rapat. Terpajang berjarak dan angkuh, serta bersandar memperhatikan semua orang.

Suara langkah kaki di ruang ini tidak lagi menggema. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Petangpun berganti malam. Di sudut dekat meja tamu pengunjung, seorang perempuan panitia sedang mencatat, sementara di muka pintu masuk dua orang petugas keamanan berbincang hangat.

Dua jam lagi pameran akan ditutup. Di luar gedung  cuaca taklagi ramah. Rinai hujan mulai membasahi pepohonan, lalu lalang kendaraan, juga Kimy yang berjalan cepat menuju gedung pameran ini.

Perempuan yang juga pelukis amatir ini singgah usai kerja di departemen seni kota ini untuk menyempatkan datangi pameran di hari terakhir. Dua petugas memeriksanya sesaat, ia kemudian menuju meja tamu untuk mengisi nama yang bakal menjadi catatan panitia.

"Ini hari terakhir. Masih sisa dua jam untuk melihat lukisan yang tersisa,"kata panitia menjelaskan.

"Masih banyak lukisan yang tersisa. Aku dengar dari 100 lukisan wajah hanya tersisa 20 saja?"

"Itu benar. Silakan."

Petugas itu mempersilakan Kimy untuk menelusuri lukisan yang ada di ruangan ini seraya siap membantu jika diperlukan. Kimy mengangguk, lalu langkah kakinya ditujukan pada lukisan yang terpajang itu.

Masing-masing lukisan dengan ukuran tinggi  1,5 meter, dan lebar satu meter memudahkannya untuk melihat secara jelas detail karya pelukis ternama di kotanya.

Senyumnya lebar. Pikirnya apa yang ia saksikan sebagai referensi baginya untuk meniru cara para pelukis itu menerjemahkan mimik, dan wajah seorang lelaki atau perempuan di atas kanvas.

Terlihat ada yang tersenyum, menyeringai, tertawa yang memamerkan gigi ginsulnya. Bahkan tampak matanya berbinar ketika melihat lukisan wajah dua bocah sedang beradu kepala sambil terbahak. Ia melihat begitu sempurna karya ini.

Sudah 12 lukisan yang ia sasar. Di lukisan ke 13 ia berhenti. Lukisan ini ada di pojok gedung sejajar dengan arah lorong lain, namun agak berbelok ke kanan sedikit. Ia taklagi terlihat oleh panitia dari mejanya.

Ia lihat wajah seorang gadis cantik dengan dua bola mata indah, rambut pirang ikal tergerai sebahu, hidung bangir khas turunan anak negerinya. Juga sehelai sapu tangan yang digenggamnya.

Namun tidak seperti lukisan yang lain. Lukisan wanita cantik ini tampak murung. Atau sedih, kecewa, marah. Itu yang ada dalam benak Kimy.

Ia teliti satu persatu. Pakaian yang dikenakan seperti kaum bangsawan dulu. Kalung yang menjuntai di lehernya menandakan kaum aristokrat. Tidak semua orang bisa memiliki apa yang dipakai wanita di atas kanvas itu.

Di pergelangan tangannya juga demikian. Rantai gelang juga tampak seperti dibuat di zaman pertengahan.

Ia kembali berpikir, pelukisnya benar-benar memahami secara antropologis dan sosiologis kehidupan masyarakat di zaman itu. Taksalah lukisan ini menceritakan kondisi kehidupan bangsawan di kotanya.

Mata Kimy beradu pandang juga akhirnya dengan mata yang ada di lukisan wajah gadis bangsawan, yang Kimy tafsirkan. Entah bagaimana, keduanya seperti berbicara lewat mata. Kimy tidak bisa lagi mengelak.

Satu detik hingga mungkin 20 detik membuat Kimy bertanya-tanya apa yang barusan terjadi ini.Ia hendak menjauh, namun seorang perempuan muda tiba-tiba mengampiri, dan menjelaskan perihal lukisan yang barusan dilihatnya itu.

"Ia tersiksa jiwanya. Bukan raganya. Bukan pula ia dikhianati atau dizalimi. Ia sebenarnya hendak lari dari kehidupan di lingkungannya yang seperti penjara. Tidak ada lagi kebebasan sebagaimana yang ia inginkan. Makanya dia tampak murung, dan kecewa."

 Tanpa menoleh pada perempuan ini, Kimy menganggukkan kepala seraya bertanya, "apakah wanita ini nyata di kehidupannya itu?"

"Ia nyata, dan ada. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan ketika itu hingga akhirnya ia bunuh diri. Taksanggup meneruskan hidup yang ketat dijaga oleh keluarganya. Kesedihan, kecewa dirinya, dan kemarahan masih ia bawa sampai sekarang."

"Siapa yang melukisnya ini?"

Perempuan yang tidak dikenal Kimy ini menunjuk pada lukisan seorang lelaki muda yang tak jauh dari keduanya berada. Kedua lukisan itu saling berdampingan dijeda oleh dua lukisan yang lain. Kimy  kemudian melangkahkan kakinya ke arah lukisan tersebut, dan perempuan itu tidak terlihat lagi sekarang.

Pikir Kimy ia mungkin sedang ada di lorong menuju kembali ke arah meja panitia yang di sana berjajar sekitar enam lukisan. Ia sendirian menatap lukisan lelaki muda ini yang terlihat hampir mirip bahan busana yang dikenakan oleh lukisan yang ada pada gadis tadi.  Dan, lukisan wajah ini datar, seperti sedang bertanya-tanya terhadap sesuatu  hal.

Kedua lukisan ini dalam tafsir seni lukis amatir Kimy seolah masih bercerita tentang kehidupan pribadi mereka di zamannya. Namun Kimy lebih tertarik pada lukisan wajah gadis itu yang dianggapnya punya nilai seni tinggi. Kimy kemudian berniat untuk membeli lukisan gadis tersebut.

***

"Aku pesan lukisan gadis di ujung lorong sana,"pinta Kimy pada perempuan panitia di mejanya.

"Menarik sekali. Terima kasih. Gadis itu konon berada dalam situasi yang ... ."

"Kecewa, sedih, dan marah,"potong Kimy meneruskan seraya mengatakan seorang wanita pengunjung lain telah menceritakan padanya tentang suasana hati perempuan di lukisan tadi.

"Seorang perempuan muda pengunjung. Barusan?"

"Ya, perempuan. Kelihatannya mungkin seorang kurator juga."

Perempuan panitia ini tidak lagi meneruskan kata-katanya. Ia menganggap Kimy sedang berhalusinasi yang kerap ditemui olehnya para pencinta seni, khususnya lukisan, kadang mengalami situasi ini.

Atau ia juga tidak mau terbawa emosi oleh karya seni yang dipamerkan. Baginya, ia akan tetap peroleh prosentasi dari setiap penjualan lukisan di pameran ini. Perempuan yang dimaksud Kimy tidak satu pun ada yang datang kecuali dirinya hingga waktu pameran ini ditutup.

Perempuan itu hanya berkata-kata di hatinya saja, seraya meminta Kimy menandatangani dokumen pembelian lukisan tersebut. Kimy senang, dan ia pun pamit pulang untuk beberapa hari ia akan tunggu lukisan itu berada di kediamannya.

***

Jam sudah menunjuk pada angka 8.00 malam waktu setempat. Gedung pameranpun ditutup. Petugas, dan panitia sudah meninggalkan tempat. Lampu-lampu kecil yang bersinar temaram menerangi  seadanya lorong-lorong di mana lukisan itu terpajang.

Namun tampak lukisan wajah gadis yang terpajang di sudut lorong itu samar-samar meneteskan air mata. Ia merasa akan jauh dengan kekasihnya seorang pelukis muda yang terpajang tidak jauh dari sisinya. Sebab Kimy telah memisahkan mereka.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun