Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Kali Dikhianati

3 Agustus 2022   20:56 Diperbarui: 3 Agustus 2022   21:04 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah bagaimana masa lalu yang telah dilalui kedua anak manusia ini hingga pertemuan kembali di stasiun kereta api Bandung itu terasa menyenangkan.  Mereka memang dalam perjalanan ke Jakarta dari rutinitas kerjanya. KA jurusan Bandung-Jakarta serasa singkat saja untuk ditempuh.  

Dari pertemuan itu, keduanya  lalu sepakat memutuskan untuk duduk di kursi yang sama di nomor 11-12, tatkala KA  siap untuk berangkat. Untungnya salah seorang penumpang lain yang duduk di kursi nomor 11 berkenan untuk bertukar tempat tanpa perlu bertele-tele.  Mereka satu sama lain akhirnya sudah berada di kursi itu.

***

Satu jam perjalanan setidaknya telah mengisi kembali ruang  yang dulu sempat kosong di hati keduanya.  Keduanya tak ingin, dan tidak rela satu sama lain saling menyalahkan untuk saat ini. 

Bayangan  di benak mereka menari-nari mengingat semua hal yang pernah dirasakan dulu.  Antara marah, benci, dan merasa dikhianati selintas membekas.  Tapi dua gelas minuman ringan yang mereka pesan dari pramugara KA sedikit menenangkan.

Segala jurusan perbincangan di arahkan. Tak cuma masa lalu, urusan pekerjaan pun coba mereka jajagi. Paling tidak meski tak terpaut lagi hati keduanya, namun ada sisi nilai tambah profesional yang bisa dilakukan. 

Mereka bertukar kartu nama di ujungnya untuk memudahkan hubungan saling menguntungkan kelak. Keduanya saling memuji atas prestasi yang mereka capai sekarang ini lewat profesi yang sudah lama dijalani. 

Semua itu tertera di dua helai kartu nama itu.

Dua jam perjalanan kemudian semakin tidak terasa. Justru secara perlahan, dan tanpa sadar genggaman jemari mereka sudah saling menguatkan. Satu sama lain lirih berbisik. Jarak antar keduanya kian rapat. Rasanya laju kereta api tidak secepat detak jantung mereka yang kembali kencang berdebar.

Nafas pun terasa berat. Keduanya butuh oksigen sebagai penawar. Saling kecup bibir diam-diam pun mereka cepat lakukan. Sebab di samping kiri kursi mereka sejak tadi seorang pria muda tampak memperhatikan dengan raut wajah yang tampak iri. 

Keduanya tak ambil pusing. Dunia hari ini sudah ditakdirkan untuk mereka raih kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun