"Nah itu tau. Kenapa mesti jual terompet juga."
"Namanya rezeki siapa tau."
Sukron sudah bulat. Tekadnya mantap. Lalu ia datangi kawan dari kampungnya, Madun yang bisa membuat terompet berbahan kertas, botol plastik bekas, karet dan lainnya. Madun menyetujui mesti ragu atas larisnya terompet ini kelak. Sebab ia tau beberapa pedagang yang biasa memintanya untuk membantu membuat terompet telah beralih usaha lain sekarang ini.
"Kamu serius ini?"
"Serius, dan saya akan jual ini nanti."
"Mau buat berapa?"
"50 saja. Beda-beda ukurannya. Yang kecil 25, yang sedang 20, dan yang besar lima buah ."
Sejak hari itu keduanya berjibaku menuntaskan pembuatan terompet-terompet tersebut. Keduanya juga sepakat hasil penjualan di bagi dua, sebagai konpensasi upah pembuatan yang memang Sukron tidak lagi punya uang untuk membayarnya, sebab ia bagi uang itu untuk membeli juga obat bengeknya.Â
Madun karena kawan sekampung tidak terlalu repot dengan urusan upah, sebab ia sendiri masih bisa mencukupi hidup anak, dan istrinya sebagai petugas PPSU.
***
Jelang sore tanggal 31 Desember 2020, Sukron sudah bergerak menyusuri jalan menuju lokasi yang biasa ramai sebagai tempat acara malam tahuan baru. Ia sendiri. Tiap langkah kakinya seperti di payungi awan berarak yang mulai pekat. Sekali-kali petir menyala menyilaukan pandangannya. Bunyi petir ia tak hiraukan. Pikiran bakal hujan sudah ada di kepalanya.