Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah, Sumpah Serapah

30 Mei 2022   12:29 Diperbarui: 30 Mei 2022   12:42 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu, diwartakan media, dua orang hakim dan satu orang ASN pengadilan ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) Banten di Pengadilan Negeri Rangkasbitung. Ketiga orang ini ditengarai sebagai pengguna narkotika jenis sabu.

Soal penggunaan narkotika ini boleh jadi orang-orang tersebut sudah kecanduan, coba-coba atau salah seorang di antaranya sebagai orang yang disuruh mencari penjual. Begitu kira-kira.

Narkotika, apapun jenisnya memang jahat bila disalahgunakan. Orang bisa terjerumus sedalam-dalamnya. Dia tidak pandang bulu, siapapun dan dari kalangan profesi apapun akan disasarnya.

Namun yang menarik adalah penggunanya seorang berprofesi hakim. Lokasi penangkapannya di pengadilan, serta yang menangkapnya  rekan sejawat. Sama-sama aparat penegak hukum. Kalau di film-film disebut good guys and bad guys. Yang satu pengguna (orang jelek) yang satunya lagi pemburu (orang baik).

Antara pengguna, penjual dan pemburu atau pemberantas narkotika itu sudah satu paket ceritanya. Negara menyiapkan perangkat untuk menghancurkan peredaran narkotika. Dan, penjual tentu saja menjadi incaran aparat untuk segera ditangkap.

Sementara pengguna yang ditangkap kelak akan diintograsi dan direhabilitasi, juga mungkin di penjara bila terbukti dalam sidang di pengadilan dengan putusan hakim atau vonis yang berbunyi, "terdakwa dinyatakan terbukti dan bersalah".

Dalam kaitan ini hakim pengguna sabu kelak menjadi terdakwa, dan sidang akan dipimpin oleh majelis hakim yang merupakan satu timnya di pengadilan tersebut. Bisa dibayangkan, mereka akan berjumpa dalam suatu persidangan, saling tanya jawab dengan dilengkapi oleh jaksa penuntut umum, saksi, barang bukti, juga pengacara sebagaimana aturan main persidangan di pengadilan.

Jauh dari itu, hakim pengguna sabu ini sudah pasti telah memutus perkara di persidangan yang dilakukan sebelumnya. Entah sebagai ketua majelis atau anggota majelis hakim.

Sebagai anggota ia turut menentukan putusan majelis dengan pertimbangan-pertimbangan pengalaman dan ilmu hukumnya. Sementara sebagai ketua majelis hakim ia akan menerima saran dan pertimbangan dari anggota majelis.

Bila ia sebagai ketua majelis hakim, maka mungkin saja sifatnya mutlak, putusan apa yang akan dijatuhkannya itu tergantung pada dirinya. Bayangkan!

Peristiwa semacam ini sudah sering diwartakan oleh media. Bahkan kerja OTT aparat penegak hukum untuk perkara serupa atau korupsi atau yang lainnya kerap menjadi bahan pemberitaan dan menjadi perbincangan publik.

Publik hanya bisa menilai saja, dan saling bercakap di pinggir jalan, atau warung kopi, atau tempat lainnya secara santuy tanpa pretensi apa-apa. Sekadar bahan obrolan biasa. Dan, yang luar biasa bila muncul suatu perkara yang diwartakan media massa yang melibatkan pejabat publik atau aparatur sipil negara atau ASN sebagai tersangka, maka publik sering bertanya-tanya.

Mengapa mereka secara sadar mau melibatkan diri pada hal-hal yang buruk itu?

Sebagai ASN atau pejabat publik lainnya tentu saja mereka telah disumpah untuk setia pada negara dan bangsa. Apalagi kelaziman ketika mengucapkan sumpah itu diletakan di atas kepalanya suatu kitab suci. Kitab suci di atas kepala mereka seolah memayungi derap langkahnya di dalam mengemban tugas sebagai abdi negara.

Begitu pula aparat penegak hukum, entah itu polisi, jaksa, hakim atau bahkan pengacara. Tidak lepas dari sumpah menyumpah. Yang bersumpah tentu sudah mempertimbangkan konsekuensinya, sudah pula bersaksi untuk kitab sucinya atas sumpah yang diucapkannya. Demikian pula yang memandu sumpah itu, ia juga bersumpah untuk diri dan jabatannya. Juga kitab sucinya.

Sumpah bagi segelintir dari mereka barangkali sebagai suatu kelaziman atau protokoler yang tidak punya arti apa-apa. Tapi bagi yang lain boleh jadi suatu ikatan yang mempunyai konsekuensi yang berdimensi maslahat serta mudharat.

Bagi umat Islam yang meyakini ada kehidupan sesudah mati, maka sumpah yang diucapkan di mana sekaligus diletakan di atasnya kitab suci sungguh bikin merinding. Di sini ada pengawasan melekat yang kelak dari tiap kalimat yang diucapkan bakal dimintai pertanggungjawaban..

Bandingkan dibanyak orang yang bekerja tidak di bawah sumpah. Mereka boleh jadi bisa semaunya, bisa seenaknya, dan bisa pula tertib dan teratur. Semua tergantung suasana hatinya. Semua bergantung pula pada isi kesepakatan di antara mereka atau kesepakatan dengan institusi lain atau perusahaan. Mana yang boleh, mana yang di larang, Cuma itu intinya.

Sementara mang Kardi, misalnya tukang pikul air minum yang mendorong gerobak yang kerap ditemui di sudut Jakarta ini berkeliling mengurus kebutuhan air minum konsumennya, tidak bekerja di bawah sumpah.

Ia bekerja dengan setia dan sungguh-sungguh, serta tidak ingin mengecewakan pelanggannya. Ia hadir tepat waktu dan tepat guna sehingga pelanggannya puas. Ia tidak mengenal sumpah ketika mewakafkan dirinya memilih profesi sebagai tukang pikul air dengan gerobak dorong. Ia bekerja lurus dan konsisten walau tanpa sumpah.

Hanya saja ia takut dan kuatir akan sumpah serapah istrinya bila telat mengirimkan penghasilannya tiap bulan ke kampung sana di mana anak istrinya menetap.

Begitu pula sumpah serapah akan datang dari publik bila ada diwartakan seorang atau beberapa orang pejabat publik yang  telah mengingkari jabatannya. Sekaligus pula sumpah yang diucapkannya itu tidak sejalan dengan perbuatannya yang pada akhirnya berbuah hina dan telah dipandang sebagai orang yang telah merugikan negara dan masyarakat.

Sumpah atau tidak disumpah dalam suatu ikatan kerja dari profesi tertentu ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap prilaku orang. Apakah ingin konsisten dan amanah terhadap sumpah itu, atau sebaliknya pura-pura takjim mengucapkan sumpah itu di hadapan atasannya sehingga bisa diingkari nantinya.

Jadi rupanya perbuatan baik dan buruk itu merupakan pilihan tiap orang. Pilihan orang yang bekerja di bawah sumpah maupun yang bekerja tidak di bawah sumpah. Dan, sumpah serapah dari siapapun akan datang bila ada perbuatan buruk dari orang yang telah disumpah lalu ia mengingkarinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun