Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Racun Warisan

28 Agustus 2022   15:12 Diperbarui: 28 Agustus 2022   15:18 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari suatu panti asuhan itu pasangan suami istri yang masuki usia lanjut kini miliki juga seorang anak. Anak yang lucu, dan menggemaskan. Kehadirannya menambah semarak suasana, dan kebahagiaan.  Segala kebutuhannya juga telah disiapkan. Pendek kata, anak kecil usia satu tahun nan mungil berjenis kelamin perempuan ini ada di pangkuan orang tua angkat yang sangat menyayanginya.

Termasuk keluarga besar dari kedua pihak, entah paman, maupun bibinya. Mereka juga sukacita dengan anak kecil beruntung ini.

Tidak terasa waktu berjalan demikian cepat. Anak ini pun mulai tumbuh besar. Karen, namanya. Lincah, dan milki bakat diusianya yang genap enam tahun. Sudah TK, menuju sekolah dasar. Mahir memainkan alat musik piano oleh karena privat yang dijalaninya sejak usia empat tahun. 

Namun begitu, dari usia empat tahun, kesibukan orang tua angkatnya membuatnya jarang bersua. Paling satu minggu ia hanya bisa bercengkrama dua hari saja, yakni Sabtu, dan Minggu. Itu pun bila tidak ada yang mengganggu untuk urusan bisnis yang mereka kerjakan.

Dengan sendirinya, keseharian Karen diasuh oleh Jinong, asisten rumah tangga yang ada di rumah ini sebelum kedatangan Karen. Jinong sudah seperti ibu bagi Karen.  Sejak merangkak, merondong, tertatih berjalan, dan sampai jari jemarinya lincah di atas tuts piano miliknya itu, Jinong senantiasa di sisinya.

Tuan Jenggo, dan nyonya Olive senang dengan kedekatan Jinong, dan Karen. Terlebih sikap santun, dan tata krama Karen pada orang tua angkatnya yang sangat di luar dugaan. Karen sikapnya demikian tentu karena didikan Jinong juga.  Karen senantiasa mencium punggung tuan, dan nyonya setiap kali hendak berangkat, maupun tiba dari suatu urusan. 

Karen tiada pernah menghendaki sesuatu bila tidak ditawarkan. Entah darimana Karen belajar tentang semua itu, pikir mereka. Seolah ia telah mengetahui dengan sendirinya bahwa ia adalah seorang anak angkat.

Kini terbersit dalam pikiran tuan Jenggo, dan nyonya Olive untuk mewarisi semua harta kekayaan yang ada untuk Karen. Mengingat usia mereka yang semakin tua. Lewat segala pertimbangan yang matang, keduanya memutuskan untuk sepakat menyerahkan semua harta kekayaannya itu untuk Karen.  Mereka hanya tinggal beberapa waktu sementara ini untuk mendatangi notaris guna melegitimasi keinginannya.

***

Entah darimana kabar soal warisan yang hendak diserahkan pada Karen itu tersiar pada keluarga besar pasangan tuan Jenggo, dan nyonya Olive. Tuan Brutus yang temperamental, adik dari ibu angkat Karen tidak senang mendengarnya. Ia protes, dan mencoba mempengaruhi Olive.  Brutus meminta agar ia bilang pada Jenggo untuk membatalkan rencananya itu.

"Kau mesti mengerti, Olive. Aku, bukan apa-apa. Hanya cobalah dipikir kembali rencanamu itu."

"Semua sudah diputuskan. Kami sepakat untuk Karen semua harta ini."

"Tolonglah. Karen itu cuma anak angkat, kita semua tidak tahu asal-usulnya. Aku, juga istriku, bukan mengharapkan bantuanmu, cuma anak-anakku masih panjang jalani hidupnya. Enam anak, aku sudah pusing untuk biayai semua kebutuhannya."

"Lho, apa aku tidak cukup untuk membantu keluargamu,hah?"Olive sedikit meninggi mendengar pengakuan Brutus.

"Bukan begitu. Aku terima kasih sekali dengan bantuanmu. Tapi ya jangan sekarang warisan itu dilimpahkan pada Karen. Ia masih anak-anak."

"Tidak. Sejak sekarang kami sudah bulat. Usia siapa yang tahu. Nanti kami akan melegitimasinya segera,"ucap Olive tegas mengakhiri perbincangan itu.

Brutus kemudian pergi dari kediaman Olive, sembari menatap tajam pada Karen yang sedang berlatih piano, meski Karen menganggukkan kepalanya sebentar pada Brutus. Justru Brutus malah seperti membuang air liurnya ke pot tanaman yang ada di dekat piano. Benci sekali.

Dikediamannya Brutus bilang pada istrinya semua harta yang dimiliki kakaknya bakal diserahkan pada Karen segera. Padahal ia sangat berharap pada harta itu meski sedikit Olive kelak bisa memberikan untuk kebutuhan keluarganya. Sebagai adik lelaki satu-satunya pada siapa lagi ia bisa meminta bantuannya itu.

"Apa tidak ada cara lain untuk menggagalkan rencana itu?"tanya istrinya memaksa setelah mendengar penuturan kecewa Brutus panjang lebar.

"Kamu ada ide?"tanya Brutus menimpali.

***

Hari Senin tuan, dan nyonya Jenggo hendak melakukan perjalanan bisnis seperti biasanya. Mereka datangi Karen usai sarapan pagi, dan bilang.

"Nanti kita bersua lagi ya hari Rabu, Kamu jangan nakal ya?"

"Iya papa, Karen tidak akan nakal. Karen akan bantu Bi Jinong juga."

"Anak pintar, dan cantik. Nanti mau oleh-oleh apa?"Olive membelai rambut Karen penuh sayang.

"Tidak usah Ma. Karena cuma ingin berlatih piano saja."

"Bi, nanti tetap siapkan kebutuhan untuk Karen ya seperti biasa,"pinta Olive pada Bi Jinong.

Bi Jinong mengangguk hormat, sembari menggerakkan ujung jempolnya tersenyum senang. Pagi itu berjalan seperti biasa hingga waktu makan siang tiba.

Siang itu Bi Jinong menyiapkan persiapan sajian yang menjadi kesukaan Karen, sop ayam, pepes tahu, juga semur jengkol diris=iris kecil. Kesukaan ini selaras dengan kesukaan Bi Jinong yang memang rasa  dilidahnya sama dengan Karen atas masakan yang selalu dibuatnya itu.

Mereka menyantap hidangan itu dengan senang sembari bercerita ke sana ke mari. Karen memuji masakan Bi Jinong riang. Di luar kebiasaannya Karen justru lahap, dan menambah hingga dua porsi untuk siang ini. Bi Jinong melihat itu tak mau kalah. Ia juga melakukan hal yang sama.

Keduanya tertawa senang. Namun tercekik kemudian. Selanjutnya sunyi mengelilingi ruang makan. Desir angin berhembus dari muka pintu dapur menyibak gorden perlahan. Denting sendok, dan garpu tiada lagi. Anak kucing mengeong memanggil-manggil hilir mudik seakan bertanya. Namun tak ada jawaban. Hening jempling.

***

Sore itu di suatu tempat, Jenglot terbahak senang. Tindakannya pasti berhasil. Tinggal tunggu kabar dari radio atau televisi. Ia katakan itu pada istrinya Blorong yang sedang menghisap maryjuana, santai.

"Kamu yakin tidak ada yang melihat ketika kamu masuk ke rumah itu, dan taburkan racun di sayuran?"

"Tidak ada seorang pun. Tenang saja,"Jenglot meyakinkan Blorong.

"Hmm syukurlah, berarti harta abangmu Jenggo, tidak akan berpindah pada anak sialan itu."

"Semoga saja."

Mereka habiskan sore itu dengan narkoba sembari diselimuti khayalan bakal peroleh harta tuan Jenggo, dan nyonya Olive untuk keperluan candunya ini.

***
Benar saja berita di sore itu lewat siaran radio, dan televisi sampai juga pada tuan Jenggo, dan nyonya Olive yang terkejut tiada kepalang. Nyonya Olive pingsan. Tuan Jenggo tak karuan perasaannya. Di rumahnya itu tampak dilayar tv telah didatangi oleh polisi.

Mereka pun sesaat kemudian, usai nyonya Olive siuman bergegas dari luar kota kembali ke kediamannya dengan pesawat terbang.

Sepanjang perjalanan nyonya Olive nyala matanya. Ia sudah yakin, mantap dan memastikan bahwa Brutus dalang semua peristiwa ini.

"Tunggu pembalasanku!"bathin amarahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun